Kalimat ruqyah mungkin tak asing lagi ditelinga kita. Bermacam-macam persepsi tentunya ada dibenak kita dalam menterjemahkan makna ruqyah itu sendiri. Dari kesyurupan,menghilangkan jin dalam tubuh, muntah-muntah, mantra/jampi-jampi, mengobati, melindungi diri dan lain-lainnya. Sehinggakan ruqyah ini juga menjadi alternatif masyarakat untuk pengobatan medis atau non medis. Banyaknya praktek ruqyah ditengah masyarakat yang mengatas namakan ruqyah syariah, namun dalam praktek sesungguhnya masih mencampuradukkan praktek perdukunan dan ilmu-ilmu tenaga dalam didalam pelaksanaannya. Tentunya ini membuat resah kaum muslimin yang sudah memahami syariat islam atau yang ingin menjemput kesembuhan dengan Thibbuun Nabawi melalui metode Ruqyah Syar'iah. Maka penting sekali kami menjelaskan difinisi Ruqyah Sya'iyyah yang sebenarnya dan ciri-cirinya sesuai Al Qur'an dan As Sunnah serta Qoul (perkataan) ulama-ulama terdahulu didalam kitab-kitab mereka sebagai berikut :
Definisi Ruqyah dan Kedudukannya Dalam Syari’at
Arti
ruqyah secara bahasa menurut Imam
Majduddin Muhammad bin Ya’qub Al Fairuz Abady dalam Al Qamusul Muhith hal.
1161, yaitu :
اَلرُّقْيَةُ بِاالضَّمِّ راء : اَلْعُوْذَةُ
Ar ruqyatu
dengan ro didhammah artinya memohon perlindungan. Ruqyah berasal dari kata :
رَقَى يَرقِيْ رُقْيًا وَرُقِيًّا وَرُقْيَةً نَفَثَ
فِيْ عُوْذَ تِهِ
yang artinya
meniup dalam memohon perlindungan. Kemudian
Imam Ibnu Hajar dalam Fathul Bari(10/195) mengartikan ruqyah adalah
permohonan perlindungan, atau ayat-ayat, dzikir-dzikir dan doa-doa yang
dibacakan kepada orang yang sakit. Syaikh Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ul Fatawa
10/195 :“Ruqyah artinya memohon perlindungan. Ruqyahtermasuk bagian dari doa.”
Sedangkan arti
ruqyah secara istilah menurut Syaikh Sa’ad Muhammad Shadiq dalam Shiro Bainal
Haq wal Bathil hal. 147 berkata :“ruqyah pada hakekatnya adalah berdoa dan
tawassul untuk memohon kesembuhan kepada Allah bagi orang yang sakit dan
hilangnya gangguan dari badannya.”
Jadi secara
sederhana pengertian ruqyah adalah bacaan/do’a yang disyari’atkan (dari
Alqur’an, do’a Rasulullah atau do’a kita sendiri) yang tatacaranya sesuai dengan yang diajarkan
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam untuk meminta kesembuhan dari penyakit,
perlindungan ganguan Jin/sihir, dan meminta hilangnya gangguan-ganguan yang
disebabkan jin/sihir dari badannya.
Ruqyah
dinamakan juga dengan ‘Azaa’im (bentukplural dari ‘Aziimah, yang dikenal dalam
bahasa Indonesia dengan azimat-azimat).
Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin- rahimahullahu- menjelaskan:”
Ruqyahdinamakan (juga) dengan ‘Azaa’im karena orang yang membacanya
meyakininya, serta lahir pada dirinya kekuatan penolakan (terhadap
penyakit/bahaya) ketika membacanya” (Risalah Fi Ahkami Ar Ruqaa’ Wa At Tama’im
karya Abu Mu’adz Muhammad bin Ibrahim hal. 13).
Hukum
menggunakan ruqyah untuk mengobati penyakit adalah mubah (boleh). Bahkan
syariat menganjurkannya. Berdasarkan nash-nash tekstual dalam Al Qur’an dan
As-Sunnah. Dan tidak diragukan lagi, bahwa pengobatan dengan Al Qur’an Al Karim
dan dengan nash-nash ruqyah yang tsabit (tetap) dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi
Wasallam adalah terapi pengobatan yang sangat sempurna dan bermanfaat.
Sebagaimana
Allah Subhanahu wa Ta’alaberfirman:
وَنُنَزِّلُ مِنَ الْقُرْآنِ مَا هُوَ شِفَاءٌ
وَرَحْمَةٌ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَلاَ يَزِيْدُ الظَّالِمِيْنَ إِلاَّ خَسَارًا
Artinya, “Dan
Kami turunkan dari Al Quran suatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi
orang-orang yang beriman dan Al Quran itu tidaklah menambah kepada orang-orang
yang zalim selain kerugian”. (QS. Al-Isro :82).
يَا أَيُّهَا النَّاسُ
قَدْ جَاءَتْكُمْ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّكُمْ وَشِفَاءٌ لِمَا فِي الصُّدُورِ
وَهُدًى وَرَحْمَةٌ لِلْمُؤْمِنِينَ
Artinya, “Hai
manusia, Sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari Tuhanmu dan
penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada dan petunjuk serta
rahmat bagi orang-orang yang beriman”. (QS. Yunus :57).
قُلْ هُوَ لِلَّذِيْنَ آمَنُوا هُدًى وَشِفَاءٌ
وَالَّذِيْنَ لاَ يُؤْمِنُوْنَ فِي آذَانِهِمْ وَقْرٌ وَهُوَ عَلَيْهِمْ عَمًى
أُولَئِكَ يُنَادَوْنَ مِنْ مَكَانٍ بَعِيْدٍ
Artinya,“Katakanlah:
‘Al-Qur`an itu adalah petunjuk dan penawar bagi orang-orang yang beriman. Dan
orang-orang yang tidak beriman pada telinga mereka ada sumbatan, sedang
Al-Qur`an itu suatu kegelapan bagi mereka. Mereka itu adalah (seperti)
orang-orang yang dipanggil dari tempat yang jauh’.”. (QS. Fushilat 44).
Al Qur’an
merupakan obat yang sempurna dan penawar bagi seluruh penyakit hati dan jasad,
serta penyakit-penyakit dunia dan akhirat. Namun tidak semua orang mampu dan
mempunyai kemampuan untuk melakukan penyembuhan dengan Al Qur’an. Hanya orang
yang dalam kehidupan sehari-hari istiqomah mengfungsikan Al-Quranul Karim yang
diimaninya sebagai kitab petunjuk, maka membacanya, mentadabburinya,
mengamalkannya, mendakwahkannya, dan memperjuangkan tegaknya hukum Al quran
serta pengobatan penyembuhan dilakukan secara baik sesuai dengan As-Sunnah,
didasari dengan kepercayaan dan keimanan, penerimaan yang penuh, keyakinan yang
pasti, serta terpenuhi syarat-syaratnya, maka tidak ada satu penyakit pun yang
mampu melawannya selama-lamanya. Bagaimana mungkin penyakit-penyakit itu akan
menentang dan melawan firman-firman RabbPemelihara langit dan bumi, yang jika
firman-firman itu turun ke atas gunung, maka ia akan memporak-porandakan gunung
tersebut! Atau jika turun ke bumi, niscaya ia akan menghancurkannya!. Oleh
karena itu, tidak ada satu penyakit hati dan juga penyakit fisik pun melainkan
di dalam Al Qur’an terdapat jalan penyembuhannya, penyebabnya, serta pencegah
terhadapnya bagi orangorang yang dikaruniai pemahaman oleh Allah Subhanahu wa
Ta’ala terhadap kitabNya.
Imam Ibnul
Qayyim–rahimahullah berkata: ”siapa yang tidak dapat disembuhkan oleh Al
Qur’an, berarti Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak memberikan kesembuhan padanya.
Dan siapa yang tidak dicukupkan oleh Al Qur’an, maka Allah Subhanahu wa Ta’ala
tidak memberikan kecukupan padanya”. Zaadul Ma’aad (4/352).
Dan dalil-dalil
dalam tatanan sunnah juga tidak sedikit yang menandaskan perintah kepada umat
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam untuk mengobati penyakit dengan metode
ruqyah ini bahkan beliau melakukannya untuk diri beliau sendiri, keluarga atau
untuk para sahabatnya.
Diantaranya
hadits dari ‘Aisyah -radhiallahu ‘anha-, ia berkata :
أَمَرَنِيْ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ أَنْ أَسْتَرْقِيَ مِنَ الْعَیْنِ
“Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi Wasallam memerintahkanku untuk meruqyah dari ‘ain (pengaruh
mata jahat)” (HR.Bukhari 7/23 dan Muslim dengan Syarah An Nawawi 4/184).
Dari Jabir bin
Abdillah -radhiallahu‘anhu-, ia berkata: ”Seeokor kalajengking pernah menyegat
salah seorang diantara kami, saat itu kami sedang duduk-duduk bersama
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Kemudian seorang laki-laki
berkata:”Wahai Rasulullah, apakah aku (boleh) meruqyahnya?” Lantas Beliau pun
bersabda:
مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمْ أَنْ یَنْفَعَ أَخَاهُ
فَلْیَفْعَلْ
“Siapa saja
diantara kalian mampu memberikan manfaat kepada saudaranya, maka lakukanlah”
(H.R Muslim 4/1726 no. 2199).
Dari ‘Auf bin
Malik Al Asyja’i -radhiallahu ‘anhu-, ia berkata: ”Kami dahulu menggunakan
ruqyahpada masa jahiliyah, lalu kami tanyakan hal tersebut kepada Nabi
Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, ”Wahai Rasulullah, bagaimana menurut pendapatmu
tentangruqyah itu?” Beliau menjawab:
أِعْرِضُوا عَلَيَّ رُقَاكُمْ لَا بَأْسَ بِالرُّقَى
مَالَمْ يَكُنْ فِيْهِ شِرْكٌ
"Perlihatkan
mantera (ruqyah) kalian kepadaku, ruqyah itu tidak mengapa jika tidak
mengandung syirik". (H.R Muslim (4/1727 no. 2200-Mausu'ah As-Sunani Wal
Mubtadi'at cet. Maktabah at-taufiqiyah 137).
Dari Aisyah
-radhiallahu‘anha- berkata : “Bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam pernah
peniup untuk dirinya dalam keadaan sakit menjelang wafatnya dengan bacaan Al
Mu’awwidzat, (surat Al Ikhlash dan Al Mu’awwidzatain: Al-Falaq dan An-Naas).
Maka ketika beliau kritis, akulah yang meniupkan bacaan itu dan aku usapkan
kedua tangannya ke tubuhnya karena keberkahan tangannya.” (H.R Al Bukhari
(5/2165 no. 5403).
Dari ‘Aisyah
-radhiallahu‘anha-: “Sesungguhnya Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi Wasallam biasa menengok istrinya ketika sakit.
Beliau mengusap dengan tangan kanannya dan berdo’a :
اَللّهُمَّ رَبَّ النَّاسِ أَذْهِبِ اْلبَأْسَ ،
اِشْفِ وَ أَنْتَ الشَّا فِيْ لاَ
شِفَاءَ إِلاَّشِفَاؤُكَ شِفَاءً لاَ يُغَادِرُسَقَمًا
“Ya Allah
pemelihara manusia hilangkanlah penyakit ini, sembuhkanlah, Engkaulah Yang Maha
Penyembuh. Tidak ada kesembuhan kecuali kesembuhan dari-Mu, kesembuhan tanpa
meninggalkan rasa sakit.” (HR.Bukhari 5743 dan Muslim 2191 Riyadhussalihin
hal.436 Insan Kamil).
Ciri-Ciri
Ruqyah Syar’iyyah
Dalam
prakteknya jika ada orang yang mengaku
bahwa pengobatannya adalah ruqyah tapi dalam praktiknya dia tidak membaca
sesuatu, berarti orang tersebut tidak paham sama sekali akan makna
ruqyah.Karena bacaan adalah termasuk unsur pokok dalam melakukan praktik ruqyah
sesuai dengan definisinya. Bukan ruqyah kalau dalam praktiknya dia tidak
membaca sesuatu, walaupun dalam kenyataannya jin yang ada dalam tubuh seseorang
keluar atau penyakit yang dideritanya sembuh. Dan bacaan ini bukan bacaan
dengan hati atau tidak bersuara sama sekali. Seorang pe-ruqyah harus membaca
bacaan itu dengan bersuara jelas sehingga orang-orang yang berada disekitarnya
mendengar materi bacaannya lalu meriwayatkan kepada yang lain bukan komat-kamit
tidak jelas.
Ada ciri-ciri
khusus dalam prakteknya yang bisa dikategorikan sebagai ruqyah yang sesuai
syari’at (ruqyah syar’iyyah. Kalau ciri itu tidak terpenuhi, maka ruqyah yang
dipraktekkan itu bisa dikategorikan sebagai ruqyah syirkiyyah atau ruqyah yang
menyimpang dari syari’at Islam.
Al Hafizh Ibnu
Hajar -rahimahullahu- dalamFathul Bari (10/195) menjelaskan : ”Para ulama telah
berijma’ (bersepakat) akan bolehnya menggunakan ruqyah(dalam pengobatan) dengan
terpenuhinya tiga syarat:
1. Ruqyah tersebut dengan
menggunakanKalamullah (ayat-ayat Al Qur’an), atau nama-nama dan sifat Allah
‘Azza wa Jalla dan Do’a-do’a As-Sunnah
Bacaan yang
dibaca oleh seorang peruqyah dengan ruqyah syar’iyyah adalah ayat-ayat Allah
yang dibaca sesuai dengan kaidah bacaannya (dibaca secara Tartil) atau ilmu
tajwid. Karena kita tidak boleh membaca ayat-ayat Al-Qur’an kecuali sesuai
dengan kaidah tajwidnya. Apabila ada seorang peruqyah membaca ayat-ayat
Al-quran dengan cepat seperti seorang dukun membaca mantra, maka rusaklah makna
dari ayat tersebut dan ia tidak akan dapat pahala, justru ia berdosa. Dan Islam
juga melarang seorang peruqyah untuk membaca al-Qur-an dengan memenggal-menggal
ayat yang bisa merubah maksud dan makna ayat tersebut. Di samping ayat
Al-Qur-an, seorang peruqyah juga bisa menjadikan do’a-do’a Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi Wasallam sebagai materi bacaannya. Karena hal itu telah
dicontohkan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dan juga dipraktikkan oleh
shahabat-shahabat serta para ulama’. Para ulama’ hadits telah membukukan
do’a-do’a tersebut dalam kitab-kitab hadits yang mereka susun. Dan para ulama’
lain juga telah memasukkannya sebagai bacaan ruqyah dalam kitab-kitab mereka
saat mengupas tentang materi ruqyah syar’iyyah.
Imam Nawawi
juga telah berkata, “Ruqyah dengan ayat-ayat al-Qur-an dan dengan do’a-do’a
yang telah diajarkan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam adalah suatu hal
yang tidak terlarang. Bahkan itu adalah perbuatan yang disunnahkan. Telah
dikabarkan para ulama’ bahwa mereka telah bersepakat (ijma’) bahwa ruqyah
dibolehkan apabila bacaannya terdiri dari ayat-ayat al-Quran atau do’a-do’a
yang diajarkan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam.” (Shahih Muslim bi
Syarhin Nawawi : 14/341).
2. Ruqyah tersebut harus diucapkan dengan
bahasa Arab atau (boleh dengan -Pen) bahasa selain Arab yang dibaca dengan
jelas dan difahami maknanya.
Para ulama’
sepakat bahwa bacaan ruqyah harus terdiri dari bahasa Arab, sebagai bahasa
Al-Quran dan As-sunnah. Namun sebagian mereka berbeda pendapat jika bacaan
ruqyah itu bukan bahasa Arab. Tapi yang perlu dicatat dan digaris bawahi adalah
tidak setiap bacaan yang berbahasa Arab itu benar maknanya atau tidak
mengandung kesyirikan. Karena banyak masyarakat Indonesia, khususnya umat Islam
yang mempunyai persepsi bahwa yang berbahasa Arab itu pasti benar dan
dilegalkan oleh Islam. Persepsi seperti itu tidak benar adanya, karena banyak
juga mantra-mantra kesyirikan yang berbahasa Arab, karena pemilik atau
pembuatnya orang Arab atau dia bisa berbahasa Arab.
Imam Nawawi
menukil perkataan Syekh al-Maziri,“Semua ruqyah itu boleh apabila bacaannya
terdiri dari kalam Allah atau Sunnah Rasul. Dan ruqyah itu terlarang apabila
terdiri dari bahasa non Arab atau dengan bahasa yang tidak dipahami maknanya,
karena dikhawatirkan ada kekufuran di dalamnya.” (Shahih Muslim bi Syarhin
Nawawi : 13/341).
3. Harus diyakini, bahwa yang memberikan
pengaruh dan kesembuhan bukanlah ruqyahdengan sendirinya, tetapi yang memberi
pengaruh adalah (izin dan) kekuasan Allah Azza wa Jalla.
Karena
hakikatnya yang bisa menyembuhkan penyakit, yang kuasa untuk menolak bahaya
atau bencana, atau yang mampu untuk melindungi diri dari gangguan syetan
hanyalah Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Allah Subhanahu Wa Ta’alamengabadikan
keyakinan Nabi Ibrahim dalam al-Quran ;
وَإِذَا مَرِضْتُ فَهُوَ يَشْفِينِ
“Dan apabila
aku sakit, Dialah (Allah) yang menyembuh-kanku.”(QS. Asy-Syu’aro’ : 80).
Di ayat lain,
Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman ;,
وَإِنْ يَمْسَسْكَ
اللَّهُ بِضُرٍّ فَلَا كَاشِفَ لَهُ إِلَّا هُوَ ۖ وَإِنْ يَمْسَسْكَ بِخَيْرٍ
فَهُوَ عَلَىٰ كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ
"Dan jika
Allah menimpakan sesuatu kemudharatan kepadamu, Maka tidak ada yang
menghilangkannya melainkan Dia sendiri. dan jika Dia mendatangkan kebaikan
kepadamu, Maka Dia Maha Kuasa atas tiap-tiap sesuatu. (QS.al-An’am : 17).
Syaikh Abdul
Aziz bin Abdullah bin Baz -rahimahullahu- menerangkan: ”Tentang ruqyah,
hadits-hadits shahih telah menunjukkan bahwa selama ia berisi ayat-ayat Al
Qur’an dan doa-doa yang dibolehkan syariat, maka hal itu tidak mengapa, jika
ruqyah tersebut dibaca dengan lisan yang jelas dan diketahui maknanya, serta
orang yang diruqyah tidak bergantung pada ruqyahtersebut (yang akan menjadi
syirik-pen), bahkan ia harus meyakini bahwa ruqyah hanya salah satu sebab
(diperolehnya kesembuhan). Berdasarkan sabda NabiShallallahu ‘Alaihi Wasallam:
لَا بَأْسَ بِالرُّقَى مَالَمْ يَكُنْ فِيْهِ شِرْكٌ
“ruqyah itu
tidak mengapa jika tidak mengandung syirik”
Syaikh Muhammad
bin Shalih Al ‘Utsaimin -rahimahullah- menjelaskan pula: ”Ruqyah, bagi orang
yang melakukannya (untuk orang lain) hukumnya adalah sunnah, karena tindakan
tersebut merupakan wujud ihsan (perbuatan baik) bagi orang yang diruqyah.
Sedangkan bagi orang yang (meminta) diruqyah, maka hukumnya boleh. Namun yang
lebih utama adalah tidak meminta orang lain untuk meruqyah dirinya, berdasarkan
hadits tentang orang-orang yang masuk surga tanpa hisab, diantara sifat mereka
adalah tidak meminta orang lain untuk meruqyahnya”. Nabi Shallallahu ‘Alaihi
Wasallambersabda :
یَدْخُلُ الْجَنَّةَ مِنْ أُمَّتِيْ سَبْعُوْنَ
أَلْفًا بِغَیْرِ حِسَابٍ,قَالُوْا: وَمَنْ هُمْ یَا رَسُوْلَ اللهِ ؟ قَالَ: هُمُ
الَّذِیْنَ لاَیَكْتَوُوْنَ وَلاَ یَسْتَرْقُوْنَ وَعَلَى رَبِّهِمْ
یَتَوَكَّلُوْنَ.
“Ada tujuh
puluh ribu orang dari umatku yang akan masuk surga tanpa hisab” Para sahabat
bertanya:”Siapakah mereka, wahai Rasulullah? Beliau menjawab:”Mereka adalah
orang-orang yang tidak berobat dengan kay (pengobatan dengan besi panas), tidak
minta diruqyah, dan hanya kepada Rabbnya mereka bertawakal”. H.R Muslim (1/198
no.217 ).
Selanjutnya
yang penting diperhatikan adalah tatacara ruqyah harus sesuai dengan syari’at,
bahwa jika ada orang yang menamakan metode pengobatannya dengan nama terapi
ruqyah syar’iyyah walaupun menggunakan bacaan Al-Quran dan doa-doa Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi Wasallamnamun menambahi metodenya dengan cara-cara yang
bid’ah dan penuh kesyirikan seperti menggunakan jurus-jurus pernapasan tenaga
dalam seolah-olah mengalirkan sesuatu kekuatan, memakai ilmu-ilmu metafisik,
atau menggunakan mantra-mantra aji kesaktian, menambah-nambah tiap potongan
ayat Al-qur-an dengan mantra-mantra (spt. qulhuwa ghani, qhulhu sungsang), atau
memberikan azimat-azimat yang harus di gantung atau disimpan yang diyakini bisa
membawa perlindungan maka tetaplah ini bukan ruqyah syar’iyyah.
Selain itu jika
ada orang yang mengaku mengobati dengan ruqyah syar’iyyah tetapi ia dengan
sengaja dan tanpa berdosa sedikit pun memegang atau menyentuh bagian tubuh yang
bukan muhrimnya secara langsung hingga banyak bersentuhan kulit pada saat
prosesi pengobatan maka sungguh apa yang dia lakukan sangat berdosa dihadapan
AllahSubhanahu Wa Ta’ala. Maka bagaimana ruqyah yang dia katakan sebagai ruqyah
syar’iyyah sedangkan larangan syari’at untuk bersentuhan kulit mereka abaikan.
Wallahu A'lamu
Bish Shawwab...
Penulis : Ust.
Ahmad Rifa'i Al Anwary S.Pd.I
Penyusun : Team Asatidz
Nurusy Syifa
Tidak ada komentar:
Posting Komentar