Ada satu tradisi memakai sarung kaum perempuan bugis yang tidak bakalan dilakukan kaum pria, bahkan mungkin tak ditemui di etnis lainnya dimuka bumi ini. Perempuan bugis menggunakan sarung untuk menutupi area terlarangnya saat mereka berada diruang umum, saat mereka berlalu didepan khalayak serta saat mereka keluar rumah. Jika dipaksakan untuk mencari analogi yang mendekati pada jaman sekarang, maka tradisi perempuan bugis tersebut mirip dengan tradisi memakai hijab para perempuan Arab.
Cara menutup tubuh itulah yang kita dapati saat perempuan bugis mengenakan dua buah sarung untuk menutup tubuhnya. Satu sarung dipakai pada tubuh bagian bawah, mulai dari uluhati hingga mata kaki. Ujung sarung di uluhati tadi dibebat kencang dengan ujung kain yang diselipkan di sela kain dan kulit tubuh, kadang juga sengaja mengikatkan ujung kain pada satu sisi dengan sisi lainnya. Cara kedua ini lebih banyak dipakai, selain lebih kencang (tidak gampang melorot) juga memaksimalkan efek gombrang saat dipakai.
Satu sarung lainnya dipakai dengan cara menjadikan kain sarung sebagai selubung tubuh, menutupi ujung kepala hingga pertengahan paha. Kurang dari satu setengah jengkal ujung atas tetap dibuka (seukuran wajah) agar tak menghalangi pandangan pemakainya. Sehingga dari depan hanya tampak wajahnya, bahkan pada kondisi tertentu yang tampak hanyalah dua mata sang pemakai, sehingga ujung yang terbuka seolah segaris dengan mata pemakainya.
Kenapa perempuan bugis menutupi tubuhnya sedemikian rupa?
Kondisi ini tidak terlepas pada ajaran kearifan lokal bugis yang menganggap perempuan sebagai sebuah kehormatan yang harus dijaga dengan takaran darah dan nyawa. Inilah alasan kenapa perempuan bugis selalu memiliki tau masiri, pria yang menjadi penjaga kehormatannya, pria yang wajib berkorban membela, mempertahankan dan mengembalikan kehormatan perempuan yang dijaganya, perempuan yang menjadi to risirisi-nya. Ketika perempuan tersebut berada ditempat umum dengan menampakkan bagian terlarang dari tubuhnya, maka sang tomasiri-lah yang malu berat, ia akan menegur sang perempuan. Jika ia tak mampu lagi menegurnya, pilihan terbaiknya adalah sang pria harus meninggalkan kampung halamannya, merantau agar ia tak menjadi sasaran hinaan masyarakat setempat. Sementara bagi sang perempuan yang “tak mau diatur”, maka ia akan dikurung dalam rumah atau ia di pali,diungsikan ketempat lain yang jauh dari kampungnya.
Tradisi memakai hijab ini sudah dikenal masyarakat bugis jauh sebelum agama islam masuk ke tanah Bugis itu sendiri. Makin membudaya kala ajaran agama islam telah diterima di tanah bugis pada kisaran abad XVI-XVII. Hal yang menunjukkan ajaran adat (pangadereng) bugis sejalan dengan hukum syariah (syaraq) islam, minimal dalam urusan menutup aurat. Hijab sarung ini mulai berlaku pada kisaran abad IX-X. Sayang hijab dengan sarung ini mulai pudar sejak adanya baju bodo yang kala itu masih tipis dan transparan, diperparah lagi dengan kebijakan pemerintah pusat kala itu “memaksakan” baju kebaya (Bugis:Kobaja) menjadi busana nasional.
Jika dulu perempuan bugis yang berhijab sarung mendapat pujian “niganaro anaq dara iyaro? Malebbimani, namoha ille matanna dettona taulle mita” (siapa gerangan dara itu, sungguh anggun dan santun, bahkan sekedar melihat garis matanyapun kita tak mampu). Kini pujaan itu berganti cibiran “nigana anaq dara iyaro? Demanagaga sirina, namoha wille pelli-pellinna wedding toni irita” (siapa gerangan dara itu, tak kenal malu, hingga belahan pantatnyapun dengan mudah kita lihat). Sungguh ironis! ( Sumber : Suryadin Laoddang)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar