Banyak bahasan yang perlu diketahui dalam perkara ruqyah Syar'iyyah. Terutama seorang praktisi Ruqyah Syar'iyyah sangat perlu untuk mengetahui dan memahami hal-hal penting terutama masalah hukum -hukum dalam Tema ruqyah Syar'iyyah. Berikut beberapa bahasan yang perlu diketahui oleh seorang praktisi Ruqyah Syar'iyyah.
HUKUM MEMINTA RUQYAH
Meminta Ruqyah sebagaimana kita pahami adalah meminta orang lain untuk meruqyah kita. Para ulama telah berbeda pendapat tentang hal ini namun pendapat yang mendekati kebenaran adalah diperbolehkan sebagaimana pendapat syekh shalih bin Fauzan.
Meminta ruqyah juga bahkan diperintahkan oleh Rasulullah kepada istri beliau dan juga kepada beberapa orang sahabat.
Nabi memerintahkan sahabat beliau untuk memintakan ruqyah kepada dua anak Ja'far bin Abi Thalib.
عَنْ حُمَيْدِ بْنِ قَيْسٍ الْمَكِّيِّ أَنَّهُ قَالَ
دُخِلَ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِابْنَيْ جَعْفَرِ بْنِ أَبِي طَالِبٍ فَقَالَ لِحَاضِنَتِهِمَا مَا لِي أَرَاهُمَا ضَارِعَيْنِ فَقَالَتْ حَاضِنَتُهُمَا يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّهُ تَسْرَعُ إِلَيْهِمَا الْعَيْنُ وَلَمْ يَمْنَعْنَا أَنْ نَسْتَرْقِيَ لَهُمَا إِلَّا أَنَّا لَا نَدْرِي مَا يُوَافِقُكَ مِنْ ذَلِكَ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اسْتَرْقُوا لَهُمَا فَإِنَّهُ لَوْ سَبَقَ شَيْءٌ الْقَدَرَ لَسَبَقَتْهُ الْعَيْنُ
Dari Humaid bin Qais Al Makki berkata, "Suatu ketika dua anak Ja'far bin Abu Thalib dibawa ke hadapan Rasulullah ﷺ. Beliau bertanya kepada perawatnya, "Kenapa aku melihat keduanya sangat kurus?" penjaganya menjawab, "Wahai Rasulullah, penyakit 'ain telah menyerang mereka berdua dengan cepat. Tidak ada yang menghalangi kami untuk meminta mereka diruqyah, hanya saja kami tidak mengetahui apakah Anda menyetujuinya.' Rasulullah ﷺ lalu bersabda, 'Ruqyahlah mereka, karena sesungguhnya jika ada yang dapat mendahului takdir, niscaya penyakit 'ain-lah yang akan mendahuluinya." (Riwayat Imam Malik dalam Al-Muwaththo)
Nabi memerintahkan istri beliau untuk meminta ruqyah
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَأْمُرُنِي أَنْ أَسْتَرْقِيَ مِنْ الْعَيْنِ
Dari Aisyah Radhiyallahu Anha, beliau berkata: "Rasulullah ﷺ memerintahkan aku untuk minta ruqyah dari penyakit 'Ain". (HR. Muslim)
عَنْ زَيْنَبَ ابْنَةِ أَبِي سَلَمَةَ عَنْ أُمِّ سَلَمَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَأَى فِي بَيْتِهَا جَارِيَةً فِي وَجْهِهَا سَفْعَةٌ فَقَالَ اسْتَرْقُوا لَهَا فَإِنَّ بِهَا النَّظْرَةَ
تَابَعَهُ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ سَالِمٍ عَنْ الزُّبَيْدِيِّ وَقَالَ عُقَيْلٌ عَنْ الزُّهْرِيِّ أَخْبَرَنِي عُرْوَةُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Dari Zainab putri Ummu Salamah dari Ummu Salamah radhiallahu'anha bahwa Nabi ﷺ melihat budak wanita di rumahnya, ketika beliau melihat bekas hitam pada wajah budak wanita itu, beliau bersabda, "mintalah ruqyah untuknya, karena padanya terdapat nadlrah (sisa sakit yang disebabkan karena sorotan mata jahat)." (HR. Bukhari)
Dari beberapa dalil di atas kita mengetahui bahwa meminta ruqyah dibolehkan bahkan diperintahkan oleh Nabi shallallahu alaihi wasallam. Namun yang sering menjadi pertanyaan adalah adanya hadis dari Nabi shallallahu alaihi wasallam yang diriwayatkan oleh imam muslim tentang 70.000 umat Nabi shallallahu alaihi wasallam yang akan masuk surga tanpa hisab dan salah satu ciri mereka adalah tidak pernah meminta di ruqyah.
عَنْ عِمْرَانَ بْنِ حُصَيْنٍ
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ مِنْ أُمَّتِي سَبْعُونَ أَلْفًا بِغَيْرِ حِسَابٍ قَالُوا مَنْ هُمْ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ هُمْ الَّذِينَ لَا يَسْتَرْقُونَ وَلَا يَتَطَيَّرُونَ وَلَا يَكْتَوُونَ وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ
Dari Imran bin Hushain bahwa Rasulullah ﷺ bersabda, "Tujuh puluh ribu orang dari umatku akan masuk surga tanpa hisab." Mereka bertanya, 'Siapakah mereka wahai Rasulullah?’ Beliau menjawab, "Mereka adalah orang yang tidak meminta di ruqyah, tidak bertathayyur, tidak melakukan pengobatan dengan kay dan mereka bertawakkal kepada Rabb mereka.'" (HR. Muslim)
Berkaitan dengan hadis ini para ulama berbeda pendapat tentang apakah yang dimaksud meminta ruqyah adalah termasuk ruqyah Syar'iyyah.
Syekh bin baz rahimahullah berkata :
"70.000 orang adalah mereka yang istiqomah pada agama Allah. Mereka meninggalkan apa-apa yang diharamkan Allah, melanggangkan apa yang diwajibkan Allah. Di antara sifat baik mereka adalah tidak meminta ruqyah. Akan tetapi meminta ruqyah tidak menjadikan pelakunya terhalang dari 70.000 yang masuk surga tanpa hisab. Makna istiqo adalah meminta ruqyah. Apabila ada keperluan mendesak untuk meminta ruqyah, maka tidak mengapa melakukannya. Nabi shallallahu alaihi wasallam menyuruh Aisyah radhiyallahu anha untuk minta ruqyah, dan menyuruh Ibu dari anak-anak Ja'far meminta ruqyah untuk anak-anaknya. Maka tidak masalah dengan meminta ruqyah. Begitu juga apabila ada hajat untuk meminta diobati dengan kay hal itu tidak masalah namun meninggalkan kay lebih utama apabila ada pengobatan yang lebih mudah. (Fatawa Nur 'Ala ad-Darbi : 1/76)
Syaikh Dr. Isa bin Abdillah as-sa'di dalam penjelasannya mengenai hadis di atas beliau menjelaskan bahwa tidak meminta ruqyah yang dimaksud adalah ruqyah syirkiyah atau ruqyah yang dilakukan dengan cara-cara yang syirik. Beliau berkata:
"Secara khusus ini adalah suatu keutamaan bagi orang yang bertawakal dengan sempurna. Tawakal ini mengistimewakan pelakunya dengan tiga perkara yang setidaknya bisa terkumpul pada diri seorang muslim. Diantaranya adalah meninggalkan *ruqyah syirkiyah*, meniadakan pekerjaan yang menimbulkan pesimistis, dan meninggalkan pengobatan kai di keadaan-keadaan yang makruh. (Atsaru Matsalil A'la hal. 19)
Sementara syekh sholeh Fauzan berpendapat bahwa meminta ruqyah menjadikan seseorang terhalang masuk surga tanpa hisab karena ada sebab khusus dari perilaku serta sikap orang yang meminta ruqyah beliau mengatakan:
_"Makna kalimat *laa yastarquun* adalah tidak meminta di ruqyah. Orang yang meminta ruqyah terdapat kecenderungan di dalam hatinya kepada peruqyah sampai terangkat suatu penyakit pada dirinya. Ini adalah pelarangan yang dimaksud pada kalimat laa yastarquun karena kebanyakan manusia terlalu menyandarkan hati mereka kepada ruqyah melebihi ketergantungan pada praktek pengobatan dan yang lainnya. Dan ruqyah di masa Arab jahiliyah seperti ini keadaannya. Ketergantungan orang-orang kepada ruqyah sangat luar biasa sehingga hati manusia menjadi tergantung pada perutnya dan ruqyah yang dibacakan. Hal inilah yang menyebabkan ketawakalan itu tidak sempurna. (Kifayatul Mustazid bi syarhi kitaabi at-tauhid hal. 42)
Alasan utama beliau karena kebanyakan peminta ruqyah terlalu berharap pada peruqyah kondisi harapan yang terlalu condong pada peruqyah sama seperti kondisi masyarakat Arab jahiliyah di masa lampau.
Dari beberapa pendapat di atas kita bisa memahami bahwa salah satu penyebab seseorang yang meminta ruqyah terhalang untuk masuk ke dalam surga tanpa hisab adalah karena kurangnya tawakal maka apabila meminta ruqyah itu tidak menafikan tawakalnya kepada Allah maka meminta ruqyah tetap dibolehkan. Dan meminta ruqyah tidak menafikan tawakal sebagaimana pendapat syekh shalih Fauzan ketika ditanya apakah meminta ruqyah menafikan tawakal? beliau menjawab meminta ruqyah tidak menafikan tawakal.
Dan perlu dipahami bahwa tidak minta ruqyah bukan satu-satunya ciri dari
70.000 umat Nabi yang masuk surga tanpa hisab tersebut. Ada ciri-ciri yang lain disebutkan oleh Nabi shallallahu alaihi wasallam. Yaitu mereka tidak berobat dengan kay, tidak bertathayyur, dan
hanya bertawakal. Kalau kita memahami ciri-ciri tersebut tiga ciri yang disebutkan oleh Nabi shallallahu alaihi wasallam mewakili tiga hukum yakni,
1. Meminta ruqyah hukumnya *mubah atau boleh*;
2. Berobat dengan kay hukumnya makruh; dan
3. Bertathayyur hukumnya haram.
Maka kesimpulan dari hadis tersebut adalah 70.000 orang yang masuk surga tanpa hisab dari umat Nabi adalah mereka yang meninggalkan pengobatan dengan hal yang diharamkan, hal yang dimakruhkan, bahkan dengan hal yang dibolehkan sekalipun karena mereka bertawakal kepada Allah secara penuh.
APAKAH RUQYAH MANDIRI LEBIH AFDHAL?
Istilah ruqyah mandiri ini muncul didasari pada adanya pemahaman bahwa meminta ruqyah tidak diperbolehkan karena akan mengeluarkan pelakunya dari
70.000 orang yang masuk surga tanpa hisab berdasarkan hadits yang disebutkan sebelumnya. Namun Istilah Ruqyah mandiri pada dasarnya tidak dikenal dizaman para salaf. Karena ruqyah yang kita pahami adalah bacaan yang dibacakan oleh seseorang kepada orang yang sakit. Maka pada dasarnya terapi yang dilakukan untuk diri sendiri tidaklah bisa disebut sebagai terapi ruqyah maka dalam hal ini kita sebut sebagai terapi mandiri.
Pertanyaan yang muncul adalah apakah terapi mandiri lebih afdhal dibandingkan dengan meminta ruqyah? Untuk menjawab pertanyaan ini kita harus melihat dalil-dalil yang berkaitan dengannya.
Dalil yang menunjukkan terapi mandiri
عَنْ عَمْرِو بْنِ كَعْبِ بْنِ مَالِكٍ عَنْ أَبِيهِ قَالَ
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا وَجَدَ أَحَدُكُمْ أَلَمًا فَلْيَضَعْ يَدَهُ حَيْثُ يَجِدُ أَلَمَهُ ثُمَّ لِيَقُلْ سَبْعَ مَرَّاتٍ أَعُوذُ بِعِزَّةِ اللَّهِ وَقُدْرَتِهِ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ مِنْ شَرِّ مَا أَجِدُ
dari 'Amru bin Ka'b bin Malik dari ayahnya dia berkata, "Rasulullah ﷺ bersabda, "Jika salah seorang dari kalian merasa sakit, hendaklah ia menaruh tangannya pada daerah yang sakit kemudian mengatakan tujuh kali; A'UUDZU BI'IZZATILLAHI WA QUDRATIHI ALA KULLI SYAI`IN MIN SYARRI MA AJIDU (Aku berlindung dengan kemuliaan dan kekuasaan Allah dari setiap keburukan yang aku alami).'" (HR. Ahmad)
عَنْ عُثْمَانَ بْنِ أَبِي الْعَاصِ الثَّقَفِيِّ أَنَّهُ قَالَ
قَدِمْتُ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَبِي وَجَعٌ قَدْ كَادَ يُبْطِلُنِي فَقَالَ لِي النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اجْعَلْ يَدَكَ الْيُمْنَى عَلَيْهِ وَقُلْ بِسْمِ اللَّهِ أَعُوذُ بِعِزَّةِ اللَّهِ وَقُدْرَتِهِ مِنْ شَرِّ مَا أَجِدُ وَأُحَاذِرُ سَبْعَ مَرَّاتٍ فَقُلْتُ ذَلِكَ فَشَفَانِيَ اللَّهُ
Dari 'Utsman bin Abu Al 'Ash Ats Tsaqafi bahwa dia berkata, "Saya datang menemui Nabi ﷺ, dan (saat itu) saya menderita penyakit yang sangat menggangguku, maka Nabi ﷺ bersabda kepadaku, "Letakkanlah tanganmu yang kanan di atasnya (anggota badan yang sakit) lalu ucapkanlah: 'BISMILLAHI A'UUDZU BI 'IZZATILLAH WA QUDRATIHI MIN SYARRI MAA AJIDU WA UHAADZIRU (Dengan nama Allah aku berlindung dengan keagungan Allah dan kekuasaan-Nya dari keburukan yang aku rasakan dan aku hindari)', hingga tujuh kali." Lalu saya mengucapkan doa tersebut, maka (dengan itu) Allah menyembuhkanku." (HR. Ibnu Majah)
Dalil di atas menunjukkan adanya anjuran Nabi shallallahu alaihi wasallam kepada orang yang sakit untuk meletakkan tangannya di bagian yang sakit lalu mengucapkan doa
بِسْمِ اللَّهِ أَعُوذُ بِعِزَّةِ اللَّهِ وَقُدْرَتِهِ مِنْ شَرِّ مَا أَجِدُ وَأُحَاذِرُ
Dari sinilah kemudian disimpulkan bahwa seseorang yang sakit bisa atau boleh melakukan terapi mandiri dengan doa-doa yang telah diajarkan oleh Nabi shallallahu alaihi wasallam tersebut.
Kembali pada pertanyaan di atas, apakah terapi mandiri lebih afdhal dilakukan oleh orang yang sakit dibandingkan dengan dia berobat dengan meminta ruqyah kepada orang lain? Jawabannya bisa kita lihat dari beberapa sisi:
1. Jika dilihat dari dalil-dalil.
dalil-dalil yang menunjukkan dianjurkannya meminta ruqyah lebih banyak dibandingkan dalil terapi mandiri. Sudah kita sebutkan di awal beberapa dalil-dalil yang menunjukkan Nabi shallallahu alaihi wasallam memerintahkan istri dan sahabat beliau untuk meminta ruqyah dari penyakit ain.
2. Adanya perintah Nabi shallallahu alaihi wasallam untuk berobat ketika kita mengalami sakit.
Ketika seorang sakit maka dianjurkan oleh Nabi shallallahu alaihi wasallam untuk mencari atau melakukan terapi pengobatan terhadap penyakitnya. Rasulullah ﷺ bersabda:
إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ حَيْثُ خَلَقَ الدَّاءَ خَلَقَ الدَّوَاءَ فَتَدَاوَوْا
"Allah 'Azza wa Jalla ketika menciptakan penyakit, juga menciptakan obat, maka berobatlah kalian." (HR. Ahmad)
3. Dalam melakukan sesuatu perbuatan haruslah didasari dengan ilmu.
Seseorang yang melakukan terapi mandiri harus memiliki ilmu tentang terapi terlebih dahulu. Jika dia tidak memiliki ilmu tentang terapi ataupun pengobatan maka sebaiknya dia meminta kepada orang yang memiliki ilmu terutama di bidang ruqyah syar'iyyah.
4. Orang yang meninggalkan meminta ruqyah agar termasuk dalam 70.000 umat Nabi yang masuk surga tanpa hisab haruslah bertawakal secara penuh kepada Allah subhanahu wa ta'ala. Ada fenomena menarik yang pernah kami temui. Ada seorang Ikhwan yang tidak mau minta ruqyah dengan alasan agar tidak dikeluarkan dari
70.000 umat Nabi yang masuk surga tanpa hisab. Dia beralasan bahwa meminta ruqyah bisa mengurangi tawakal kepada Allah.
Akan tetapi dalam mengobati penyakitnya dia tetap menjalani pengobatan selain ruqyah. Seperti datang ke dokter atau menjalani terapi yang lainnya. Ini suatu kekeliruan yang besar. Bagaimana dia beranggapan bahwa meminta ruqyah mengurangi tawakal kepada Allah, sementara meminta diobati oleh dokter atau terapis yang lain tidak mengurangi tawakal kepada Allah. Justru berobat dengan ruqyah jauh lebih menyempurnakan tawakal karena ruqyah adalah pengobatan dengan Alquran dan doa-doa serta zikir-zikir yang diajarkan Nabi shallallahu alaihi wasallam.
Maka berdasarkan alasan-alasan di atas maka meminta ruqyah bagi orang yang sakit, terlebih apabila dia belum memiliki ilmu yang cukup dalam masalah ruqyah, jauh lebih afdhal daripada melakukan terapi mandiri.
Wallahu A'lam
Oleh:
Al-Faqir Riswanto Abu Musyawir
*RUQO TV*
_Media Dakwah Ruqyah Syar'iyyah_
Follow Kami di :
✔️YouTube:
https://www.youtube.com/@ruqotv
✔️Facebook:
https://www.facebook.com/ruqo.tv
✔️Instagram:
https://instagram.com/ruqo.tv
✔️Tik tok:
tiktok.com/@ruqo_tv
✔️ Blogger:
https://ruqotv.blogspot.com/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar