PENCARIAN
05 November 2015
Larangan Berlomba-lomba Dalam Urusan Dunia
18 Oktober 2015
Sebuah Kisah Agar Kita Menghargai Seorang Istri
10 Oktober 2015
Ciri-Ciri Orang Beriman
29 September 2015
15 September 2015
Berjenggot mengurangi kecerdasan?
Dunia Islam Indonesia dihebohkan dengan pernyataan Ketua PBNU Bpk Kiyai Sa'id Aqil Sirooj –semoga Allah memberi petunjuk kepadanya- bahwa "Berjenggot itu mengurangi kecerdasan seseorang. Semakin panjang jenggot, semakin goblok…!!"
24 Agustus 2015
Pahala Orang yang Menjawab Adzan
Dari Abu Hurairah radhiyallâhu ‘anhu, beliau berkata:
كُنَّا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَامَ بِلَالٌ يُنَادِي، فَلَمَّا سَكَتَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَنْ قَالَ مِثْلَ هَذَا يَقِينًا دَخَلَ الْجَنَّةَ
“Kami pernah bersama Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam, kemudian Bilal bangkit untuk menyerukan adzan. Tatkala Bilal diam, Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Siapa yang mengucapkan seperti ucapannya muadzin disertai dengan keyakinan, dia akan masuk surga.’.” [Diriwayatkan oleh Ahmad, An-Nasa’iy dan Ibnu Hibban. Dihasankan oleh Albany dalam Ats-Tsamar Al-Mustathâb 1/174-175]
🌲🌴🌴🌴🌳🌳🌲🌳🌴
14 Juli 2015
Zakat Fitrah Sesuai Tuntunan Nabi
✒Oleh Ustadz Muhammad Wasitho, Lc. (Staf Ahli Syariah Majalah Pengusaha Muslim)
panduan zakat fitrah zakat fitriSeorang muslim dalam menjalankan kewajiban puasa di bulan Ramadhan acap kali melakukan hal-hal yang dapat merusak atau mengurangi kesempurnaan puasa, maka dengan hikmahNya, Allah Ta’ala mensyariatkan zakat fithri agar lebih menyempurnakan puasanya. Maka dari itu, dalam edisi kali ini merupakan hal yang sangat penting bagi kita untuk membahas dan memahami hukum-hukum yang berkaitan dengan zakat fithri. Agar ibadah yang mulia ini menjadi benar sesuai tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan diterima oleh Allah Ta’ala.
📌Makna Zakat Fithri
Zakat fithri merupakan zakat yang disyari’atkan dalam agama Islam berupa satu sho’ dari makanan (pokok) yang dikeluarkan seorang muslim di akhir bulan Romadhon, dalam rangka menampakkan rasa syukur atas nikmat-nikmat Allah dalam berbuka dari puasa Romadhon dan penyempurnaannya. Oleh karena itu dinamakan shodaqoh fithri atau zakat fithri. (Lihat Fatawa Romadhon, II/901)
🌺 Hikmah Disyari’atkannya Zakat Fithri
Zakat Fithri mempunyai hikmah yang banyak, diantaranya:
1⃣Untuk menyucikan jiwa orang yang berpuasa dari perkara yang sia-sia atau tidak bermanfaat dan kata-kata yang kotor.
2⃣Memberikan kecukupan kepada kaum fakir dan miskin dari meminta-minta pada hari raya ‘idul ifithri sehingga mereka dapat bersenang-senang dengan orang kaya pada hari tersebut. Dan syari’at ini juga bertujuan agar kebahagiaan ini dapat dirasakan oleh semua kalangan masyarakat muslim.
Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam di dalam hadits berikut ini:
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ فَرَضَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَكَاةَ الْفِطْرِ طُهْرَةً لِلصَّائِمِ مِنْ اللَّغْوِ وَالرَّفَثِ وَطُعْمَةً لِلْمَسَاكِينِ مَنْ أَدَّاهَا قَبْلَ الصَّلَاةِ فَهِيَ زَكَاةٌ مَقْبُولَةٌ وَمَنْ أَدَّاهَا بَعْدَ الصَّلَاةِ فَهِيَ صَدَقَةٌ مِنْ الصَّدَقَات
ِ
“Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, dia berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mewajibkan zakat fithri untuk menyucikan (jiwa) orang yang berpuasa dari perkara sia-sia dan perkataan keji, dan sebagai makanan bagi orang-orang miskin. Barangsiapa menunaikannya sebelum shalat (‘Ied), maka itu adalah zakat yang diterima (oleh Allah, pen). Dan barangsiapa menunaikannya setelah shalat (‘Ied), maka itu adalah satu shadaqah diantara shadaqah-shadaqah”. (HR Abu Dawud, I/505 no.1609, Ibnu Majah I/585 no. 1827. Dihasankan oleh Syaikh al-Albani di dalam Irwa’ Al-Gholil III/333).
🍁 Hukum Zakat Fithri
Zakat fithri wajib bagi setiap muslim, baik laki-laki atau perempuan, anak-anak atau orang dewasa, merdeka atau pun budak. Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan Ibnu Umar radhiyallahu anhu, bahwa dia berkata:
فَرَضَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَكَاةَ الْفِطْرِ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ عَلَى الْعَبْدِ وَالْحُرِّ وَالذَّكَرِ وَالْأُنْثَى وَالصَّغِيرِ وَالْكَبِيرِ مِنْ الْمُسْلِمِينَ وَأَمَرَ بِهَا أَنْ تُؤَدَّى قَبْلَ خُرُوجِ النَّاسِ إِلَى الصَّلَاة
ِ
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mewajibkan zakat fithri sebanyak satu sha’ kurma atau satu sha’ gandum. Kewajiban itu dibebankan kepada budak, orang merdeka, laki-laki, wanita, anak kecil, dan orang tua dari kalangan umat Islam. Dan beliau memerintahkan agar zakat fithri itu ditunaikan sebelum orang-orang keluar menuju shalat (‘Ied)”. (HR Bukhari II/547 no. 1432, Muslim II/679 no. 986, dan selainnya)
Juga berdasarkan penafsiran Said bin Musayyib dan Umar bin Abdul Aziz terhadap firman Allah Ta’ala:
قَدْ أَفْلَحَ مَنْ تَزَكَّى
“Sungguh beruntung orang yang mensucikan dirinya.” (QS. Al A’la: 14) dengan zakat fithri.
Demikian pula ijma’ (konsensus) para ulama menetapkan wajibnya zakat fithri, sebagaimana dikatakan Ibnu Al-Mundzir: “Para ulama yang kami menghafal dari mereka telah bersepakat bahwa shadaqah (zakat) fithri itu hukumnya wajib.” (Lihat Al-Ijma’ karya Ibnu Al-Mundzir hal.49, dengan dinukil dari Shahih Fiqhus Sunnah II/79-80)
✏Catatan: Perlu diperhatikan bahwa ash-shogir (anak kecil) dalam hadits ini tidak termasuk di dalamnya janin. Karena ada sebagian ulama seperti Ibnu Hazm yang mengatakan bahwa janin juga wajib dikeluarkan zakatnya. Hal ini kurang tepat karena janin tidaklah disebut ash-shogir (anak kecil) dalam bahasa Arab maupun secara ‘urf (anggapan/kebiasaan orang Arab). (Lihat Shifat Shaum Nabi, hal.102).
👉Namun jika ada yang mau membayarkan zakat fithri untuk janin (yang telah berusia empat bulan atau lebih, karena telah ditiupkan ruh padanya, pen) tidaklah mengapa, karena dahulu sahabat Utsman bin ‘Affan radhiyallahu anhu pernah mengeluarkan zakat fithri bagi janin dalam kandungan. (Lihat Majelis Bulan Ramadhan, hal.381)
🌴Siapakah Yang Berkewajiban Membayar Zakat Fithri?
Zakat fithri wajib ditunaikan oleh setiap orang yang telah memenuhi syarat-syarat berikut ini:
1⃣ Beragama Islam. Sedangkan orang kafir tidak wajib untuk nmenunaikannya, namun mereka akan diberi sanksi di akhirat karena tidak menunaikannya.
2⃣Mampu mengeluarkan zakat fithri. Karena Allah Ta’ala tidaklah membebani hamba-Nya kecuali sesuai dengan kemampuannya. Allah Ta’ala berfirman:
لا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلا وُسْعَهَا
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya”. (QS. Al Baqarah: 286).
Adapun batasan mampu menurut mayoritas ulama, adalah mempunyai kelebihan makanan bagi dirinya dan orang-orang yang menjadi tanggungannya pada malam dan siang hari ‘ied. Jadi apabila keadaan seseorang demikian berarti dia termasuk orang mampu dan wajib mengeluarkan zakat fitri. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ سَأَلَ وَعِنْدَهُ مَا يُغْنِيهِ فَإِنَّمَا يَسْتَكْثِرُ مِنَ النَّارِ » فَقَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَمَا يُغْنِيهِ قَالَ « أَنْ يَكُونَ لَهُ شِبَعُ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ أَوْ لَيْلَةٍ وَيَوْم
ٍ
“Barangsiapa meminta-minta sedangkan dia mempunyai sesuatu yang mencukupinya, maka sesungguhnya dia sedang memperbanyak dari api neraka (dalam riwayat lain: bara api Jahannam, pen).” Mereka berkata, “Wahai Rasulullah, bagaimana ukuran (harta itu) mencukupi? Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Seukuran makanan yang mengenyangkan sehari-semalam.” (HR. Abu Daud I/512 no.1629. Dan hadits ini dinilai shohih oleh Syaikh Al-Albani dalam Shohih Sunan Abu Daud.) (Lihat Shohih Fiqhis Sunnah, II/80)
Demikian pula wajib dikeluarkan zakatnya bagi setiap orang yang termasuk dalam kriteria berikut ini:
⛅• Anak yang lahir sebelum matahari terbenam pada akhir bulan Ramadhan dan masih hidup sesudah matahari terbenam meskipun hanya beberapa saat.
☀• Memeluk Islam sebelum matahari terbenam pada akhir bulan Ramadhan dan tetap dalam Islamnya.
⛅• Seseorang yang meninggal selepas terbenam matahari akhir Ramadhan.
⭐Permasalahan: Bagaimana dengan anak dan istri yang menjadi tanggungan suami, apakah perlu mengeluarkan zakat sendiri-sendiri?
💧Menurut Imam Nawawi, kepala keluarga wajib membayar zakat fithri keluarganya. Bahkan menurut Imam Malik, Imam Syafi’i dan mayoritas ulama, wajib bagi suami untuk mengeluarkan zakat istrinya karena istri adalah tanggungan nafkah suami. (Syarh Nawawi ‘ala Muslim, VII/59).
💦Namun menurut Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, jika mereka mampu, sebaiknya mereka mengeluarkannya atas nama diri mereka sendiri, karena pada asalnya masing-masing mereka terkena perintah untuk menunaikannya. (Lihat Majelis Bulan Ramadhan, 381). Wallahu a’lam bish-showab.
🌿Ukuran Zakat Fithri
Berdasarkan hadits Ibnu Umar radhiyallahu anhu yang telah kita sebutkan di atas, bahwa ukuran zakat fithri yang wajib dikeluarkan adalah 1 (satu) sho’ kurma atau gandum (atau sesuai makanan pokok penduduk suatu negeri, pent).
Sedangkan menurut ukuran zaman sekarang, para ulama berbeda pendapat.
💫 Ada yang mengatakan bahwa 1 (satu) sho’ sama beratnya dengan 2,157 Kg (lihat Shahih Fiqhis Sunnah II/83).
💢 Ada pula yang menetapkan bahwa 1 (satu) sho’ sama beratnya dengan 2 kg lebih 40 gram, sebagaimana hasil penelitian syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin (lihat Syarhul Mumti’, VI/176-177).
💥Dan ada pula yang menetapkan bahwa 1 (satu) sho’ sama beratnya dengan 2,5 kg, sebagaimana yang berlaku di negara kita Indonesia.
✨Sedangkan menurut hasil penelitian Syeikh Abdul Aziz bin Baz dan dipakai dalam fatwa Lajnah Daimah kerajaan Saudi Arabia bahwa 1 (satu) sho’ sama beratnya dengan 3 (tiga) kg. (lihat Fatawa Romadhon II/915 dan II/926) (Lihat juga Fatawa Lajnah Daimah no. 12572).
👉Dengan demikian, jika ada seorang muslim yang mengeluarkan zakat fithri seberat salah satu dari ukuran-ukuran tersebut di atas, maka sudah dianggap sah.
🌟 Namun yang lebih baik dan lebih hati-hati adalah mengeluarkan zakat fitri seberat 3 kg. wallahu a’lam bish-showab.
🌹Jenis Zakat Fithri.
Zakat fithri harus dikeluarkan dalam bentuk makanan pokok penduduk suatu negeri, baik itu berupa kurma, gandum, beras, jagung, kismis, keju, atau selainnya, dan tidak terbatas pada kurma atau gandum saja (Lihat Shohih Fiqhis Sunnah, II/82). Inilah pendapat yang nampak rajih (benar dan kuat) sebagaimana dipegangi oleh para ulama pengikut madzhab imam Malik, imam Syafi’i, dan juga merupakan pendapat yang dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah.
💵 Bolehkan Mengeluarkan Zakat Fithri dengan Uang?
👉Menurut pendapat mayoritas ulama, bahwa zakat fithri tidak boleh dikeluarkan dalam bentuk selain makanan pokok. Sebab Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mewajibkan kaum muslimin agar membayar zakat fithri dengan makanan pokok (sebagaimana telah disebutkan dalam hadits Ibnu Umar di atas). Dan ketentuan beliau ini tidak boleh dilanggar.
Oleh karena itu, tidak boleh mengganti makanan pokok dengan uang yang seharga makanan pokok tersebut dalam membayar zakat fithri karena ini berarti menyelisihi perintah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan alasan lainnya adalah:
➡Selain menyelisihi perintah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa wasallam juga menyelisihi amalan para sahabat radhiyallahu ‘anhum yang menunaikannya dengan satu sho’ kurma atau gandum (makanan pokok mereka pada saat itu, pen). Sementara dalam sebuah hadits, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda:
فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِى وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّينَ الرَّاشِدِين
َ
“Wajib bagi kalian untuk berpegang teguh dengan tuntunanku dan tuntunan para khalifah yang lurus yang mendapat petunjuk.” (HR. Abu Daud II/610 no. 4607, dan At-Tirmidzi V/44 no. 2676)
➡Zakat fithri adalah suatu ibadah yang diwajibkan dari suatu jenis tertentu. Oleh sebab itu, posisi jenis barang yang dijadikan sebagai alat pembayaran zakat fithri itu tidak dapat digantikan sebagaimana waktu pelaksanaannya juga tidak dapat digantikan. Jika ada yang mengatakan bahwa menggunakan uang itu lebih bermanfaat. Maka kami katakan bahwa Nabi yang mensyari’atkan zakat dengan makanan tentu lebih sayang kepada orang miskin dan tentu lebih tahu mana yang lebih manfaat bagi mereka. Allah yang mensyari’atkannya pula tentu lebih tahu kemaslahatan hamba-Nya yang fakir dan miskin, tetapi Allah dan Rasul-Nya tidak pernah mensyariatkan dengan uang.
🌱Perlu diketahui pula bahwa pada zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sudah terdapat mata uang. Tetapi beliau jtidak memerintahkan para sahabatnya untuk membayar zakat fitri dengan uang? Seandainya diperbolehkan dengan uang, lalu apa hikmahnya beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan dengan satu sho’ gandum atau kurma? Seandainya boleh menggunakan uang, tentu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam akan mengatakan kepada umatnya, ‘Satu sho’ gandum atau harganya.’
🌸Syaikh Abu Bakar Jabir al-Jazairi berkata: “Zakat fithri wajib dikeluarkan dari jenis-jenis makanan (pokok, Pen), dan tidak menggantinya dengan uang, kecuali karena darurat (terpaksa). Karena, tidak ada dalil (yang menunjukkan) bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menggantikan zakat fithri dengan uang. Bahkan juga tidak dinukilkan dari seorang sahabat pun, bahwa mereka mengeluarkannya dengan uang”. (Minhajul Muslim, halaman 231).
🔴Waktu Mengeluarkan Zakat Fithri.
Waktu mengeluarkan Zakat Fithri yang utama adalah sebelum manusia keluar menuju tempat sholat ‘Ied, dan boleh didahulukan satu atau dua hari sebelum hari raya ‘idul Fithri sebagaimana yang dilakukan Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma. Adapun membayar zakat fithri setelah selesai melaksanakan sholat Ied, maka tidak boleh dan tidak sah. Hal ini berdasarkan hadits berikut ini:
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ فَرَضَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَكَاةَ الْفِطْرِ طُهْرَةً لِلصَّائِمِ مِنْ اللَّغْوِ وَالرَّفَثِ وَطُعْمَةً لِلْمَسَاكِينِ مَنْ أَدَّاهَا قَبْلَ الصَّلَاةِ فَهِيَ زَكَاةٌ مَقْبُولَةٌ وَمَنْ أَدَّاهَا بَعْدَ الصَّلَاةِ فَهِيَ صَدَقَةٌ مِنْ الصَّدَقَات
ِ
“Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, dia berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mewajibkan zakat fithri untuk menyucikan (jiwa) orang yang berpuasa dari perkara sia-sia dan perkataan keji, dan sebagai makanan bagi orang-orang miskin. Barangsiapa menunaikannya sebelum shalat (‘Ied), maka itu adalah zakat yang diterima (oleh Allah, pen). Dan barangsiapa menunaikannya setelah shalat (‘Ied), maka itu adalah satu shadaqah diantara shadaqah-shadaqah”. (HR Abu Dawud, I/505 no.1609, Ibnu Majah I/585 no. 1827. Dihasankan oleh Syaikh al-Albani di dalam Irwa’ Al-Gholil III/333).
🔵 Penerima Zakat Fithri
Berdasarkan pendapat yang paling rajih (kuat dan benar), bahwa yang berhak menerima zakat fithri hanyalah orang-orang fakir dan miskin saja, sedangkan 6 (enam) golongan penerima zakat lainnya (sebagaimana terdapat dalam surat At Taubah, ayat 60) tidak berhak menerimanya. Inilah pendapat yang dipegangi oleh para ulama pengikut madzhab imam Malik, dan merupakan pendapat yang dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Majmu Fatawa (XXV/71-78), Ibnul Qayyim dalam Zadul Ma’ad (II/44).
🌟Pendapat ini dianggap lebih tepat karena lebih cocok dengan tujuan disyariatkannya zakat fithri, yaitu untuk memberi makan orang miskin sebagaimana disebutkan dalam hadits Ibnu Abbas di atas, “…sebagai makanan bagi orang-orang miskin.” (Lihat Shohih Fiqhis Sunnah, II/85)
💐Apakah Panitia Zakat (Amil) Berhak Mendapat Bagian Dari Zakat Fithri?
Panitia Zakat (Amil) yang menarik atau mengumpulkan zakat fithri dan membagikannya kepada orang-orang fakir dan miskin tidak berhak menerima atau mengambil bagian dari zakat fithri sedikit pun dengan sebab mereka sebagai pengurus atau paniti zakat, kecuali jika dia termasuk dalam golongan fakir dan miskin, maka dia berhak mendapatkan bagian dari zakat fithri tersebut.
📃Demikian pembahasan singkat dan global tentang permasalahan dan hukum yang berkaitan dengan zakat fithri. Semoga menjadi tambahan ilmu yang bermanfaat bagi penulis dan pembacanya kita. Wallahu a’lam bish-showab.
📚[Sumber: Majalah PENGUSAHA MUSLIM edisi 20 Volume 2 / 15 Agustus 2011
09 Juli 2015
Kisah Nyata Tentang Keikhlasan
Cerita ini nyata yang mengisahkan dua sahabat yg terpisah cukup lama; Ahmad dan Zaenal. Ahmad ini pintar sekali. Cerdas. Tapi dikisahkan kurang beruntung secara ekonomi. Sedangkan Zaenal adalah sahabat yg biasa2 saja. Namun keadaan orang tuanya mendukung karir dan masa depan Zaenal.
Setelah terpisah cukup lama, keduanya bertemu. Bertemu di tempat yg istimewa; di koridor wudhu, koridor toilet sebuah masjid megah dengan arsitektur yg cantik, yg memiliki view pegunungan dengan kebun teh yg terhampar hijau di bawahnya. Mesjid tersebut adalah mesjid At-Ta’awun yang berada di puncak Bogor.
Adalah Zaenal, sudah menjelma menjadi seorang manager kelas menengah. Necis. Parlente. Tapi tetap menjaga kesalehannya.
Ia punya kebiasaan. Setiap keluar kota, ia sempatkan singgah di masjid di kota yg ia singgahi. Untuk memperbaharui wudhu, dan sujud syukur. Syukur-syukur masih dapat waktu yg diperbolehkan shalat sunnah, maka ia shalat sunnah juga sebagai tambahan.
Seperti biasa, ia tiba di Puncak Pas, Bogor. Ia mencari masjid. Ia pinggirkan mobilnya, dan bergegas masuk ke masjid yg ia temukan.
Di sanalah ia menemukan Ahmad. Cukup terperangah Zaenal ini. Ia tahu sahabatnya ini meski berasal dari keluarga tak punya, tapi pintarnya minta ampun.
Zaenal tidak menyangka bila berpuluh tahun kemudian ia menemukan Ahmad sebagai merbot masjid..!
“Maaf,” katanya menegor sang merbot. “Kamu Ahmad kan? Ahmad kawan SMP saya dulu?”.
Yang ditegor tidak kalah mengenali. Lalu keduanya berpelukan, Ahmad berucap
“Keren sekali Kamu ya Mas… Manteb…”. Zaenal terlihat masih dlm keadaan memakai dasi. Lengan yg digulungnya untuk persiapan wudhu, menyebabkan jam bermerknya terlihat oleh Ahmad. “Ah, biasa saja…”.
Zaenal menaruh iba. Ahmad dilihatnya sedang memegang kain pel. Khas merbot sekali. Celana digulung, dan peci didongakkan sehingga jidatnya yg lebar terlihat jelas.
“Mad… Ini kartu nama saya…”.
Ahmad melihat. “Manager Area…”. Wuah, bener-bener keren.”
“Mad, nanti habis saya shalat, kita ngobrol ya. Maaf, kalau kamu berminat, di kantor saya ada pekerjaan yang lebih baik dari sekedar merbot di masjid ini. Maaf…”.
Ahmad tersenyum. Ia mengangguk. “Terima kasih ya… Nanti kita ngobrol. Selesaikan saja dulu shalatnya. Saya pun menyelesaikan pekerjaan bersih2 dulu… Silahkan ya. Yang nyaman”.
Sambil wudhu, Zaenal tidak habis pikir. Mengapa Ahmad yg pintar, kemudian harus terlempar darik kehidupan normal. Ya, meskipun tidak ada yang salah dengan pekerjaan sebagai merbot, tapi merbot… ah, pikirannya tidak mampu membenarkan.
Zaenal menyesalkan kondisi negerinya ini yg tidak berpihak kepada orang-orang yang sebenarnya memiliki talenta dan kecerdasan, namun miskin.
Air wudhu membasahi wajahnya…
Sekali lagi Zaenal melewati Ahmad yang sedang bersih-bersih. Andai saja Ahmad mengerjakan pekerjaannya ini di perkantoran, maka sebutannya bukan merbot. Melainkan “office boy”.
Tanpa sadar, ada yang shalat di belakang Zaenal. Sama-sama shalat sunnah sepertinya.
Setelah menyelesaikan shalatnya Zaenal sempat melirik. “Barangkali ini kawannya Ahmad…”, gumamnya.
Zaenal menyelesaikan doanya secara singkat. Ia ingin segera bicara dengan Ahmad.
“Pak,” tiba2 anak muda yg shalat di belakangnya menegur.
“Iya Mas..?”
“Pak, Bapak kenal emangnya sama bapak Insinyur Haji Ahmad…?”
“Insinyur Haji Ahmad…?”
“Ya, insinyur Haji Ahmad…”
“Insinyur Haji Ahmad yang mana…?”
“Itu, yang barusan ngobrol sama Bapak…”
“Oh… Ahmad… Iya. Kenal. Kawan saya dulu di SMP. Emangnya udah haji dia?”
“Dari dulu udah haji Pak. Dari sebelum beliau bangun ini masjid…”.
Kalimat itu begitu datar. Tapi cukup menampar hatinya Zaenal… Dari dulu sudah haji… Dari sebelum beliau bangun masjid ini…
Anak muda ini kemudian menambahkan, “Beliau orang hebat Pak. Tawadhu’. Saya lah yg merbot asli masjid ini. Saya karyawannya beliau. Beliau yang bangun masjid ini Pak. Di atas tanah wakafnya sendiri. Beliau biayai sendiri pembangunan masjid indah ini, sebagai masjid transit mereka yg mau shalat. Bapak lihat hotel indah di sebelah sana? … Itu semua milik beliau… Tapi beliau lebih suka menghabiskan waktunya di sini. Bahkan salah satu kesukaannya, aneh. Yaitu senangnya menggantikan posisi saya. Karena suara saya bagus, kadang saya disuruh mengaji saja dan azan…”.
Zaenal tertegun, entah apa yang ada di hati dan di pikiran Zaenal saat itu
*****
Ada pelajaran dari kisah pertemuan Zaenal dan Ahmad. Jika Ahmad itu adalah kita, mungkin begitu bertemu kawan lama yang sedang melihat kita membersihkan toilet, segera kita beritahu posisi kita yang sebenarnya.
Dan jika kemudian kawan lama kita ini menyangka kita merbot masjid, maka kita akan menyangkal dan kemudian menjelaskan secara detail begini dan begitu. Sehingga tahulah kawan kita bahwa kita inilah pewakaf dan yang membangun masjid ini.
Tapi kita bukan Haji Ahmad. Dan Haji Ahmad bukannya kita. Semoga ia selamat dari rusaknya nilai amal, sebab ia tetap tenang dan tidak risih dengan penilaian manusia. Haji Ahmad merasa tidak perlu menjelaskan apa-apa. Dan kemudian Allah yg memberitahu siapa dia sebenarnya…
“Al mukhlishu, man yaktumu hasanaatihi kamaa yaktumu sayyi-aatihi” Orang yang ikhlas itu adalah orang yang menyembunyikan kebaikan-kebaikannya, seperti ia menyembunyikan keburukan-keburukan dirinya.[Ya’qub YahimaHullah, dalam kitab Tazkiyatun Nafs]
28 Juni 2015
HIJAB, Kearifan Lokal Perempuan Bugis dan Syariat Islam
25 Juni 2015
Sepenggal Kisah Dibawah Langit Turki
Di dalam buku hariannya Sultan Murad IV mengisahkan, bahwa suatu malam dia merasakan keresahan yang sangat dalam, ia ingin tahu apa penyebabnya. Maka ia memanggil kepala pengawalnya dan memberitahu apa yang dirasakannya.
Sultan berkata kepada kepada kepala pengawal: “Mari kita keluar sejenak.
Diantara kebiasaan sang Sultan adalah melakukan tabiat dimalam hari dengan cara menyamar.
Mereka pun pergi, hingga tibalah mereka disebuah lorong yang sempit. Tiba-tiba, mereka menemukan seorang laki-laki terdampar di atas tanah. Sang Sultan menggerak-gerakkan lelaki itu, ternyata ia telah meninggal. Namun orang-orang yang lalu lalang di sekitarnya tak sedikitpun mempedulikannya.
Sultanpun memanggil mereka, mereka tak menyadari kalau orang tersebut adalah Sultan. Mereka bertanya: “Apa yang kau inginkan?.
Sultan menjawab: “Mengapa orang ini meninggal tapi tidak ada satu pun diantara kalian yang mau mengangkat jenazahnya? Siapa dia? Dimana keluarganya?”
Mereka berkata: “Orang ini Zindiq, suka minum minuman keras dan berzina”.
Sultan menjawap: “Tapi . . bukankah ia termasuk umat Muhammad shallallahu alaihi wasallam? Ayo angkat jenazahnya, kita bawa ke rumahnya”.
Mereka pun membawa jenazah laki-laki itu ke rumahnya.
Melihat suaminya meninggal, sang istripun pun menangis. Orang-orang yang membawa jenazahnya langsung pergi, tinggallah sang Sultan dan kepala pengawalnya.
Dalam tangisnya sang istri berucap: Semoga Allah merahmatimu wahai wali Allah.. Aku bersaksi bahwa engkau termasuk orang yang sholeh”
Mendengar ucapan itu Sultan Murad terkejut.. Bagaimana mungkin dia termasuk wali Allah sementara orang-orang mengatakan tentang dia begini dan begitu, sampai-sampai mereka tidak peduli dengan kematiannya”.
Sang istri menjawab:
“Sudah kuduga pasti akan begini…
Setiap malam suamiku keluar rumah pergi ke kedai minuman keras, dia membeli minuman keras dari para penjual sejauh yang ia mampu. Kemudian minuman-minuman itu di bawa ke rumah lalu ditumpahkannya ke dalam toilet, sambil berkata: “Aku telah meringankan dosa kaum muslimin”.
Dia juga selalu pergi menemui para pelacur, memberi mereka wang dan berkata: “Malam ini kalian sudah dalam bayaranku, jadi tutup pintu rumahmu sampai pagi”.
Kemudian ia pulang ke rumah, dan berkata kepadaku: “Alhamdulillah, malam ini aku telah meringankan dosa para pelacur itu dan pemuda-pemuda Islam”.
Orang-orangpun hanya menyaksikan bahwa ia selalu membeli khamar dan menemui pelacur, lalu mereka menuduhnya dengan berbagai tuduhan dan menjadikannya buah bibir.
Suatu kali aku pernah berkata kepada suamiku: “Kalau kamu mati nanti, tidak akan ada kaum muslimin yang mau memandikan jenazahmu, mensholatimu dan menguburkan jenazahmu”.
Ia hanya tertawa, dan berkata: “Jangan takut, bila aku mati, aku akan disholati oleh Sultannya kaum muslimin, para Ulama dan para Auliya”.
Maka, Sultan Murad pun menangis, dan berkata: “Benar! Demi Allah, akulah Sultan Murad, dan besok pagi kita akan memandikannya, mensholatkannya dan menguburkannya”.
Demikianlah, akhirnya urusan penyelenggaraan jenazah laki-laki itu dihadiri oleh Sultan, para ulama, para masyaikh dan seluruh masyarakat.
(Kisah ini diceritakan kembali oleh Syaikh Al Musnid Hamid Akram Al Bukhory dari Mudzakkiraat Sultan Murad IV)
Wallahu a’lam
Catatan:
Jangan suka menilai orang lain dari sisi lahiriahnya saja.
Atau menilainya berdasarkan ucapan orang lain.
Terlalu banyak yang tidak kita ketahui..
Apalagi soal yang tersimpan di tepian paling jauh di hatinya.
Kedepankan prasangka baik terhadap saudaramu.
Boleh jadi orang yang selama ini kita anggap sebagai penduduk Jahannam, ternyata penghuni Firdaus yang masih melangkah di bumi.
Ingat…
Diantara hal yang paling banyak membuat orang diseret masuk kedalam neraka adalah karena ulah lisannya.
Walloohua'laam bishowwab
Semoga bermanfaat
16 Juni 2015
Keakraban Para Ulama dengan Al-Qur'an
Bagaimanakah keakraban para ulama dengan Al-Qur’an di bulan Ramadhan?
Disunnahkan untuk memperbanyak membaca Al-Qur’an di bulan Ramadhan dan bersemangat untuk mengkhatamkannya. Walaupun hal ini tidaklah wajib. Artinya, jika tidak mengkhatamkan Al-Qur’an, maka tidak berdosa. Namun sayang, saat itu ia akan luput dari pahala yang besar.
Apa dalil kita mesti perhatian pada Al-Qur’an di bulan Ramadhan? Lihatlah Nabi kitashallallahu ‘alaihi wa sallam berusaha untuk mengkhatamkan Al-Qur’an di hadapan Jibril‘alaihis salam sebanyak sekali setiap tahunnya. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,
كَانَ يَعْرِضُ عَلَى النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – الْقُرْآنَ كُلَّ عَامٍ مَرَّةً ، فَعَرَضَ عَلَيْهِ مَرَّتَيْنِ فِى الْعَامِ الَّذِى قُبِضَ ، وَكَانَ يَعْتَكِفُ كُلَّ عَامٍ عَشْرًا فَاعْتَكَفَ عِشْرِينَ فِى الْعَامِ الَّذِى قُبِضَ فِيهِ
“Jibril itu (saling) belajar Al-Qur’an dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam setiap tahun sekali (khatam). Ketika di tahun beliau akan meninggal dunia dua kali khatam. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa pula beri’tikaf setiap tahunnya selama sepuluh hari. Namun di tahun saat beliau akan meninggal dunia, beliau beri’tikaf selama dua puluh hari.” (HR. Bukhari no. 4998).
Ibnul Atsir menyatakan dalam Al-Jami’ fii Gharib Al-Hadits (4: 64) bahwa Jibril saling mengajarkan seluruh Al-Qur’an yang telah diturunkan dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Dari situ, para ulama –semoga Allah merahmati mereka- begitu semangat mengkhatamkan Al-Qur’an di bulan Ramadhan karena mencontoh Nabishallallahu ‘alaihi wa salam.
Beberapa contoh disebutkan di bawah ini.
Contoh pertama dari seorang ulama yang bernama Al-Aswad bin Yazid rahimahullah –seorang ulama besar tabi’in yang meninggal dunia tahun 74 atau 75 Hijriyah di Kufah- bisa mengkhatamkan Al-Qur’an di bulan Ramadhan setiap dua malam. Dari Ibrahim An-Nakha’i, ia berkata,
كَانَ الأَسْوَدُ يَخْتِمُ القُرْآنَ فِي رَمَضَانَ فِي كُلِّ لَيْلَتَيْنِ
“Al-Aswad biasa mengkhatamkan Al-Qur’an di bulan Ramadhan setiap dua malam.” (Siyar A’lam An-Nubala, 4: 51). Subhanallah … Yang ada, kita hanya jadi orang yang lalai dari Al-Qur’an di bulan Ramadhan.
Disebutkan dalam kitab yang sama, di luar bulan Ramadhan, Al-Aswad biasa mengkhatamkan Al-Qur’an dalam enam malam. Dan patut diketahui bahwa ternyata waktu istirahat beliau untuk tidur hanya antara Maghrib dan Isya. (Siyar A’lam An-Nubala, 4: 51)
Contoh kedua dari seorang ulama di kalangan tabi’in yang bernama Qatadah bin Da’amah rahimahullah yang meninggal dunia tahun 60 atau 61 Hijriyah. Beliau adalah salah seorang murid dari Anas bin Malikradhiyallahu ‘anhu. Beliau ini disanjung oleh Imam Ahmad bin Hambal sebagai ulama pakar tafsir dan paham akan perselisihan ulama dalam masalah tafsir. Sampai-sampai Sufyan Ats-Tsaury mengatakan bahwa tidak ada di muka bumi ini yang semisal Qatadah. Salam bin Abu Muthi’ pernah mengatakan tentang semangat Qatadah dalam berinteraksi dengan Al-Qur’an,
كَانَ قَتَادَة يَخْتِمُ القُرْآنَ فِي سَبْعٍ، وَإِذَا جَاءَ رَمَضَانُ خَتَمَ فِي كُلِّ ثَلاَثٍ، فَإِذَا جَاءَ العَشْرُ خَتَمَ كُلَّ لَيْلَةٍ
“Qatadah biasanya mengkhatamkan Al-Qur’an dalam tujuh hari. Namun jika datang bulan Ramadhan, ia mengkhatamkannya setiap tiga hari. Bahkan ketika datang sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadhan, ia mengkhatamkannya setiap malam.” (Siyar A’lam An-Nubala’, 5: 276)
Contoh ketiga adalah dari Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i rahimahullah yang kita kenal dengan Imam Syafi’I, salah satu ulama madzhab terkemuka. Disebutkan oleh muridnya, Ar-Rabi’ bin Sulaiman,
كَانَ الشَّافِعِيُّ يَخْتِمُ القُرْآنَ فِي شَهْرِ رَمَضَانَ سِتِّيْنَ خَتْمَةً
“Imam Syafi’i biasa mengkhatamkan Al-Qur’an di bulan Ramadhan sebanyak 60 kali.” Ditambahkan oleh Ibnu Abi Hatim bahwa khataman tersebut dilakukan dalam shalat. (Siyar A’lam An-Nubala’, 10: 36). Bayangkan, Imam Syafi’i berarti mengkhatamkan Al-Qur’an dalam sehari sebanyak dua kali.Subhanallah …
Contoh terakhir adalah dari Ibnu ‘Asakir yang merupakan ulama pakar hadits dari negeri Syam, yang terkenal dengan karyanya Tarikh Dimasyq. Anaknya yang bernama Al-Qasim mengatakan mengenai bapaknya,
وَكَانَ مُوَاظِبًا عَلَى صَلاَةِ الجَمَاعَةِ وَتِلاَوَةِ القُرْآنِ، يَخْتِمُ كُلَّ جُمُعَةٍ، وَيَخْتِمُ فِي رَمَضَانَ كُلَّ يَوْمٍ، وَيَعْتَكِفُ فِي المنَارَةِ الشَّرْقِيَّةِ، وَكَانَ كَثِيْرَ النَّوَافِلِ وَالاَذْكَارِ
“Ibnu ‘Asakir adalah orang yang biasa merutinkan shalat jama’ah dan tilawah Al-Qur’an. Beliau biasa mengkhatamkan Al-Qur’an setiap pekannya. Lebih luar biasanya di bulan Ramadhan, beliau mengkhatamkan Al-Qur’an setiap hari. Beliau biasa beri’tikaf di Al-Manarah Asy-Syaqiyyah. Beliau adalah orang yang sangat gemar melakukan amalan sunnah dan rajin berdzikir.” (Siyar A’lam An-Nubala’, 20: 562)
Apakah Mengkhatamkan Al-Qur’an itu Wajib?
Imam Nawawi rahimahullah menyebutkan bahwa seperti itu berbeda tergantung pada kemampuan orang masing-masing. Orang yang sibuk pikirannya, ia tetap berusaha sebisa mungkin sesuai kemampuan pemahamannya. Begitu pula orang yang sibuk dalam menyebarkan ilmu atau sibuk mengurus urusan agama atau urusan khalayak ramai, berusahalah untuk mengkhatamkannya sesuai kemampuan. Sedangkan selain mereka yang disebut tadi (yang tidak penuh kesibukan), hendaknya bisa memperbanyak membaca Al-Qur’an. Jangan sampai menjadi orang yang lalai. Lihat At-Tibyan, hlm. 72.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaiminrahimahullah ditanya, “Apakah orang yang berpuasa wajib mengkhatamkan Al-Qur’an di bulan Ramadhan?”
Jawab beliau rahimahullah bahwa mengkhatamkan Al-Qur’an di bulan Ramadhan bagi orang yang berpuasa tidaklah wajib. Akan tetapi sudah sepatutnya setiap muslim di bulan Ramadhan untuk memperbanyak membaca Al-Qur’an. Hal ini merupakan sunnah dari Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam. Setiap bulan Ramadhan, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallambiasa saling mengkaji Al-Qur’an bersama Jibril. (Majmu’ Fatawa Ibnu ‘Utsaimin 20: 516, Dinukil dari Fatawa Al-Islam Sual wa Jawab no. 65754)
Padahal Ada Hadits yang Melarang Mengkhatamkan Al-Qur’an Kurang dari Tiga Hari
Dari ‘Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata,
يَا رَسُولَ اللَّهِ فِى كَمْ أَقْرَأُ الْقُرْآنَ قَالَ « فِى شَهْرٍ ». قَالَ إِنِّى أَقْوَى مِنْ ذَلِكَ وَتَنَاقَصَهُ حَتَّى قَالَ « اقْرَأْهُ فِى سَبْعٍ ». قَالَ إِنِّى أَقْوَى مِنْ ذَلِكَ. قَالَ « لاَ يَفْقَهُ مَنْ قَرَأَهُ فِى أَقَلَّ مِنْ ثَلاَثٍ »
“Wahai Rasulullah dalam berapa hari aku boleh mengkhatamkan Al-Qur’an. Beliau menjawab, “Dalam satu bulan.” ‘Abdullah menjawab, “Aku masih lebih kuat dari itu.” Lantas hal itu dikurangi hingga Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam menyatakan, “Khatamkanlah dalam waktu seminggu.” ‘Abdullah masih menjawab, “Aku masih lebih kuat dari itu.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas bersabda, “Tidaklah bisa memahami jika ada yang mengkhatamkan Al-Qur’an kurang dari tiga hari.” (HR. Abu Daud no. 1390 dan Ahmad 2: 195. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa hadits ini shahih).
Al-‘Azhim Abadi rahimahullah menyatakan bahwa hadits di atas adalah dalil tegas yang menyatakan bahwa tidak boleh mengkhatamkan Al-Qur’an kurang dari tiga hari. (‘Aun Al-Ma’bud, 4: 212)
Para ulama menjelaskan bahwa yang ternafikan dalam hadits adalah ketidakpahaman, bukan pahalanya. Artinya, hadits tersebut tidaklah menunjukkan tidak boleh mengkhatamkan Al-Qur’an kurang dari tiga hari. Yang dimaksudkan dalam hadits adalah jika mengkhatamkan kurang dari tiga hari sulit untuk memahami. Berarti kalau dilakukan oleh orang yang memahami Al-Qur’an seperti contoh para ulama yang disebutkan di atas, maka tidaklah masalah.
Dalam Lathaif Al-Ma’arif (hlm. 306) disebutkan oleh Ibnu Rajab Al-Hambali, “Larangan mengkhatamkan Al-Qur’an kurang dari tiga hari itu ada jika dilakukan terus menerus. Sedangkan jika sesekali dilakukan apalagi di waktu utama seperti bulan Ramadhan, lebih-lebih lagi pada malam yang dinanti yaitu Lailatul Qadar atau di tempat yang mulia seperti di Mekkah bagi yang mendatanginya dan ia bukan penduduk Mekkah, maka disunnahkan untuk memperbanyak tilawah untuk mendapatkan pahala melimpah pada waktu dan zaman yang istimewa. Inilah pendapat dari Imam Ahmad dan Ishaq serta ulama besar lainnya. Inilah yang diamalkan oleh para ulama sebagaimana telah disebutkan.”
Wallahu waliyyut taufiq was sadaad. Semoga kita dimudahkan menghidupkan hari-hari kita dengan mengkaji Al-Qur’an diSyahrul Qur’an, bulan Ramadhan.
—
Pagi hari, 12 Sya’ban 1436 H @ Darush Sholihin, Panggang, Gunungkidul
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel Muslim.Or.Id
Inilah Hikmah dan Keistimewaan Ibadah Puasa
Syaikh Shalih bin Fauzan Al Fauzan
Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Alhamdulillahi Rabbil ‘alamin. Salawat dan salam semoga tercurah kepada nabi kita Muhammad, keluarga, dan segenap sahabatnya.Amma ba’du.
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Wahai orang-orang yang beriman, telah diwajibkan kepada kalian puasa sebagaimana telah diwajibkan kepada orang-orang sebelum kalian, mudah-mudahan kalian bertakwa”. Allah menujukan ayat ini kepada hamba-hamba-Nya yang beriman diantara umat ini, bahwasanya Allah telah mewajibkan kepada mereka puasa, sebagaimana Allah telah mewajibkan puasa kepada umat-umat sebelumnya. Sehingga, kewajiban puasa ini adalah kewajiban yang sudah ada sejak dulu kala kepada umat-umat.
Hal itu dikarenakan besarnya keutamaan puasa dan juga kebutuhan orang-orang beriman terhadapnya. Allah mengabarkan kepada umat ini bahwa puasa itu juga telah diwajibkan kepada umat-umat sebelum mereka, yaitu dalam rangka menghibur hati mereka. Tatkala mereka mengetahui bahwa puasa juga sudah diwajibkan kepada umat-umat selain mereka maka niscaya puasa itu akan terasa ringan bagi mereka. Jadi, ini merupakan salah satu cara untuk menghibur mereka.
Kemudian Allah menjelaskan hikmah yang tersimpan di balik syari’at puasa yang Allah tetapkan. Bukanlah yang menjadi tujuan utama puasa adalah melarang dari makan, minum, atau kesenangan-kesenangan yang mubah. Bukan hal ini maksud utama darinya, akan tetapi sesungguhnya yang dituju adalah buah dari puasa itu dalam diri hamba. Oleh sebab itu Allah berfirman, “Mudah-mudahan kalian bertakwa”.
Hal ini menunjukkan bahwa puasa merupakan sebab menuju ketakwaan kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Dan ini merupakan faidah yang terbesar dari ibadah puasa. Yaitu bahwasanya puasa akan menumbuhkan ketakwaan, sementara takwa adalah maqam/tingkatan ibadah yang paling tinggi. Takwa adalah kalimat yang mencakup segala kebaikan. Karena dengan puasa, seorang hamba akan menjauhi maksiat dan keburukan, menjauh darinya, dan bertaubat dari dosa yang telah lalu.
Hal itu dikarenakan dia menyadari bahwa maksiat akan merusak puasa bahkan bisa menyebabkan lenyapnya semua pahala puasa. Sehingga dia akan letih dan capek tanpa mendapatkan faidah apa-apa. Oleh sebab itu, seorang yang sedang puasa akan berusaha menjauhi maksiat. Dan hal ini adalah suatu hal yang bisa dirasakan dan dilihat.
Orang yang berpuasa berbeda dengan orang yang tidak puasa. Orang yang puasa akan membatasi dan meminimalisir maksiat dari segala indera yang dia miliki. Karena puasa akan membatasi dirinya dari hal itu. Berbeda dengan kondisi orang yang tidak puasa, karena kekuatan badan dan syahwatnya akan membawa dirinya untuk cenderung mengikuti keinginan syahwat dan hawa nafsu. Lain dengan orang yang puasa, maka puasa itu akan membentenginya dari maksiat-maksiat ini dan membuahkan ketakwaan kepada Allah di dalam dirinya.
Kalau begitu, puasa yang tidak memberikan buah dan bekas positif pada pelakunya maka sebenarnya ini bukanlah puasa yang sebenarnya. Maka hendaknya setiap muslim melihat pada dirinya sendiri; apabila puasa itu bisa menghalangi dirinya dari maksiat dan melembutkan hatinya dengan ketaatan, membuatnya membenci kemaksiatan, dan menggerakkan ketaatan, maka itu berarti puasanya benar dan menghasilkan manfaat. Adapun apabila sebaliknya maka itu berarti puasanya tidak bermanfaat.
Oleh sebab itulah Allah mengatakan, “Mudah-mudahan kalian bertakwa”. Sehingga puasa yang tidak membuahkan ketakwaan adalah tidak mengandung faidah di dalamnya. Inilah salah satu faidah puasa -yaitu membentengi dari maksiat-. Kemudian, diantara keutamaan puasa yang sangat agung adalah Allah mengistimewakan puasa ini dari seluruh bentuk amalan untuk diri-Nya. Allah mengatakan, “Puasa adalah untuk-Ku, dan Aku sendiri yang akan membalasnya.” Hal itu dikarenakan puasa adalah niat yang ada dari seorang hamba untuk Rabbnya; tidak ada yang mengetahuinya kecuali Allahsubhanahu wa ta’ala.
Anda, apabila melihat diantara orang-orang itu, maka tidak ada bedanya antara orang yang puasa dan yang selainnya. Tidak tampak perbedaan diantara mereka. Berbeda halnya dengan bentuk ibadah-ibadah lain; sholat bisa dilihat, sedekah tampak, jihad juga tampak,tasbih, tahlil, dan takbir juga tampak jelas dan bisa dilihat orang dan mereka bisa mendengarnya.
Berbeda halnya dengan puasa, maka puasa itu sesuatu yang rahasia. Rahasia antara hamba dengan Rabbnya. Karena di dalam hatinya dia berniat dengan puasanya untuk mendekatkan diri kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Dan hal ini adalah suatu perkara yang tidak diketahui secara persis kecuali oleh Allah. Puasa itu tidak bisa dilihat pada fisiknya; sama saja. Dia sama seperti orang lain. Dia juga berjalan, bergerak, -sama dengan orang lain- sehingga tidak tampak puasa itu pada fisiknya. Hanya Allah lah yang mengetahui bahwa dia memang sedang puasa.
Jadi karena puasa ini menjadi rahasia antara hamba dengan Rabbnya maka Allah pun mengistimewakan amalan ini untuk diri-Nya sendiri. Dimana Allah menyatakan, “Puasa itu adalah untuk-Ku.” Padahal suatu perkara yang dimaklumi bahwa semua ibadah adalah untuk Allah, adapun ibadah yang tidak diperuntukkan kepada Allah maka tidaklah bisa membuahkan manfaat bagi orang yang puasa/melakukan amal itu alias sia-sia. Akan tetapi puasa ini memiliki kekhususan; dimana ia merupakan rahasia paling besar diantara sekian banyak ibadah yang lain.
Kemudian Allah mengatakan, “Dan Aku lah yang akan membalasnya”. Balasan pahala itu langsung berasal dari sisi Allah ‘azza wa jalla. Artinya tidak ada yang mengetahui besarnya kadar balasan puasa kecuali Allah. Adapun ibadah-ibadah yang lain akan diberikan ganjaran sesuai dengan niat pelakunya dimana satu kebaikan akan dibalas dengan sepuluh kali lipatnya hingga tujuh ratus kali lipat dan bahkan banyak sekali kelipatannya, kecuali untuk puasa. Karena besarnya pahala puasa tidak bisa diukur dengan jumlah atau bilangan tertentu.
Karena puasa adalah bentuk kesabaran. Dia bersabar dalam meninggalkan makanan, minuman, haus, dan lapar. Sementara Allah berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya akan disempurnakan pahala/balasan bagi orang-orang yang sabar itu tanpa ada perhitungan”. Adapun amal-amal yang lain pahala dan balasannya ditentukan dengan perhitungan/hisab. Bisa jadi banyak, dan bisa jadi sedikit. Adapun puasa, maka tidak ada yang mengetahui kadar pahalanya selain Allah semata. Maka ini pun menunjukkan kepada keutamaan puasa. Yaitu tidak ada yang bisa mengetahui besar dan ukuran balasan yang diberikan untuknya kecuali Allah subhanahu wa ta’ala. “Puasa itu untuk-Ku dan Aku lah yang akan langsung membalasnya”.
Selain itu, pada ibadah-ibadah lain bisa dengan mudah dimasuki syirik. Doa, ia pun dimasuki syirik. Dimana seorang itu berdoa kepada selain Allah. Demikian juga sedekah, ia bisa disusupi oleh riya’. Sholat juga bisa disusupi oleh riya’. Akan tetapi puasa, maka ia tidak disusupi oleh riya’. Karena puasa adalah sesuatu yang bersifat rahasia antara hamba dengan Rabbnya. Puasa tidak bisa tampak pada pelakunya sebagaimana halnya keadaan amal-amal lainnya yang dengan itu akan bisa membuka pintu riya’. Puasa adalah amalan yang rahasia antara hamba dengan Rabbnya, sehingga tidak bisa dimasuki riya’.
Demikian pula, orang-orang musyrik biasa mendekatkan diri kepada berhala-berhala dengan sembelihan dan nadzar, doa, istighotsah, mereka mempersekutukan Allah dalam segala bentuk amalan, adapun puasa maka ia tidak tersusupi dan tidak dimasuki oleh syirik. Oleh sebab itulah Allah menyatakan, “Puasa itu untuk-Ku dan Aku lah yang membalasnya”. Ini artinya puasa tidak bisa disusupi oleh syirik. Inilah salah satu keistimewaan yang ada dalam ibadah puasa.
Tidak ada ceritanya orang-orang musyrik dahulu berpuasa untuk berhala-berhala mereka. Tidak ada kisahnya para pemuja kubur melakukan puasa untuk kubur; mendekatkan diri kepadanya dengan puasa. Sementara di saat yang sama mereka suka mendekatkan diri kepada sesembahan-sesembahan mereka itu dengan berdoa, mempersembahkan sembelihan, nadzar, dan lain sebagainya. Ini merupakan bukti keistimewaan puasa dibandingkan seluruh amal. Sehingga Allah mengatakan, “Puasa adalah untuk-Ku dan Aku lah yang akan membalasnya”.
Kemudian Allah menjelaskan mengapa orang yang berpuasa itu rela meninggalkan makanan, minuman, dan syahwatnya, yaitu, “Karena Aku”. Artinya puasa itu dilakukan semata-mata karena Allah. Ini adalah niat yang samar. Tiada yang mengetahui hal itu kecuali Allah subhanahu wa ta’ala. Semoga Allah memberikan taufik kepada kita semuanya guna menggapai apa yang dicintai dan diridhai-Nya.
Shalawat dan salam semoga tercurah kepada Nabi kita Muhammad, keluarga, dan segenap sahabatnya.
***
Sumber : http://alfawzan.af.org.sa/node/14903
Penerjemah: Ari Wahyudi
Artikel Muslim.or.id
13 Juni 2015
Hukum Membuka Warung di Siang Hari Pada Bulan Ramadhan
Kita akan menyebutkan beberapa ayat, yang bisa dijadikan acuan untuk membahas acara makan di siang hari ramadhan.
Pertama, Allah melarang kita untuk ta’awun (tolong-menolong) dalam dosa dan maksiat.
Allah berfirman,
وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ
“Janganlah kalian tolong menolong dalam dosa dan maksiat.” (QS. al-Maidah: 2).
Sekalipun anda tidak melakukan maksiat, tapi anda tidak boleh membantu orang lain untuk melakukan maksiat. Maksiat, musuh kita bersama, sehingga harus ditekan, bukan malah dibantu.
Tidak berpuasa di siang hari ramadhan tanpa udzur, jelas itu perbuatan maksiat. Bahkan dosa besar. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah diperlihatkan siksaan untuk orang semacam ini
“Dia digantung dengan mata kakinya (terjungkir), pipinya sobek, dan mengalirkan darah.” (HR. Ibnu Hibban, 7491; dishahihkan Al-A’dzami)
Siapapun pelakunya, tidak boleh didukung. Sampaipun orang kafir. Karena pendapat yang benar, orang kafir juga mendapatkan beban kewajiban syariat. Sekalipun andai dia beramal, amalnya tidak diterima, sampai dia masuk islam.
An-Nawawi mengatakan,
والمذهب الصحيح الذي عليه المحققون والأكثرون : أن الكفار مخاطبون بفروع الشرع ، فيحرم عليهم الحرير ، كما يحرم على المسلمين
Pendapat yang benar, yang diikuti oleh para ulama ahli tahqiq (peneliti) dan mayoritas ulama, bahwa orang kafir mendapatkan beban dengan syariat-syariat islam. Sehingga mereka juga diharamkan memakai sutera, sebagaimana itu diharamkan bagi kaum muslimin. (Syarh Shahih Muslim, 14/39).
Diantara dalil bahwa orang kafir juga dihukum karena meninggakan syariat-syariat islam, adalah firman Allah ketika menceritakan dialog penduduk surga dengan penduduk neraka,
إِلَّا أَصْحَابَ الْيَمِينِ ( ) فِي جَنَّاتٍ يَتَسَاءَلُونَ ( ) عَنِ الْمُجْرِمِينَ ( ) مَا سَلَكَكُمْ فِي سَقَرَ ( ) قَالُوا لَمْ نَكُ مِنَ الْمُصَلِّينَ ( ) وَلَمْ نَكُ نُطْعِمُ الْمِسْكِينَ
Kecuali golongan kanan ( ) berada di dalam syurga, mereka tanya menanya ( )
tentang (keadaan) orang-orang kafir ( ) Apakah yang memasukkan kamu ke dalam Saqar (neraka)?” ( )
Mereka menjawab: “Kami dahulu tidak termasuk orang-orang yang mengerjakan shalat ( )
dan kami tidak (pula) memberi makan orang miskin. (QS. al-Muddatsir: 39 – 44)
Dalam obrolan pada ayat di atas, Allah menceritakan pertanyaan penduduk surga kepada penduduk neraka, ‘Apa yang menyebabkan kalian masuk neraka?’
Jawab mereka: “Karena kami tidak shalat dan tidak berinfak.”
Padahal jika mereka shalat atau infak, amal mereka tidak diterima.
Inilah yang menjadi landasan fatwa para ulama yang melarang menjual makanan kepada orang kafir ketika ramadhan. Karena dengan begitu, berarti kita mendukungnya untuk semakin berbuat maksiat.
Dalam Hasyiah Syarh Manhaj at-Thullab dinyatakan,
ومن ثم أفتى شيخنا محمد بن الشهاب الرملي بأنه يحرم على المسلم أن يسقي الذمي في رمضان بعوض أو غيره، لأن في ذلك إعانة على معصيته
Dari sinilah, guru kami Muhammad bin Syihab ar-Ramli, mengharamkan setiap muslim untuk memberi minum kafir dzimmi di bulan ramadhan, baik melalui cara
(Hasyiah al-Jamal ‘ala Syarh Manhaj at-Thullab, 10/310)
Kedua, Allah memerintahkan kita untuk mengagungkan semua syiar islam
ذَلِكَ وَمَنْ يُعَظِّمْ شَعَائِرَ اللَّهِ فَإِنَّهَا مِنْ تَقْوَى الْقُلُوبِ
Demikianlah (perintah Allah). Dan barangsiapa mengagungkan syi’ar-syi’ar Allah, maka sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan hati (QS. al-Hajj: 32)
Bulan ramadhan, termasuk syiar islam. Di saat itulah, kaum muslimin sedunia, serempak melakukan puasa. Karena itu, menjalankan puasa bagian dari mengagungkan ramadhan. Hingga orang yang tidak berpuasa, dia tidak boleh secara terang-terangan makan-minum di depan umum, disaksikan oleh masyarakat lainnya. Tindakan semacam ini, dianggap tidak mengagungkan kehormatan ramadhan.
Dulu para sahabat, mengajak anak-anak mereka yang masih kecil, untuk turut berpuasa. Sehingga mereka tidak makan minum di saat semua orang puasa.
Sahabat Rubayi’ bintu Mu’awidz menceritakan bahwa pada pagi hari Asyura, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus beberapa sahabat ke berbagai kampung di sekitar Madinah, memerintahkan mereka untuk puasa.
فَكُنَّا بَعْدَ ذَلِكَ نَصُومُهُ وَنُصَوِّمُ صِبْيَانَنَا الصِّغَارَ مِنْهُمْ
Kemudian kami melakukan puasa setelah itu dan kami mengajak anak-anak kami untuk turut berpuasa.
Rubayi’ melanjutkan,
فَنَجْعَلُ لَهُمُ اللُّعْبَةَ مِنَ الْعِهْنِ فَإِذَا بَكَى أَحَدُهُمْ عَلَى الطَّعَامِ أَعْطَيْنَاهَا إِيَّاهُ عِنْدَ الإِفْطَارِ
Kami buatkan untuk mereka mainan dari kapas. Jika mereka menangis minta makan, kami berikan boneka itu ketika waktu berbuka. (HR. Muslim no. 2725).
Kita bisa tiru model pembelajaran yang diajarkan para sahabat. Sampai anak-anak yang masih suka main boneka, diajak untuk berpuasa. Karena menghormati kemuliaan ramadhan.
Orang yang udzur, yang tidak wajib puasa, jelas boleh makan minum ketika ramdhan. Tapi bukan berarti boleh terang-terangan makan minum di luar. Sementara membuka rumah makan di siang ramadhan, lebih parah dibandingkan sebatas makan di tempat umum.
Karena alasan inilah, para ulama memfatwakan untuk menutup rumah makan selama ramadhan.
Dalam fatwa Syabakah Islamiyah dinyatakan,
وقد أفتى جماعة من أهل العلم بوجوب إغلاق المطاعم في نهار رمضان ، والله أعلم .
Para ulama memfatwakan, wajibnya menutup warung makan di siang hari ramadhan. Allahu a’lam.
(Fatawa Syabakah Islamiyah, no. 2097)
Allahu a’lam
BACA JUGA
KESURUPAN DALAM TINJAUAN AKIDAH ISLAM
Oleh Ustadz DR. Ali Musri Semjan Putra, MA Para pembaca yang dirahmati Allâh Azza wa Jalla Semoga Allâh Azza wa Jalla senantiasa menjadika...
-
Empat tahun yang lalu, kecelakaan telah merenggut orang yang kukasihi, sering aku bertanya-tanya, bagaimana keadaan istriku sekarang di a...
-
Pertanyaan: Apakah ada anjuran untuk bergembira ketika datang ramadhan? adakah hadis yang menunjukkan keutamaan bergembira ketika ...
-
Masyhur, tak selamanya jadi jaminan. Begitulah yang terjadi pada “doa berbuka puasa”. Doa yang selama ini terkenal di masyarakat, belum...
-
Oleh: A bu Khalid Resa Gunarsa, Lc. Perbuatan curang dan khianat adalah fenomena negatif yang telah sangat akut dalam perilaku ...
-
Dalam dinamika sejarah, kriminalisasi ulama bukanlah hal baru. Ada banyak ulama yang demi kebenaran, berani mengkritik penguasa. Mereka ...
-
Dunia oh dunia Mengapa engkau seperti tak ada habis-habisnya Kesibukanmu melibas hidup kami tak tersisa Kepadatanmu merenggut naf...