Di tulis Oleh Al Ustadz Dr Musyaffa Ad Darini MA. Hafidzohullah Ta'ala ✒️
<=============>
Dalam tulisan ini, penulis ingin memberikan sedikit faedah tentang kaidah ini, dan untuk lebih mudah memahaminya, penulis akan jabarkan dalam beberapa poin berikut ini:
Pertama:
Dalam bahasa arab, ada banyak redaksi utk kaidah ini, diantaranya:
الضرر الأشد يزال بالضرر الأخف
- Mudharat yang lebih berat, harus dihilangkan dg melakukan yg mudharat yg lebih ringan
يختار أخفَّ الضررين
- Yang harusnya dipilih adalah mudharat yg lebih ringan
يختار أهونَ الشرين
- Yang harusnya dipilih adalah keburukan yg lebih ringan
إذا اجتمع الضرران أسقط الأكبر للأصغر
- Jika ada dua mudharat yg berkumpul, maka yg lebih besar harus digugurkan, untuk melakukan yg lebih kecil.
تحتمل أخف المفسدتين لدفع أعظمهما
- Mafsadat yg lebih ringan harus dijalani untuk menolak mafsadat yg lebih besar.
إذا تعارض مفسدتان رُوعي أعظمُهما ضررًا بارتكاب أخفهما
- Apabila ada dua mafsadat bertentangan, maka yg harus ditinggalkan adalah mafsadat yg mudharatnya lebih besar, dg melakukan mudharat yang lebih ringan.
إذا تزاحمت المفاسد، واضطر إلى فعل أحدها، قدم الأخف منها
Jika ada banyak mafsadat berkumpul, dan terpaksa harus melakukan salah satunya, maka yg didahulukan sebagai pilihan adalah mafsadat yg paling ringan.
Kedua:
Kaidah ini adalah bukti nyata kesempurnaan Islam dan betapa besar rahmat yg dibawa oleh Islam .. hingga dalam masalah yang sulit seperti ini pun, Islam masih memberikan solusi yg memudahkan manusia, dan tentunya akan tetap mendatangkan pahala bila niatnya adalah untuk tunduk dan patuh kepada syariat Allah yg menciptakan kita.
Ketiga:
Ada banyak dalil yg menunjukkan benarnya kaidah ini, diantaranya:
1. Firman Allah ta’ala:
يَسْأَلُونَكَ عَنِ الشَّهْرِ الْحَرَامِ قِتَالٍ فِيهِ قُلْ قِتَالٌ فِيهِ كَبِيرٌ وَصَدٌّ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ وَكُفْرٌ بِهِ وَالْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَإِخْرَاجُ أَهْلِهِ مِنْهُ أَكْبَرُ عِنْدَ اللَّهِ وَالْفِتْنَةُ أَكْبَرُ مِنَ الْقَتْلِ
“Mereka bertanya kepadamu (Muhammad) tentang berperang pada bulan haram. Katakanlah: berperang dalam bulan itu adalah dosa besar. Tetapi menghalangi orang dari jalan Allah, ingkar kepada-Nya, (menghalangi orang masuk) masjidil haram, dan mengusir penduduknya darinya, itu lebih besar dosanya dalam pendangan Allah. Dan tindakan² fitnah tersebut lebih parah daripada pembunuhan”. [Albaqarah: 217].
Dalam ayat ini Allah menjelaskan bahwa mafsadat yg dilakukan oleh kaum musyrikin berupa: tindakan kufur kepada Allah, menghalangi manusia dari petunjuk Allah, mengusir kaum muslimin dari tanah mekah, ini semua lebih berat dari tindakan kaum muslimin memerangi sebagian kaum musyrikin di bulan haram itu.
Sehingga tindakan memerangi orang² kafir di bulan haram saat itu menjadi boleh, karena mafsadatnya lebih ringan daripada mafsadat² yg dilakukan kaum musyrikin terhadap kaum muslimin .. dan kaum muslimin tidaklah melakukan hal itu kecuali agar mafsadat yg lebih besar dari kaum musyrikin tidak terjadi.
2. Firman Allah ta’ala tentang kisah Nabi Khidir -alaihissalam- yg melubangi kapal milik orang miskin dan membunuh anak kecil .. kedua tindakan ini dilakukan oleh beliau untuk menghindari mudharat yg lebih besar, yaitu: diambilnya kapal yg masih bagus oleh penguasa yg zalim, dan kufurnya kedua orang tua anak tersebut karena terfitnah oleh anaknya. [Lihat Alkahfi, ayat: 71-74, dan ayat 79-81, dan kitab Alqawaid wal ushul Aljamiah: 150]
3. Firman Allah ta’ala tentang larangan mencela tuhannya kaum kafirin, karena itu menyebabkan mereka mencela Allah ta’ala [Al-An’am: 108] .. karena mafsadat dicelanya Allah secara zalim itu jauh lebih besar daripada mafsadat tidak dicelanya tuhan² mereka yg batil itu.
4. Diantara dalil yg menjadi dasar kaidah di atas adalah: kisah perjanjian Hudaibiyah, dimana ada beberapa sisi ketidak-adilan yg tampak jelas dalam perjanjian itu .. tapi hal itu tetap diterima dan dipilih oleh Nabi kita -shallallahu alaihi wasallam-, karena mafsadat tidak menerima perjanjian itu lebih besar .. yaitu dg terancamnya kaum muslimin yg masih berada di mekah dari pembunuhan dan penyiksaan. [Shahih Bukhari: 2731].
Dan terbukti setelah perjanjian itu, tidak hanya kaum muslimin yg ada di makkah selamat, tapi lebih dari itu perkembangan dakwah beliau semakin cepat dan menguat dimana-mana.
5. Dalil lain yang menunjukkan benarnya kaidah di atas adalah: kisah seorang badui yg kencing di masjid Nabi -shallallahu alaihi wasallam-, kemudian ada sebagian sahabat beliau yg ingin menghentikannya .. maka beliau mengatakan kepada para sahabatnya: “Biarkan dia, dan jangan kalian memutus (kencing)-nya!” kemudian beliau meminta seember air, lalu beliau menyiram (tempat bekas kencing)-nya. [HR. Muslim 284].
Ini menunjukkan bahwa beliau lebih memilih mudharat yg lebih ringan .. karena jika orang badui itu dihardik dan dihentikan, maka air kencingnya akan berhamburan di masjid beliau, tentu ini mafsadat yg lebih besar .. oleh karena itu, beliau meninggalkan mafsadat tersebut dengan cara membiarkan mafsadat yg lebih ringan, yaitu: kencing di masjid beliau sampai selesai di satu tempat saja.
Keempat:
Sebagian orang mengatakan, bahwa “kaidah ini hanya berlaku bila keadaannya darurat .. ketika keadaannya tidak darurat, maka kaidah ini tidak boleh diterapkan” .. Ini adalah kesimpulan yg prematur dan tidak sesuai dg praktik para ulama dalam menjelaskan kaidah ini.
Tapi yg menjadi syarat kaidah ini adalah “ketika dua mudharat tidak bisa dihindari semuanya, tapi masih bisa menghindari salah satunya dan tahu mudharat yg lebih ringan .. maka itulah yg harusnya dilakukan”.
Ada beberapa bukti yg menunjukkan hal ini, diantaranya:
a. Kenyataan bahwa dua kaidah itu dibahas oleh para ulama dalam tempat yang berbeda .. kaidah الضرورات تبيح المحظورات “keadaan darurat membolehkan sesuatu yang diharamkan”, dibahas oleh para ulama sebagai cabang dari kaidah المشقة تجلب التيسير “Kesulitan bisa mendatangkan kemudahan”.
Sedangkan kaidah ارتكاب أخف الضررين “mengambil mudharat yg lebih ringan”, dibahas oleh para ulama sebagai cabang dari kaidah الضرر يزال “mudharat itu harus dihilangkan” .. ini menunjukkan bahwa dua kaidah ini harus dibedakan keadaannya.
[Lihat: Alqawaid Alkubra wa ma tafarra’a anha, hal: 247, 527. Dan Alwajiz fil qawaidil fiqhiyyah 234 dan 260]
Penjelasan ini tidak menafikan adanya keterkaitan antara kaidah “keadaan darurat membolehkan sesuatu yg diharamkan” dengan kaidah “mengambil mudharat yg lebih ringan” .. tapi harus dipahami, bahwa adanya keterikatan tidak melazimkan keduanya harus berkumpul terus dalam semua masalah.
b. Kenyataan bahwa contoh yg diberikan oleh para ulama dalam kaidah “mengambil mudharat yg lebih ringan”, tidak semuanya sampai pada keadaan darurat .. sehingga bisa kita pahami, bahwa kaidah itu tidak hanya berlaku pada keadaan darurat saja, tapi juga bisa berlaku pada keadaan lain.
c. Kenyataan bahwa kaidah "mengambil mudaharat yg lbh ringan" sering disandingkan dg kaidah "apabila maslahat dan mafsadat berkumpul, dan maslahatnya lebih besar, maka yg didahulukan adalah maslahatnya" .. karena kaidah ini tdk hanya berlaku ketika keadaan darurat, maka kaidah yg sering disandingkan dengannya pun demikian, tdk hanya berlaku pada keadaan darurat saja.
Diantara contohnya adalah berdakwah lewat video, ada maslahatnya, ada juga mafsadatnya .. tp kl kita bandingkan, maka kita akan dapati lebih banyak maslahatnya, sehingga tetap boleh dilakukan.
d. Kenyataan bahwa mudharat atau mafsadah itu bisa terjadi meski keadaannya tdk darurat .. Nah, bila ada dua mudharat atau mafsadat yg tdk bisa kita hindari semuanya, maka yg kita lakukan adalah memilih mudharat atau mafsadat yg lbh ringan.
Perlu diketahui, bahwa keadaan darurat adalah: “Sesuatu yg harus ada untuk terciptanya maslahat agama dan dunia. Sehingga bila tidak ada, maka maslahat dunia akan rusak, keadaan kacau, dan terjadi kematian. Sedang di akherat mendatangkan kerugian nyata dg tidak mendapatkan surga dan kenikmatan”. [Al-Muwafaqat: 2/8].
Atau lebih simpelnya keadaan darurat adalah: “Keadaan yg apabila seseorang tidak melakukan larangan, dia akan mati atau mendekati kematian”. [Al-Mantsur fil Qawaid liz zarkasyi 2/319]
Atau: “Kebutuhan mendesak yang memaksa seseorang melakukan sesuatu yg diharamkan syariat”. [Haqiqatud Dharuratisy Syar’iyyah, lil jizani, hal: 25].
Kelima:
Ada banyak contoh yg disebutkan oleh para ulama dalam penerapan kaidah ini .. dan kalau kita renungkan, kita akan mendapati bahwa kaidah itu bisa diterapkan pada semua keadaan, baik keadaannya darurat maupun tidak .. yg penting dua mudharat itu tidak bisa dihindari semuanya, dan hanya bisa menghindar dari salah satunya.
Berikut sebagian contoh kaidah ini:
1. Bolehnya mendiamkan kemungkaran, apabila ditakutkan timbul kemungkaran yg lebih besar dengan mengingkarinya .. karena mafsadat adanya kemungkaran yg sedang terjadi = lebih ringan daripada mafsadat kemungkaran yg dikhawatirkan. [Alqawaid Alkubra, hal: 532]
2. Apabila cincin berharga seseorang dimakan oleh ayam ternak tetangganya, maka pemilik cincin itu berhak memiliki ayam tersebut dg membelinya, lalu menyembelihnya untuk mendapatkan kembali cincinnya .. karena mafsadat matinya ayam ternak lebih ringan, daripada mafsadat hilangnya cincin berharga. [Alqawaid Alkubra, hal: 532]
3. Seandainya ada orang yg shalat, dia tidak mampu menutup auratnya ketika berdiri .. tapi bila dia duduk, auratnya bisa tertutupi .. maka dia diperintahkan untuk shalat duduk .. karena mafsadat tidak berdiri lebih ringan daripada mafsadat tidak menutup aurat dalam shalat. [Alqawaid Alkubra, hal: 532]
4. Boleh bagi produsen atau pemerintah membatasi harga jual suatu produk, padahal membatasi harga jual pada asalnya dilarang dan itu bisa mendatangkan mudharat kepada penjual .. tapi hal itu menjadi boleh, karena mudharat mahalnya harga yg harus dialami oleh masyarakat umum = lebih besar dan lebih luas efeknya, daripada mudharat yg harus dialami oleh penjual.
5. Apabila ada orang terpaksa harus makan, dan di depannya hanya ada dua bangkai, yg satu bangkai kambing, dan yang satu bangkai anjing .. maka yg harus dia pilih adalah bangkai kambing, karena mudharatnya lebih ringan. [Alqawaid Wal Ushul Aljamiah: 86]
6. Barangsiapa terpaksa harus menjimak salah satu dari dua isterinya, tapi yg satunya sedang haid dan yg satunya lagi puasa wajib .. maka yg harus dia pilih adalah isteri yg sedang puasa wajib, karena itu yg mudharatnya lebih ringan, karena puasa wajib boleh dibatalkan untuk kebutuhan orang lain yg mendesak, seperti: karena menyusui, khawatir dg kesehatan janin, menyelamatkan seseorang dari kebakaran, dst. [Alqawaid Wal Ushul Aljamiah: 86]
7. Boleh merusak rumah seseorang yg berada di samping rumah orang lain yg sedang terbakar .. dengan pertimbangan agar kebakaran tidak menjalar ke banyak rumah yg lainnya .. karena rusaknya satu rumah adalah mudharat yg lebih ringan, daripada terbakar dan rusaknya banyak rumah yg lainnya. [Alqawaid Wal Ushul Aljamiah, ta’liq syeikh Utsaimin: 151]
8. Boleh untuk tidak taat kepada kedua orang tua ketika melarang anaknya menunaikan ibadah haji wajib, meskipun itu menjadikan mereka marah .. karena mudharat tidak menunaikan kewajiban ibadah haji lebih besar daripada mudharat tidak taat kepada kedua orang tua .. karena mudharat bermaksiat kepada Allah lebih besar daripada mudharat bermaksiat kepada kedua orang tua .. maka ada sabda Nabi -shallallahu alaihi wasallam- yg artinya: “tidak boleh taat kepada makhluk, dalam hal bermaksiat kepada sang Khaliq” [Alqawaid Wal Ushul Aljamiah, ta’liq syeikh Utsaimin: 151]
9. Apabila seorang yg sedang ihram terpaksa harus makan, dan di depannya hanya ada dua pilihan: hewan buruan atau bangkai kambing .. maka yg menjadi pilihan adalah hewan buruan, karena memakan hewan buruan bagi dia, mudharatnya lebih ringan .. karena haramnya bangkai itu berkaitan dg dzatnya, sedangkan haramnya hewan buruan itu bukan karena dzatnya, tapi karena keadaan dia yg sedang ihram. [Alqawaid Wal Ushul Aljamiah, ta’liq syeikh Utsaimin: 152]
10. Boleh berdusta antara suami isteri untuk menjaga keharmonisan dan rasa cinta antara keduanya .. karena mudharat dusta untuk menguatkan tali pernikahan = lebih ringan daripada rusaknya tali suci pernikahan. [Lihat hadits Attirmidzi 1939, shahih]
11. Boleh berdusta untuk mendamaikan dua insan yg sama² muslim yg sedang tidak rukun .. karena mudharat berdusta untuk mendamaikan keduanya = lebih ringan daripada rusaknya persaudaraan sesama muslim. [Lihat hadits Attirmidzi 1939, shahih]
12. Boleh membuka perut ibu hamil yg sudah meninggal, bila diperkirakan janinnya bisa diselamatkan dg cara itu .. karena mudharat dilukainya tubuh mayit lebih ringan daripada mudharat matinya janin yg ada di rahimnya. [Alwajiz fil qawaidil fiqhiyyah 261].
13. Seseorang yg dimintai keterangan tentang wanita yg akan dipinang, dia boleh membuka aib wanita itu kepada orang yg ingin meminangnya .. karena mudharat membuka aibnya dalam kondisi seperti ini lebih ringan daripada mudharat salah pilih istri yg akan dialami oleh orang tersebut.
14. Boleh menyebut orang dengan aib yg ada pada jasadnya, jika memang dengan itu kita mudah mengenalkannya kepada orang lain, selama tidak ada niat merendahkan .. padahal itu sebenarnya masuk dalam kategori ghibah .. tapi ini dibolehkan, krn memang mudharatnya lebih ringan daripada mudharat sulitnya mengenalkan orang tersebut.
Makanya ada beberapa ulama yg masyhur dg sebutan yang menunjukkan aib pada tubuhnya, seperti: Al-A’masy (yg matanya kabur), Al-A’raj (yg pincang), Al-Ashamm (yg tuli), Al-A’ma (yg buta), Al-Ahwal (yg juling), dst.
15. Orang yg memamerkan kemaksiatannya, boleh disebarkan aibnya yg berhubungan dengan kemaksiatan tersebut .. karena mudharat meng-ghibah dia dalam kondisi seperti itu lebih ringan daripada mudharat tertipunya masyarakat umum dg keadaan dia.
16. Boleh memajang gambar hewan bernyawa seperti: burung tertentu atau foto figur tertentu, bila memang tanpa itu keberlangsungan lembaga pendidikan akan terkendala .. karena mudharat memajang gambar hewan bernyawa lebih ringan daripada mudharat terkendalanya kehidupan lembaga pendidikan.
17. Boleh memberikan jalan kepada kelompok² tertentu untuk mengadakan kajian di masjid fasum, bila tanpa itu kajian ahlussunnah malah akan distop oleh mereka yg mayoritas .. karena mudharat adanya kajian mereka lebih ringan, daripada mudharat distopnya kajian ahlussunnah di masjid fasum tersebut.
18. Boleh menggunakan keberadaan preman, untuk melindungi kegiatan² dakwah, bila tanpa itu kegiatan dakwah tidak bisa berlangsung dengan baik, aman, dan lancar .. karena mafsadat hidupnya preman tersebut yg dibarengi dg aman dan lancarnya kegiatan dakwah = lebih ringan daripada terhentinya kegiatan dakwah di daerah tersebut.
19. Boleh memandang wanita yg bukan mahram ketika ada niat kuat untuk menikahinya (yakni: dalam syariat nazhar) .. karena mudharat melihat wanita yg bukan mahram dalam kondisi seperti itu lebih ringan, daripada mudharat terganggunya akad nikah di kemudian hari apabila dia kurang puas dg keadaan lahir pasangannya karena tidak nazhar sebelum melakukan akad.
20. Apabila dalam suatu keadaan, kita tidak bisa menghindar dari 2 pilihan buruk: mengorbankan kalung emas 50 gram, atau mengorbankan uang di dompet 5 juta .. maka tentunya kita akan memilih mengorbankan uang 5 juta di dompet .. karena mudharatnya lebih ringan daripada mudharat kehilangan kalung emas 50 gram. [Qowaidul Ahkam 1/74].
21. Boleh ikut menyumbangkan suara di pemilu .. karena mudharat ikut memilih calon yg lebih baik untuk Islam dan kaum muslimin = lebih ringan daripada mudharat dikuasainya kaum muslimin oleh mereka yg tidak perhatian kepada Islam dan kaum muslimin atau bahkan memusuhi Islam dan kaum muslimin.
Dan masih banyak contoh² yg lainnya .. Coba kita renungkan contoh² di atas, apakah semuanya masuk dalam keadaan darurat .. orang yg obyektif dan insaf, akan mengatakan tidak semuanya masuk dalam keadaan darurat .. yg ada adalah adanya dua mafsadat atau kemudharatan yg tidak memberikan pilihan kecuali mengambil salah satunya.
Keenam:
Apakah penerapan kaidah “mengambil yg lebih ringan mudharatnya” dalam masalah bolehnya mengikuti pemilu, sudah tepat dan memenuhi syarat?
Kita katakan, bahwa penerapan kaidah itu dalam masalah pemilu sudah tepat dan memenuhi syarat, karena dua alasan:
a. alasan pertama: karena banyak syeikh kibar ketika berfatwa tentang bolehnya ikut memilih dalam pemilu menyebutkan kaidah ini dalam penjelasannya .. jika penerapan kaidah ini dalam masalah pemilu tidak memenuhi syarat, tentunya mereka tidak akan menyebutkannya. [sebagiannya bisa dilihat di link ini: https://addariny.wordpress.com/2014/01/08/tentang-memberikan-suara-di-pemilu-2/]
b. Alasan kedua: karena sistem demokrasi ini adalah keburukan yg dipaksakan kepada kita .. mau tidak mau kita harus mengikuti dan menjalaninya .. milih atau tidak milih, dua²nya adalah pilihan yg diberikan oleh sistem demokrasi .. sehingga, sebenarnya apapun keadaan kita, milih atau tidak, tetap saja kita masih dalam sistem demokrasi, ini tidak bisa kita hindari selama kita masih hidup di negara demokrasi .. dan kita ikut milih atau tidak ikut milih, sistem itu akan tetap berjalan, dan efeknya akan mempengaruhi Islam dan kaum muslimin.
Jika keadaannya demikian, tidak diragukan lagi, bahwa menyumbangkan suara dalam pemilu untuk memilih calon pemimpin yg lebih ringan keburukannya bagi Islam dan kaum muslimin mudharatnya lebih ringan daripada mudharat tidak ikut menyumbangkan suara di pemilu, bila akhirnya akan berakibat buruk terhadap Islam dan kaum muslimin.
Cobalah kita bayangkan bila kaum muslimin yg baik² tidak ikut memilih dalam pemilu? Apakah dengan begitu sistem demokrasi akan berhenti? Tentunya tidak, sistem ini akan tetap berjalan selama masih ada banyak pemilih yang menyumbangkan suaranya.
Lalu jika kaum muslimin yg baik² tidak ikut memilih pemimpin, siapa yang akan memilih pemimpin? tidak lain adalah kaum muslimin yg tidak baik, dan mereka yg non muslim (kafir).
Jika yg memilih pemimpin adalah orang² yg tidak baik, lalu apakah mereka akan memilih pemimpin yg memperjuangkan kebaikan untuk Islam dan kaum muslimin? Tentunya tidak, karena jawaban “iya” sangat jauh kemungkinannya.
Lalu jika yg dipilih oleh mereka adalah pemimpin yg tidak memperjuangkan Islam dan kaum muslimin, bukankah efeknya akan sangat buruk bagi Islam dan kaum muslimin? Tentunya iya, itulah jawaban sangat logis.
Ketujuh:
Sebagian orang menganggap, bahwa paparan yg disebutkan di akhir poin keenam, adalah jalan pemikiran kelompok haroki, sehingga harusnya sangat tabu disampaikan oleh seorang yg bermanhaj salaf.
Kita katakan, sungguh itu adalah tuduhan yg zhalim .. tuduhan yg keluar karena tidak punya jawaban yg logis untuk mematahkan dalil yg disampaikan.
Sungguh dalil logis di atas telah disampaikan oleh Syeikh Utsaimin -rahimahullah- sejak dahulu, coba simak perkataan beliau berikut ini:
أنا أرى أن الانتخابات واجبة ، يجب أن نعين من نرى أن فيه خيراً ، لأنه إذا تقاعس أهل الخير ، مَنْ يحل محلهم ؟ سيحل محلهم أهل الشر ، أو الناس السلبيون الذين ما عندهم خير ولا شر ، أتباع كل ناعق ، فلابد أن نختار من نراه صالحاً .
فإذا قال قائل : اخترنا واحداً لكن أغلب المجلس على خلاف ذلك . قلنا : لا مانع ، هذا الواحد إذا جعل الله فيه البركة وألقى كلمة الحق في هذا المجلس سيكون لها تأثير ولا بد ، لكن الذي ينقصنا الصدق مع الله ، نعتمد على الأمور المادية الحسية ولا ننظر إلى كلمة الله عز وجل .... رَشِّحْ مَنْ ترى خيّرا ، وتوكل على الله.
“Saya melihat (ikut memilih dalam) pemilu itu WAJIB, kita wajib memilih orang yg kita lihat ada kebaikan pada dirinya, karena apabila orang² baik tidak ikut berpartisipasi, siapa yang akan mengisi tempat mereka? Yang akan mengisi tempat mereka tentunya orang² buruk, atau orang² pasif (lemah) yg tidak punya kebaikan dan keburukan, bisanya hanya mengekor orang lain.
Oleh karenanya kita harus memilih orang yang kita lihat shalih (baik).
Apabila ada yg berkata: kita kan hanya memilih satu orang saja, padahal mayoritas orang yg di majlis tidak baik seperti dia. Kita jawab: tidak masalah, satu orang yg baik ini, apabila Allah menjadikan keberkahan padanya, dan dia sampaikan kebenaran di majlis itu, pastinya akan memiliki pengaruh baik.
Tapi memang kita itu kurang percaya kepada Allah, kita biasa bersandar pada perkara² yg kasat mata saja, dan kita tidak melihat kalimat Allah azza wajalla .. maka, pilihlah orang yg engkau lihat baik, dan bertawakkallah kepada Allah”. [Liqa babil maftuh 211/13]
Inilah penjelasan yg sangat gamblang dari Syeikh Utsaimin -rahimahullah- dalam masalah ini, semoga bisa dipahami dg baik .. Demikian tulisan ini, semoga bermanfaat dan Allah berkahi, amin.
وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد، وعلى آله وصحبه ومن تبعهم بإحسان إلى يوم الدين، والحمد لله رب العالمين.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar