Hari itu, Raden Ajeng Kartini menghadiri pengajian di Pendopo Bupati Demak yang tidak lain adalah pendopo milik pamannya, Raden Mas Adipati Ario Adiningrat . Yang menjadi pemateri dalam pengajian sederhana tersebut adalah Muhammad Shaleh bin Umar dari Darat, Semarang. Lebih dikenal dengan nama Shaleh Darat. Seorang ulama yang pernah menimba ilmu di Tanah Haram, Mekkah Al-Mukarramah.
Kartini muda sangat takjub mendengarkan penjelasan Kyai Shaleh Darat seputar surat Al-Fatihah. Baru kali ini ia mendengarkan seorang ulama menjelaskan kandungan ayat Al-Qur’an dengan sejuknya, ibarat air jernih yang mengalir lembut. Menggetarkan jiwa. Meneduhkan hatinya.
Usai pengajian, ditemani sang paman, Kartini dengan penuh santun meminta sang ulama kiranya berkenan menerjemahkan dan menafsirkan Al-Qur’an ke dalam bahasa yang ia pahami: bahasa Jawa.
“Kyai, selama hidupku baru kali ini aku berkesempatan memahami makna surat Al-Fatihah, surat pertama dan induk Al-Qur’an. Isinya begitu indah, menggetarkan sanubariku,” ungkap Kartini.
“Bukan buatan rasa syukur hati ini kepada Allah. Namun, aku heran mengapa selama ini para ulama melarang keras penerjemahan dan penafsiran Al-Qur’an ke dalam bahasa Jawa. bukankah Al-Qur’an adalah bimbingan hidup bahagia dan sejahtera bagi manusia?”
“Bukan buatan rasa syukur hati ini kepada Allah. Namun, aku heran mengapa selama ini para ulama melarang keras penerjemahan dan penafsiran Al-Qur’an ke dalam bahasa Jawa. bukankah Al-Qur’an adalah bimbingan hidup bahagia dan sejahtera bagi manusia?”
Sang ulama tertegun. Ia memuji Allah. Sejak itu, Kyai Shaleh Darat sibuk menerjemahkan Al-Qur’an ke dalam bahasa Jawa. Namun, bukan Al-Qur’an saja yang ia terjemahkan ke dalam bahasa Jawa. Beberapa kitab berbahasa Arab juga ia terjemahkan ke dalam bahasa Jawa agar mudah dipahami masyarakat muslim saat itu.
Kyai Shaleh Darat menyelesaikan terjemahan dan tafsir Al-Qur’an sebanyak 13 Juz, dari surat Al-Fatihah sampai Surat Ibrahim. Ia hadiahkan karyanya itu kepada Kartini. Perempuan yang dianggap tokoh emansipasi wanita Indonesia itu bukan kepalang gembiranya. Ia mempelajarinya dengan serius sehingga timbul rasa cinta pada Al-Qur’an padahal sebelumnya ia adalah orang yang sama sekali tidak paham apa itu Islam. Ia hanya menganutnya karena sejak lahir ia sudah beragama Islam. Ia mengeluhkan hanya menghafal ayat Al-Qur’an tanpa memahami artinya.
Hal itu bisa dilihat dalam surat yang ditulis Kartini kepada sahabatnya bernama Stella Zihandelaar, 6 November 1899:
Mengenai agamaku, Islam, aku harus menceritakan apa? Islam melarang umatnya mendiskusikan ajaran agamanya dengan umat lain. Lagi pula, aku beragama Islam karena nenek moyangku Islam. Bagaimana aku dapat mencintai agamaku, jika aku tidak mengerti dan tidak boleh memahaminya?
Al-Qur’an terlalu suci; tidak boleh diterjemahkan ke dalam bahasa apa pun, agar bisa dipahami setiap muslim. Di sini tidak ada orang yang mengerti bahasa Arab. Di sini, orang belajar Al-Qur’an tapi tidak memahami apa yang dibaca….
Dalam surat lain yang ia tulis untuk Ny. EC. Abendanon, tanggal 15 Agustus 1902, Kartini menulis:
Dan waktu itu aku tidak mau lagi melakukan hal-hal yang tidak tahu apa perlu dan manfaatnya. Aku tidak mau lagi membaca Al-Qur’an, belajar menghafal perumpamaan-perumpamaan dengan bahasa asing yang tidak aku mengerti artinya….
Setelah mempelajari Islam dari Kyai Shaleh Darat serta membaca terjemahan dan tafsir Al-Qur’an dari sang guru, pandangan kartini tentang Islam berubah. Ia makin cinta dengan Al-Qur’an serta agama yang ia anut. Ia ungkapkan hal tersebut dalam suratnya yang ditujukan kepada Ny. Abendanon, 15 Agustus 1902:
Alangkah bebalnya, bodohnya kami, kami tiada melihat, tiada tahu, bahwa sepanjang hidup ada gunung kekayaan di samping kami.Gunung kekayaan yang dimaksud Kartini tidak lain ialah Al-Qur’anul Karim. Lebih jauh Kartini mengungkapkan:Kami berpegang teguh-teguh pada tangan-Nya. Maka hari gelap gulita pun menjadi terang, dan angin rebut pun menjadi sepoi-sepoi….Manakah akan terang, bila tiada didahului gelap gulita. Hari fajar lahir setelah hari malam.
Juga suratnya kepada Ny. Van Kol, 21 Juli 1902, yang menunjukkan keinginannya agar agama Islam tidak dipandang negatif oleh penganut agama lain:
Saya bertekad dan berupaya memperbaiki citra Islam yang selama ini kerap menjadi sasaran fitnah. Semoga kami mendapat rahmat, dapat bekerja membuat agama lain memandang Islam sebagai agama disukai.
Guru para Ulama
Bagi kebanyakan orang, nama KH Shaleh Darat mungkin tidak lebih populer dari ulama Tanah Air lainnya semisal KH Hasyim Asy’ari, KH Ahmad Dahlan, atau Guru Besar KH Nawawi Banten. Meski begitu, Shaleh Darat adalah guru dari banyak ulama Nusantara. Di masanya, abad ke-19, ia menjadi ulama yang paling masyhur seantero Nusantara.
Shaleh muda sebagaimana ulama Nusantara lainnya pada masa itu, berhaji ke Mekkah ditemani sang ayah, Kiyai Umar (penasihat keagamaan Pangeran Diponegoro). Usai melaksanakan rukun Islam kelima, Shaleh tidak langsung pulang ke Nusantara melainkan menimba ilmu di Mekkah selama beberapa tahun. Di sana ia berguru kepada para masyaikh Mekkah dan juga kepada Syaikh Nawawi Banten.
Selepas belajar di Mekkah, Shaleh kembali ke Tanah Air. Ia mendirikan pesantren yang bertempat di Darat, bagian utara Semarang. Dari situlah ia kemudian dikenal sebagai Kyai Shaleh Darat. Telah banyak ulama yang lahir dari pesantren milik ulama ini, antara lain KH Ahmad Dahlan pendiri Muhammadiyah dan KH Munawwir pendiri Pondok Pesantren Krapyak Yogyakarta.
KH Shaleh Darat termasuk ulama yang produktif dalam menulis. Di antara kitab yang ditulisnya Majmu’ah Asy-Syari’ah Al-Kafiyah li Al-‘Awwam, di dalamnya berisi seputar praktik ibadah, muamalah, dan masalah pernikahan, juga sedikit pembahasan seputar aqidah. Sementara kitab yang ia terjemahkan antara lain Kitab Al-Hikam karya Syaikh Ahmad bin Atha’illah. Termasuk kitab tafsir yang ditulisnya, Tafsir Faid Ar-Rahman, sebanyak 4 jilid yang dihadiahkan kepada RA Kartini. Tafsir tersebut tidak tuntas 30 Juz sebab beliau lebih dulu meninggal dunia sebelum menyelesaikannya. Kyai Shaleh Darat tutup usia pada 18 Desember 1903 di Semarang.
Penulis: Mahardy Purnama
Tidak ada komentar:
Posting Komentar