Dulu, waktu belajar Syarah Aqidah Ath-Thahawiyah, dosen pengajar matkul itu adalah salah seorang Dosen Senior di Fakultas Akidah, namanya Dr. Ibrahim Al-Madkhaliy hafidzhahullah. Tampaknya sekarang beliau sudah pensiun.
Ketika tiba pada cara pemilihan Khalifah atau Pemimpin suatu negara, dalam Syarah Ath-Thahawiyah dijelaskan ada 4 cara, yaitu:
1- Dengan cara pemberian isyarat oleh pemimpin sebelumnya kepada pemimpin yang akan menggantikannya, seperti yang dilakukan oleh Rasulullah shallallahu'alaihi wasallam pada Abu Bakar sebelum beliau wafat. Tapi, sebagian ulama menyatakan bahwa Rasul menunjuk langsung Abu Bakar sebagai khalifah setelah beliau.
2- Dengan cara istikhlaf, yakni pemimpin menunjuk langsung pemimpin yang akan menggantikannya sebagaimana yang dilakukan oleh Abu Bakar kepada Umar sebelum beliau wafat. Biasanya sistem ini dianut dalam sistem kerajaan era sekarang.
3- Dengan cara pemilihan oleh Majelis Syura sebagaimana Umar sebelum wafat membentuk Majelis Syura agar bermusyawarah terkait pemimpin setelahnya.
4- Dengan cara kesepakatan dan baiat mayoritas umat atau bangsa, seperti naiknya Ali setelah Usman syahid di rumahnya. Radhiyallahu 'anhum.
Dari ragam pemilihan pemimpin ini, Sang Syekh -yang saya pahami dari penjelasan beliau- tampaknya mengambil kesimpulan bahwa trik pengangkatan pemimpin dalam islam tidak memiliki cara yang tauqifiy atau harus bersumber dari Al-Quran dan Sunah. Tapi, trik tersebut hanya berdasarkan ijtihad semata.
Sehingga, masih kata beliau, pemilu yang kita saksikan sekarang adalah salah satu trik pemilihan atau pengangkatan pemimpin yang hukumnya ijtihadi dan boleh-boleh saja. Artinya, hukum asalnya boleh, karena tidak ada cara tauqifiy, nas dan penjelasan syariat terkait pemilihan pemimpin dalam islam.
Bahkan, beliau sempat menuturkan, bahwa gambaran paling dekat dengan pemilu kontemporer adalah apa yang dilakukan oleh Ketua Majelis Syura, Abdurrahman bin Auf, ketika meminta masukan dari seluruh penduduk Kota Madinah hingga para gadis dalam kamar pingitan mereka, apakah mereka lebih memilih Usman atau Ali?
Ketika beliau mendapati bahwa seluruh penduduk Madinah lebih memilih Usman, maka beliau langsung memberitahu Ali bahwa tampaknya Usman lebih dipilih. Maka Ali pun dengan senang hati menerimanya.
Sepuluh tahun lalu, bagi saya pandangan Sang Syekh ini agak aneh, karena muncul dari seorang dosen salafi, apalagi dari Jurusan Akidah, yang di UIM terkenal dengan "kekokohan manhajnya". Kajian ini saya masih ingat, karena waktu itu saya mencatat penjelasan beliau secara lengkap di cat. kaki buku Syarah Ath-Thahawiyah yang kelak hilang entah ke mana.
Tapi kajian langka beliau ini, saya tidak mendapatinya dari syekh-syekh lain, bahkan tidak saya dengar dari kajian-kajian para doktor alumni, meskipun misalnya dibahas dan disebutkan sebagai salah satu persoalan ijtihadi.
Sebaliknya, rata-rata para masyaikh lain atau para doktor alumni mengatakan atau menegaskan bahwa hukum asal pemilu itu haram karena mendasarkan keputusannya pada suara terbanyak, dan yang terbanyak itu biasanya berada dalam kesesatan. Atau juga pemilu itu menyamakan suara orang fajir dengan suara orang saleh. Atau pemilu itu sumbernya dari barat.
Juga seabrek pendalilan lainnya yang kesemuanya kalau tidak salah sudah sempat didebat argumennya dalam disertasi (Al-Intikhabat wa Ahkamuha fi Al-Fiqh Al-Islamiy) karya Dr. Fahd Al-'Ajlan di KSU, universitas terbesar dan andalan KSA.
Tapi, bagi saya, sekali lagi, berbeda bagaimana pun atau mau memilih pendapat apa pun terkait hal tersebut, menjaga ukhuwah itu tetaplah nomor 1. Adapun persoalan pemilihan presiden, maka itu urusan nomor 2. Wassalaam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar