Oleh: dr. Raehanul Bahraen
Pemilu/Pilpres dan sistem demokrasi memang tidak sesuai dengan syariat baik secara secara dalil dan akal. Secara akal, suara satu orang profesor atau orang yang berilmu dan ahli disamakan dengan satu orang yang tidak tahu apa-apa atau orang tersebut bodoh.
Secara syari’at tidak sesuai juga, karena pemilihan pemimpin yang dianggap dalam Islam ada beberapa cara:
- Dewan Syura (Ahlul Halli Wal ‘Aqdi), sebagaimana Umar bin Khathab meninggalkan 6 orang ahli syura
- Tunjuk langsung, sebagaimana Abu Bakar ke Umar Radhiallahu’anhuma
- Mughalabah, pemimpin di kalahkan oleh kelompok yang mengalahkan
Pemimpin dari hasil pemilu juga harus ditaati
Mungkin banyak yang bertanya-tanya mengapa ada yang berpendapat ikut serta pemilu tidak disyariatkan, tetapi jika ada presiden sudah terpilih lewat Pemilu/Pilpres malah diwajibkan untuk taat?
Jawabnya, siapapun yang terangkat menjadi pemimpin yang sah maka wajib ditaati walaupun caranya tidak sesuai syariat, misalnya cara ke 3 yaitu mughalabah, jika raja yang sah dikalahkan dan dikudeta, maka wajib mentaati yang baru.
Hadits berikut bisa memberi penjelasan. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda agar taat dan patuh kepada pemimpin walaupun seorang budak Habasyah yang hitam legam. Beliau bersabda,
عليكم بالسَّمعِ والطَّاعةِ وإن تأمَّرَ عليكم عبدٌ حبشِيٌّ
“Wajib bagi kalian untuk mendengar dan taat meskipun yang memerintah kalian adalah seorang budak Habasyah” [1]
Padahal syarat jadi pemimpin adalah merdeka, karena budak harus taat terhadap tuannya. Maka ia menjadi pemimpin, ini tidak sesuai syariat. Tapi jika seandainya benar-benar jadi pemimpin, maka harus ditaati, karena Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda demikian. Jika saja budak yang melanggar syarat jadi pemimpin harus ditaati (dan budak menjadi pemimpin jelas tidak sesuai syariat), maka apalagi cara yang lain.
Asy-Syinqithi rahimahullah berkata,
أَمَّا لَوْ تَغَلَّبَ عَبْدٌ حَقِيْقَةً بِالْقُوَّةِ فَإِنَّ طَاعَتَهُ تَجِبُ إِخْمَادًا لِلْفِتْنَةِ وَصَوْنًا لِلدِّمَاءِ مَا لَمْ يَأْمُرْ بِمَعْصِيَةٍ
“Jika seorang budak secara nyata berhasil menguasai secara paksa dengan kekuatannya, maka taat kepadanya adalah wajib dalam rangka memadamkan gejolak (kekacauan) dan menghindari pertumpahan darah, selama dia tidak memerintahkan kepada maksiat” [2].
Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullah, menukilkan perkataan Ibnu Baththal ,
وَقَدْ أَجْمَعَ الْفُقَهَاءُ عَلَى وُجُوبِ طَاعَةِ السُّلْطَانِ الْمُتَغَلِّبِ وَالْجِهَادِ مَعَهُ وَأَنَّ طَاعَتَهُ خَيْرٌ مِنَ الْخُرُوجِ عَلَيْهِ لِمَا فِي ذَلِكَ مِنْ حَقْنِ الدِّمَاءِ وَتَسْكِينِ الدَّهْمَاءِ
“Para fuqaha sepakat bahwasanya wajib taat kepada penguasa yang menaklukkan secara paksa dan berjihad bersamanya, dan bahwasanya taat kepadanya lebih baik daripada melakukan pemberontakan terhadapnya, dalam rangka mencegah pertumpahan darah dan menenangkan masyarakat” [3]
Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah berkata,
الْأَئِمَّةُ مُجِْمِعُونَ مِنْ كُلِّ مَذْهَبٍ عَلَى أَنَّ مَنْ تَغَلَّبَ عَلَى بَلَدٍ أَوْ بُلْدَانٍ؛ لَـُه حُكْمُ الْإِمَامِ فِي جَمِيعِ الْأَشْيَاءِ
“Para imam dari setiap madzhab sepakat bahwa siapa yang berhasil menaklukkan satu negeri atau beberapa negeri, maka hukumnya sebagai imam dalam segala sesuatu” [4]
Jangan hanya salahkan pemimpin saja
Tapi perlu kita ketahui bahwa tidak selamanya kebaikan itu kuncinya di pemimpin saja. Kita juga perlu memperhatikan kualitas tauhid dan aqidah rakyatnya, memperbaiki aqidah masyarakat dahulu dan perlahan-lahan. Kita bisa lihat contoh ketika Bani Israil dipimpin oleh Firaun yang kejam, mereka tetap solid dan tetap beriman kepada Nabi Musa ‘alaihissalam. Aqidah mereka kokoh. Tetapi ketika diselamatkan oleh Nabi Musa dan mereka dipimpin oleh Nabi-Nabi setelah beliau terus secara bergantian, mereka malah menjadi orang-orang yang mendapat hukuman diubah menjadi kera dan babi. Karena aqidah mereka terus terkikis.
Begitu juga dengan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, tatkala ditawarkan jadi pemimpin Arab, tetapi beliau tidak mau, dan lebih memilih memeprbaiki aqidah dan tauhid umat. Perlu diketahui juga munculnya pemimpin yang zalim bisa jadi akibat perbuatan rakyatnya. Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
يَا مَعْشَرَ الْمُهَاجِرِينَ خَمْسٌ إِذَا ابْتُلِيتُمْ بِهِنَّ وَأَعُوذُ بِاللَّهِ أَنْ تُدْرِكُوهُنَّ وَمَا لَمْ تَظْهَرِ الْفَاحِشَةُ فِي قَوْمٍ حَتَّى يُعْلِنُوا بِهَا إِلَّا ظَهَرَ فِيهِمُ الأَمْرَاضُ الَّتِي لَمْ تَكُنْ فِي أَسْلَافِهِمِ وَمَا مَنَعُوا زَكَاةَ أَمْوَالِهِمْ إِلَّا مُنِعُوا الْقَطْرَ مِنَ السَّمَاءِ وَلَوْلَا الْبَهَائِمُ لَمْ يُمْطَرُوا وَ مَا لَمْ يُطَفِّفُوا الْكَيْلَ وَالْمِيزَانَ إِلَّا أُخِذُوا بِجَوْرِ السُّلْطَانِ وَشِدَّةِ الْمَئُونَةِ وَالسِّنِينَ وَمَا لَمْ تَحْكُمْ أَئِمَّتُهُمْ بِكِتَابِ اللَّهِ وَيَتَخَيَّرُوا مِمَّا أَنْزَلَ اللَّهُ إِلَّا جَعَلَ اللَّهُ بَأْسَهُمْ بَيْنَهُمْ شَدِيْدٌ
“Hai orang-orang Muhajirin, lima perkara, jika kamu ditimpa lima perkara ini, aku mohon perlindungan kepada Allah agar kamu tidak mendapatkannya. Tidaklah muncul perbuatan keji (Zina,merampok, minum khamr, judi, dan lainnya) pada suatu masyarakat, sehingga mereka melakukannya dengan terang-terangan, kecuali akan tersebar penyakit-penyakit lainnya yang tidak ada pada orang-orang sebelum mereka. Orang-orang tidak menahan zakat hartanya, kecuali hujan dari langit juga akan ditahan dari mereka. Seandainya bukan karena hewan-hewan, manusia tidak akan diberi hujan. Tidaklah orang-orang mengurangi takaran dan timbangan, kecuali mereka akan disiksa dengan kezhaliman penguasa, kehidupan yang susah, dan paceklik. Dan selama pemimpin-pemimpin (negara, masyarakat) tidak menghukumi dengan kitab Allah. Dan memilih-milih sebagian apa yang Allah turunkan, kecuali Allah menjadikan permusuhan yang keras di antara mereka” [5]
Jika ingin menyalahkan jeleknya kepemimpinan pemimpin, maka rakyatnyalah yang lebih dahulu mengintropeksi diri. Karena pemimpin adalah cerminan dari rakyatnya.
Ibnu Qayyim Al-Jauziyah rahimahullah berkata, “Renungkanlah hikmah Allah Ta’ala dalam keputusan-Nya memilih para raja, pemimpin dan pelindung umat manusia adalah sama dengan amalan rakyatnya bahkan perbuatan rakyat seakan-akan adalah cerminan dari pemimpin dan penguasa mereka. Jika rakyat lurus, maka akan lurus juga penguasa mereka. Jika rakyat adil, maka akan adil pula penguasa mereka. Namun, jika rakyat berbuat zholim, maka penguasa mereka akan ikut berbuat zholim. Jika tampak tindak penipuan di tengah-tengah rakyat, maka demikian pula hal ini akan terjadi pada pemimpin mereka. Jika rakyat menolak hak-hak Allah dan enggan memenuhinya, maka para pemimpin juga enggan melaksanakan hak-hak rakyat dan enggan menerapkannya. Jika dalam muamalah rakyat mengambil sesuatu dari orang-orang lemah, maka pemimpin mereka akan mengambil hak yang bukan haknya dari rakyatnya serta akan membebani mereka dengan tugas yang berat. Setiap yang rakyat ambil dari orang-orang lemah maka akan diambil pula oleh pemimpin mereka dari mereka dengan paksaan. Dengan demikian setiap amal perbuatan rakyat akan tercermin pada amalan penguasa mereka. Berdasarkah hikmah Allah, seorang pemimpin yang jahat dan keji hanyalah diangkat sebagaimana keadaan rakyatnya..” [6].
Wallahu a’lam.
@Labroratorium Klinik RSUP DR. Sardjito, Yogyakarta Tercinta
Footnote:
[1] HR. Ahmad 4/126, At-Tirmidzi no. 2676, Abu Dawud no. 4607, Ibnu Majah no. 42, dari ‘Irbadh bin Sariyah
[2] Adhwa’ul Bayan, Asy-Syinqithi, 1/27
[3] Fathul Bari, 13/7
[4] Ad-Durar As-Saniyyah, 7/239
[5] HR Ibnu Majah no. 4019 dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Ash-Shahihah no. 106
[6] Miftah Daris Sa’adah hal. 253, Darul Kutub Al-‘Ilmiyyah, Beirut, Syamilah
—
Artikel Muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/22071-inilah-alasan-mengapa-pemimpin-hasil-pilpres-harus-tetap-ditaati.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar