PENCARIAN

31 Desember 2014

Sejarah Tahun Baru Masehi dan Hukum Merayakannya


Beberapa saat lagi kita akan menyaksikan perayaan besar, perayaan yang rutin dilakukan oleh masyarakat di seluruh dunia setiap tahunnya. Perayaan itu adalah perayaan  tahun baru. Perayaan yang dibuat secara meriah dan tentu saja dengan biaya yang tidak murah.

Perayaan tahun baru masehi memiliki sejarah panjang.

Banyak di antara orang-orang yang ikut merayakan hari itu tidak mengetahui kapan pertama kali acara tersebut diadakan dan latar belakang mengapa hari itu dirayakan.

sejarah-perayaan-tahun-baru

29 Desember 2014

Mengapa maulid dikategorikan sebagai bid’ah?

Segala puji hanyalah milik Allah. Shalawat serta salam semoga selalu tercurah kepada Rasulullah. Wa ba’du.

Kaum muslimin yang dimuliakan Allah, di bulan Rabi’ul Awwal ini, banyak kaum muslimin yang merayakan maulid Nabi. Telah banyak pula tulisan yang menjelaskan bahwa perayaan maulid tidak ada tuntunannya di dalam Islam. Dengan memohon pertolongan Allah, sedikit bahasan ini akan memaparkan alasan mengapa maulid dikategorikan sebagai bid’ah sehingga tidak seyogyanya seorang muslim merayakannya. Semoga Allah memberi taufik kepada kita semua.

Pengertian ringkas bid’ah

Ibnu Rajab rahimahullah mengatakan, “Yang dimaksud dengan bid’ah adalah setiap perbuatan yang diada-adakan dalam agama yang tidak ada dalil yang menunjukkan disyari’atkannya perbuatan tersebut” (Jami’ul ‘Ulum wal Hikam, 2/127)

Berdasarkan pengertian di atas, maka ada dua poin penting yang dapat diambil :

★ Bid’ah hanya berkaitan dengan masalah agama
★ Bid’ah adalah perbuatan yang tidak ada dasarnya dalam agama.

Mengapa maulid dikategorikan sebagai bid’ah?

Kaum muslimin yang dimuliakan Allah, tentu bagi saudara kita yang merayakannya, maulid adalah ibadah dan perayaan yang sangat agung yang dapat mendatangkan keridhoan Allah Ta’ala dan syafa’at Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maulid Nabi adalah perayaan yang rutin digelar setiap tahunnya sehingga maulid Nabi termasuk hari ‘ied dimana banyak dari kaum muslimin berkumpul di hari tersebut.

Definisi ‘ied

Abul ‘Abbas Ibnu Taimiyyah rahimahullah mengatakan, “’Ied adalah istilah yang diambil karena berulangnya sesuatu untuk sebuah perkumpulan besar. Bisa jadi yang berulang adalah tahun, pekan, bulan, atau semisalnya” (Fathul Majid, hal. 267)

Dengan demikian, maulid dapat dikategorikan sebagai hari ‘ied berdasarkan pengertian di atas karena kesesuaian sifat-sifatnya, sama-sama rutin dan sama-sama merupakan perkumpulan besar kaum muslimin.
Penentuan ibadah atau hari ‘ied kaum muslimin membutuhkan dalil

Akan tetapi, untuk menentukan suatu hari itu adalah ‘ied atau bukan maka membutuhkan dalil dari Al Qur’an atau As Sunnah.

Ibnu Rajab rahimahullah mengatakan, “Tidaklah disyari’atkan bagi kaum muslimin untuk menjadikan (suatu hari sebagai) ‘ied kecuali yang ditetapkan oleh syari’at sebagai hari ‘ied. Hari ‘ied (yang ditetapkan syari’at) tersebut adalah ‘iedul fithri, ‘iedul adha, hari-hari tasyrik dimana ketiga ‘ied tersebut adalah ‘ied tahunan, serta hari jum’at dimana hari jum’at adalah ‘ied pekanan. Selain dari hari-hari ‘ied tersebut, maka menetapkan suatu hari sebagai hari ‘ied yang lain adalah kebid’ahan yang tidak ada asalnya dalam syari’at” (Latho-if Al Ma’arif, hal. 228)

Adakah dalil dianjurkannya maulid?

Kaum muslimin yang dimuliakan Allah, sayangnya tidaklah kita temukan satu dalil pun yang menunjukkan disyari’atkannya maulid Nabi setelah sempurnanya Islam. Tidak ada hadits Nabi, riwayat sahabat, serta ucapan 4 imam mazhab yang menunjukkan dianjurkannya merayakan maulid Nabi.

Kesimpulan Hukum Maulid

Oleh karena itulah, dengan melihat definisi bid’ah di atas serta melihat penjelasan tentang ‘ied sebelumnya, maka yang dapat kita simpulkan adalah : Maulid adalah sebuah perayaan rutin (‘ied) yang tidak memiliki landasan sama sekali dalam agama sehingga tergolong perbuatan baru yang diada-adakan (baca : bid’ah).

Inilah alasan pokok mengapa maulid dikategorikan sebagai bid’ah. Maulid adalah perkara baru dalam agama yang tidak ada dasarnya sama sekali, sedangkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

و إياكم و محدثات الأمور فإن كل بدعة صلالة

“Waspadalah kalian dari perkara-perkara baru (dalam agama) karena sesungguhnya semua bid’ah itu sesat” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi, beliau berkata : “hadits ini hasan shahih”)

Terdapat kemiripan dengan perayaan orang kafir

Selain tidak memiliki landasan agama, perayaan maulid Nabi juga menyerupai perayaan yang diadakan oleh orang nasrani yang merayakan hari kelahiran Nabi ‘Isa ‘alaihis salam sehingga dikategorikan sebagai bid’ah.

Imam As Suyuthi rahimahullah berkata, “Termasuk ke dalam perbuatan bid’ah yang mungkar adalah : menyerupai orang kafir dan menyamai mereka dalam hari raya mereka dan perayaan mereka yang terlaknat sebagaimana yang dilakukan banyak orang awam dari kaum muslimin yang turut serta dalam perayaan orang nasrani pada Khamis al Baydh¹ dan lainnya” (Al Amru bil Ittiba’, hal. 141, dinukil dari ‘Ilmu Ushul Al Bida’, hal. 80)

Mungkin saja Nabi dan para sahabat melakukannya jika mau

Kaum muslimin yang dimuliakan Allah, akan semakin menambah keyakinan kita untuk mengatakan bahwa maulid adalah bid’ah jika melihat perkataan Ibnu Taimiyyah berikut ini.

Beliau rahimahullah berkata, “Sesungguhnya para salaf tidak merayakannya (maulid Nabi-pen) padahal ada faktor pendorong untuk merayakannya dan juga tidak ada halangan untuk merayakannya. Seandainya perbuatan itu isinya murni kebaikan, atau mayoritas isinya adalah kebaikan, niscaya para salaf radhiyallahu ‘anhum lebih berhak untuk merayakannya. Karena mereka adalah orang yang lebih besar kecintaannya dan pengagungannya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dibandingkan kita. Mereka -para salaf- lebih semangat untuk berbuat kebaikan” (lihat Iqtidho Shirothil Mustaqim, 2/612-616, dinukil dari Al Bida’ Al Hauliyah, hal. 198)

Kaum muslimin yang dimuliakan Allah, seandainya Rasulullah, para sahabat, tabi’in, maupun 4 imam mazhab mau merayakan maulid Nabi, tentu mudah bagi mereka untuk merayakannya. Faktor pendorong merayakan maulid sudah ada, yakni kecintaan mereka kepada Nabi yang teramat besar, ditambah lagi tidak ada faktor yang menghalangi mereka untuk merayakannya. Namun, mengapa mereka tidak merayakannya? Apa sih susahnya maulidan? Hal ini semata karena keyakinan mereka bahwa maulid bukanlah ajaran Rasul yang mulia shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Penutup

Sebagai penutup, marilah sejenak kita renungi bersama kisah berikut ini.

Suatu ketika, Sa’id Ibnul Musayyib rahimahullah melihat seseorang yang shalat lebih dari 2 raka’at setelah terbitnya fajar. Orang tersebut memperbanyak ruku’ dan sujud. Kemudian beliau melarang orang tersebut meneruskan sholatnya. Orang tersebut pun berkata, “Hai Abu Muhammad (panggilan Sa’id Ibnul Musayyib-pen)! Apakah Allah akan menyiksa aku karena sholatku?” Beliau menjawab, “Tidak, akan tetapi Allah akan menyiksamu karena kamu menyelisihi sunnah!”

Syaikh Al Albani berkomentar, “Ini adalah jawaban yang sangat indah dari Sa’id Ibnul Musayyib rahimahullahu Ta’ala. Jawaban ini adalah senjata ampuh bagi orang yang gemar berbuat bid’ah yang menganggap baik banyak bid’ah dengan alasan isinya adalah zikir dan sholat! Merekapun mengingkari ahlus sunnah dengan memanfaatkan alasan tersebut. Mereka menuduh bahwa ahlus sunnah mengingkari zikir dan sholat! Padahal sejatinya, yang mereka ingkari adalah penyelisihan mereka terhadap sunnah dalam berzikir, sholat, dan sejenisnya” (Irwa-ul Ghalil, 2/236, dinukil dari ‘Ilmu Ushul Al Bida’, hal. 71-72)

Itulah kaum muslimin yang dimuliakan Allah, yang ahlus sunnah ingkari bukanlah zikir dan sholat itu sendiri, akan tetapi penyelisihan terhadap sunnah itulah yang menjadi poin penting pembahasan ini. Bagaimana tidak? Menyelisihi sunnah berarti menyelisihi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, padahal Allah Ta’ala memerintahkan kita semua untuk selalu meneladani beliau. Semoga Allah Subhaanahu wa Ta’ala memberi petunjuk kepada kita semua dan membimbing kita untuk senantiasa berpegang kepada Al Qur’an dan As Sunnah.

Ya Allah, kami memohon kepada-Mu hidayah, ketakwaan, kehormatan, dan kecukupan. Sesungguhnya Engkau adalah Dzat Yang Maha Mendengar lagi Mengabulkan do’a

Semoga shalawat serta salam senantiasa tercurah kepada Rasulullah. Wallahu a’lam.

4 Rabi’ul Awwal 1434 H

¹ biasa disebut Maundy Thursday atau Kamis Putih adalah perayaan yang dilakukan orang Nasrani untuk memperingati peristiwa ‘perjamuan terakhir’ sebelum Yesus di salib

Penulis: Yananto Sulaimansyah

Bagaimana Bersikap Dengan Keluarga Yang Merayakan Maulid Nabi Dan Meledek Mereka Yang Tidak Ikut Merayakannya?

Pertanyaan:

Saya tidak ikut merayakan maulid Nabi, berbeda dengan seluruh keluarga yang merayakannya. Mereka berkata bahwa Islam saya adalah Islam yang baru dan bahwa saya tidak mencintai Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Apakah ada nasehat untuk masalah ini?

Jawaban:

Alhamdulillah.

Pertama:

Sikap anda telah benar wahai penanya budiman dengan meninggalkan perayaan bid’ah yang sudah menjadi adat luas di tengah masyarakat.  Jangan terpengaruh dengan orang yang menuduh anda karena anda mengikuti petunjuk Nabi shallallahu alaihi  wa sallam serta meledek anda yang ingin teguh di jalan Islam. Tidak ada seorang rasul pun yang di utus ke tengah kaumnya kecuali mereka menghinanya, menuduh akalnya dan agamanya, sebagaimana firman Allah Ta’ala,

كَذَلِكَ مَا أَتَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ مِنْ رَسُولٍ إِلَّا قَالُوا سَاحِرٌ أَوْ مَجْنُونٌ (سورة الذاريات: 52)

“Demikianlah tidak seorang Rasulpun yang datang kepada orang-orang yang sebelum mereka, melainkan mereka mengatakan: "Dia adalah seorang tukang sihir atau seorang gila." SQ. Ad-Dzariyat: 52.

Bagi anda, cukuplah para nabi sebagai teladan, bersabarlah atas penderitaan yang anda hadapi dan berharaplah pahala dari Allah Ta’ala karena itu.

Kedua:

Nasehat buat anda: Hindari berdebat dengan mereka, kecuali jika anda dapati ada di antara mereka yang dewasa dan bersedia mendengarkan serta mengambil faidah. Anda dapat seleksi di antara mereka untuk anda sampaikan tentang hakikat maulid, hukumnya serta dalil kekeliruannya. Lalu anda dapat jelaskan kepada mereka keutamaan ittiba (mengikuti sunah) serta buruknya bid’ah. Jika anda dapati ada orang seperti itu, maka berikut beberapa tip dan nasehat agar dialog anda dengan mereka bermanfaat;

1.   Mulai dari akhir pernyataan mereka, yaitu perkataan mereka bahwa Islam anda adalah Islam baru. Maka dapat kita katakana, ‘Mana yang lebih dahulu dalam agama dan Islam? Mereka yang merayakan maulid atau mereka yang tidak merayakannya? Jawabnya tidak diragukan lagi bagi orang yang cerdas dan obyektif, bahwa mereka yang tidak merayakan maulid adalah yang lebih dahulu baik dari sisi Islam atau agama.

Para shahabat radhiallahu anhum, para tabiin, tabiittabiin dan generasi sesudah mereka hingga masa dinasti Ubaidiyah di Mesir, tidak merayakan maulid Nabi. Tapi yang melakukannya adalah orang-orang sesudah mereka? Jadi, siapakah yang Islamnya baru?

2.   Kita perhatikan, siapakah yang lebih besar mencintai Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Apakah para shahabat radhiallahu anhum atau orang-orang sesudahnya di abad-abad belakangan? Jawabnya tidak diragukan lagi bagi orang yang cerdas dan obyektif adalah bahwa para shahabat lebih besar cintanya. Apakah mereka merayakan maulid atau meninggalkannya? Bagaimana orang-orang yang merayakan maulid Nabi shallallahu alaihi wa sallam dapat menyamai kedudukan dalam mencintai Nabinya?!

3.   Kita bertanya, apa makna mencintai Nabi shallallahu alaihi wa sallam? Bagi orang yang cerdas dan obyektif maknanya adalah mengikuti petunjuknya dan prilaku kehidupan Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Seandainya mereka yang merayakan maulid Nabi mereka komitmen untuk mengikuti petunjuk nabi mereka dan mengikuti jalan ittiba, maka mereka akan menjalankan seperti apa yang dilakukan para shahabat yang mencintainya dan mengikuti ajaran Nabi mereka shallallahu alaihi wa sallam. Niscaya mereka akan ketahui bahwa kebaikan terletak pada meneladani perilaku salaf (orang saleh terdahulu) dan keburukan pada perilaku bid’ah khalaf (orang-orang yang datang kemudian).

Al-Qadhi Iyadh rahimahullah berkata, “Pasal tentang tanda-tanda mencintai Nabi shallallahu alaihi wa sallam, ‘Ketahuilah, bahwa siapa yang mencintai sesuatu, dia akan mengutamakannya, mengutamakan untuk sesuai dengannya. Jika tidak, maka dia tidak jujur dengan cintanya, Cuma mengaku-ngaku saja. Orang yang jujur dalam mencintai Nabi shallallahu alaihi wa sallam adalah orang yang tampak padanya tanda-tandanya. Yang pertama adalah meneladaninya, menggunakan sunahnya, mengikuti perkataannya, melaksanakan perintahnya, menjauhi larangannya, beradab dengan adabnya, dalam kondisi sulit maupun senang, sedang semangat atau malas. Dalil hal ini adalah firman Allah Ta’ala,

قل إن كنتم تحبون الله فاتبعوني يحبكم الله (سورة آل عمران: 31)

“Katakanlah: "Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah Aku.” SQ. Ali Imron: 31

Lalu dia memprioritaskan syariatnya dan mendahulukannya atas hawa nafsunya. Allah Ta’ala berfirman,

والذين تبوؤا الدار والإيمان من قبلهم يحبون من هاجر إليهم ولا يجدون في صدورهم حاجة مما أوتوا ويؤثرون على أنفسهم ولو كان بهم خصاصة (سورة الحشر: 9)

“Dan orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman (Anshor) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka (Anshor) 'mencintai' orang yang berhijrah kepada mereka (Muhajirin). dan mereka (Anshor) tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (Muhajirin); dan mereka mengutamakan (orang-orang muhajirin), atas diri mereka sendiri, Sekalipun mereka dalam kesusahan.” SQ. Al-Hasyr: 9

Dia siap menanggung kebencian makhluk demi mendapat ridha Allah Ta’ala.

Siapa yang memiliki sifat seperti ini, maka kecintaannya terhadap Allah dan RasulNya dianggap sempurna. Siapa yang menyelisihi dalam sebagian perkara, maka kecintaannya berkurang, namun tidak sampai hilang sama sekali.” (Asy-Syifa Bi Ta’rif Huquq Al-Mushthafa, 2/24-25)

4.   Mari kita perhatikan tanggal kelahiran Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, apakah ada riwayat yang shahih dalam masalah ini? Kemudian di sisi lain, apakah tanggal wafatnya shahih? Orang yang cerdas dan obyektif akan menjawab bahwa tanggal kelahirannya tidak terdapat riwayat yang shahih dan disepakati, sementara tanggal wafatnya terdapat riwayat shahih yang kuat.

Jika kita perhatikan dalam bukur-buku sirah (sejarah) Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, akan kita dapatkan bahwa tanggal kelahiran Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam diperselisihkan hingga beberapa pendapat berikut;

1. Hari Senen, malam kedua bulan Rabiul Awal.
2. Tanggal 8 Rabiul Awal.
3. Tanggal 10 Rabiul Awal.
4. Tanggal 12 Rabiul Awal.
5. Zubair bin Bakar berkata, “Beliau (Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam) dilahirkan di bulan Ramadan.

Seandainya kelahiran Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam memiliki dampak sesuatu niscaya para shahabat telah menanyakannya kepada beliau atau beliaunya yang mengabarkan kepada mereka. Namun semua itu tidak terjadi.

Adapun wafatnya, tidak diperselisihkan bahwa beliau wafat pada tanggal 12 Rabiul Awal tahun sebelas hijriah. Kemudian setelah itu kita lihat, kapan para pelaku bid’ah itu mengadakan perayaan tersebut. Mereka merayakannya pada hari wafatnya, bukan hari kelahirannya!

Bid’ah ini telah digulirkan oleh kelompok Al-Ubaidiyyah, yang memalsukan nasab mereka dan menamakan diri mereka menjadi ‘Fatimiyah’, sebagai nisbat kepada Fatimah radhiallahu anha. Mereka menyambutnyan dengan penuh semangat, mereka adalah kaum zindiq dan atheis. Mereka ingin bergembira dengan wafatnya Nabi shallallahu alaihi wa sallam, lalu mereka mengarang acara seperti ini dan mereka adakan perayaannya. Yang mereka inginkan adalah bergembira dengan wafatnya beliau, namun mereka mengelabui orang-orang bodoh dari kalangan kaum muslimin dengan dalih bahwa yang mereka lakukan adalah wujud cinta kepada Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Demikianlah mereka sukses dengan tipu dayanya dan merubah makna ‘cinta’  hanya sekedar berbentuk membaca syair-syair, lalu membagikan aneka ragam makanan, kemudian diadakan tari-tarian, campur baur lak-laki wanita, diiringi oleh alat-alat music, berhias, kedurhakaan, plus praktek tawassaul dan kesyirikan yang kerap muncul pada acara-acara seperti itu.

Ketiga:

Bersabarlah wahai saudaraku dalam mengikuti jejak Nabimu, Nabi Muhammad shallalalhu alaihi wa sallam. Jangan tertipu oleh banyaknya orang yang menyelisihinya. Kami nasehatkan anda untuk menuntut ilmu dan berusaha mendatangkan manfaat bagi masyarakat. Jangan jadikan perbuatan keluarga anda ini sebagai sebab perpecahan anda dengan mereka. Mereka hanya bertaklid kepada selain mereka yang berfatwa bolehnya acara semacam ini, bahkan menganggapnya sunah. Hendaknya anda berlemah lembut kepada mereka dalam mengingkarinya, usahakan mengeluarkan ucapan yang paling baik, juga dengan perbuatan dan akhlak. Perlihatkan kepada mereka bekas-bekas orang yang mengikuti jejak Nabinya dalam prilaku dan ibadah anda.

Kami memohonkan kepada Allah semoga anda selalu mendapatkan taufiq.

Wallahu a’lam.

Sumber: Soal Jawab Tentang Islam http://islamqa.info/id/125690

28 Desember 2014

Manfaat Bangun Subuh Bagi Kesehatan

Subhanallah, ternyata semua yang Allah SWT dan Rasulullah Muhammad SAW anjurkan dan perintahkan kepada umat Islam selalu saja memberikan segudang manfaat, baik didunia dan akherat.

Salah satunya, manfaat selalu Bangun pagi sebelum subuh, itulah teladan dan ajakan Rasul terhadap ummatnya untuk bangun sebelum subuh, melaksanakan sholat sunah dan sholat Fardhu atau shalat sunnah Fajar, yang lalu dilanjutkan sholat subuh berjamaah. Selain tentunya merupakan bagian dari ibadah. Namun ternyata kebiasan ini didalam dunia medis memberi hikmah yg luar biasa dan mendalam.

Salah satunya dalam penelitian terbaru terbaru dunia kedokteran yang mempelajari tentang banyaknya kasus terjadinya serangan jantung dan stroke yang sering terjadi pada pagi hari terutama , terutama secara spesifik disebutkan pada pukul 06.30 pagi. Penelitian ini sama persis dengan rasa penasaran saya sebagai dokter, karena cukup sering mendapatkan panggilan darurta pada waktu pagi ketika menemui kasus emergency terkait dengan penyakit-penyakit kardiovaskuler.

Bagi mereka yang sudah melakukan kegiatan / aktifitas / bangun lebih awal ketika pagi untuk (sholat malam/subuh) dan tidak tidur lagi setelahnya) atau bagi mereka yang melakukan olahraga rutin pagi hari maka tubuh akan lebih mudah dapat beradaptasi / mengkompensasi perubahan irama sirkadian tubuh. Kondisi demikian bisa jadi akan memperkecil faktor resiko terserang penyakit jantung, stroke ataupun penyakit terkait kardiovaskuler.

Peneliti mempelajari perubahan tingkat protein Plasminogen activator inhibitor-1 (PAI-1) didalam tubuh, yang menghambat pemecahan bekuan/gumpalan darah. Perlu diketahui gumpalan darah ini adalah faktor penyumbang utama serangan jantung dan stroke. Penelitian yang diterbitkan dalam jurnal Blood, menemukan penurunan kadar PAI-1 dengan puncaknya terjadi pada sekitar 06:30.

Protein plasminogen activator inhibitor-1 (PAI-1)  ini harusnya bekerja untuk memperlambat kerusakan pembekuan darah, karena penurunan jumlah protein tersebut pada pagi hari akhirnya kondisi demikian menyebabkan meningkatnya angka kejadi stroke dan serangan jantung lebih mungkin terjadi pada waktu tersebut.

Penulis studi Dr Frank Scheer, direktur medis Chronobiology Program di Birmingham dan woman hospital, dikutip dari DailyMail mengatakan: “Temuan kami menunjukkan bahwa sistem sirkadian, atau jam biologis tubuh, memberikan kontribusi terhadap peningkatan risiko kejadian kardiovaskular di pagi hari.”

Betapa luar bisanya manfaat bangun pagi lebih awal bagi kesehatan kita. Hal ini kelihatan sepele namun sangat penting bagi kesehatan kita, mengingat tingginya kasus kematian mendadak akibat serangan jantung dan stroke belakangan ini. Oleh sebab itu untuk tetap sehat manusia disarankan untuk tidur malam lebih awal dan bangun pagi juga lebih awal sesuai tuntunan Rasulullah SAW.

Dari sudut pandang Islam

PERHATIAN RASULULLAH SHALLALLAHU ALAIHI WA SALLAM TERHADAP SHALAT DUA RAKAAT SEBELUM SUBUH

Shalat-shalat sunnat rawâtib (shalat yang menyertai shalat fardhu) tidak sama keutamannya. Shalat sunnat Subuh lah yang menempati urutan teratas. Sebab, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah meninggalkannya meski beliau berada dalam perjalanan. Ibnul Qayyim rahimahullah menyatakan bahwa perhatian dan konsistensi beliau paling besar pada shalat sunnat Subuh.

Oleh sebab itu, beliau tidak pernah melupakannya, baik saat berada di rumah ataupun bepergian. Ummul Mukminîn, 'Aisyah Radhiyallahu 'anha menceritakan:

لَمْ يَكُنِ النَّبِيُ عَلَى شَيْئٍ مِنَ النَّوَافِلِ أَشَدَّ تَعَاهُداً مِنْهُ عَلَى رَكْعَتَيْ الْفَجْرِ

Nabi tidak pernah menjaga shalat sunnat melebihi perhatian beliau terhadap dua rakaat sebelum Subuh [Muttaqa 'alaih]

Hadits ini menunjukkan semangat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk memelihara dua rakaat ini daripada shalat sunnat yang lain. Dalam shalat ini, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjalankannya dengan ringan, tidak lama. Di rakaat pertama, beliau membaca surat al-Kâfirûn. Sementara di rakaat terakhir, membaca surat al-Ikhlâsh. Dua surat yang memuat tauhid 'ilmi dan 'amali. Makna yang tersirat di dalamnya adalah agar saat memulai harinya, seorang Muslim telah mengikrarkan berlepas diri dari syirik dan kaum musyrikin dan sebaliknya, yaitu menyatakan kebanggaannya terhadap tauhid dan kaum muwahhidîn (orang-orang yang bertauhid).

Ini karena shalat sunnat Subuh, seperti dikatakan Syaikhul Islam rahimahullah, laksana pembuka amaliah seorang Muslim. Untuk memotivasi umat agar menjalankan sunnah ini, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menggambarkan besarnya keutamaan ibadah shalat dua rakaat sebelum Subuh ini.

Maka, rugilah orang yang melalaikannya, apalagi sampai tidak pernah mengerjakannya sama sekali. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam , bersabda:

رَكْعَتَا الْفَجْرِ خَيْرٌ مَنَ الدُّنْيَا وَمَا فِيْهَا

Dua rakaat (sebelum) Subuh lebih baik daripada dunia seisinya [HR. Muslim].

Dalam riwayat lain,

لَهُمَا أَحَبُّ إِلَيَّ مَنَ الدُّنْيَا جَمِيْعًا

Dua rakaat itu lebih aku cintai ketimbang seluruh dunia [HR. Muslim]

Demikianlah pahala besar yang telah dijanjikan Allah bagi orang yang menjalankan ibadah shalat sunnat Subuh.

Siapa yang mau menyambutnya?

Salam sehat….

[dr. Wahyu Triasmara]

27 Desember 2014

Perayaan Tahun Baru dan Fenomena Tasyabbuh

Usai sudah perayaan Natal. Hampir seluruh elemen masyarakat turut berpartisipasi menyukseskan ritual umat Kristiani ini.

Tak cukup dengan memberi ucapan selamat Natal, beberapa ormas Islam bahkan mengerahkan massanya dari kalangan ummat Islam untuk memberikan pengamanan di hari Natal tersebut. Padahal, sekadar memberi ucapan selamat Natal dan Tahun Baru saja para ulama telah sepakat tentang pengharamannya.

Tak ada orang waras yang ingin mengucapkan selamat kepada para koruptor, “Selamat atas korupsi besar-besaran Anda.” Atau ucapan, “Selamat Anda telah berzina,” “Selamat, Anda mabuk berat,” “Selamat, Anda telah membunuh kedua orang tua Anda.” Kita tak akan menghadiahkan ucapan selamat kepada pelaku maksiat atas dosa-dosa besar yang mereka kerjakan.

Namun tahukah Anda, bahwa dosa syirik, menyekutukan Allah dosanya jauh lebih besar? Menjadikan sembahan selain Allah, meyakini Allah itu tiga, menuduh Allah memiliki anak, dosanya jauh lebih besar, bahkan pelakunya adalah orang-orang kafir. Pantaskah kita menghadiahkan kepada mereka ucapan selamat atas kekafiran mereka?

Ucapan selamat, paling minimal menunjukkan keridaan kita terhadap akidah dan keyakinan mereka, meskipun kita tak terlibat langsung dalam ritual keagamaan mereka.  Sementara Allah telah mengharamkan untuk ridho terhadap kekufuran. Firman Allah, artinya:“Jika kamu kafir, maka sesungguhnya Allah tidak memerlukan (iman)mu dan Dia tidak meridhoi kekafiran bagi hamba-Nya.” (QS. Al-Zumar: 7).

Pembaca budiman, Allah tidak merihoi kekufuran bagi hamba-Nya, maka tak ada ucapan selamat bagi mereka yang kufur. Lantas apakah hal ini berarti Islam tak mengenal toleransi antar umat beragama?

Agama Islam adalah agama yang menjunjung tinggi toleransi antar umat beragama. Bahkan tak ada agama di muka bumi ini yang terdepan mengusung toleransi selain Islam. Sejarah telah mencatat keluhuran budi pekerti kaum muslimin ketika berkuasa di suatu negeri.

PERAYAAN TAHUN BARU

Akhir tahun adalah momen yang paling ditunggu-tunggu penduduk bumi. Tak peduli tua atau muda, pria maupun wanita, agama apa pun ia, bahkan Islam sekalipun. Padahal jika diusut, peringatan tahun baru Miladiyah atau Masehi adalah puncak dari rangkaian hari raya penganut agama Kristen.

Allah subhanahu wa ta'ala telah berfirman tentang sifat-sifat 'ibadurrahman (artinya):

"Dan orang-orang yang tidak menjadi saksi az-zuur." (QS. Al Furqan: 72).

Kalangan ahli tafsir berkata bahwa yang dimaksud dengan az-zuur di sini adalah hari-hari besar atau perayaan-perayaan kaum musyrik dan kafir. Dan hari-hari besar merupakan perkara syar'i dan termasuk ibadah, maka tidak boleh dikerjakan kecuali ada dalil yang menunjukkannya.

Inilah umat Islam, sedikit demi sedikit namun pasti, terus mengekor kebiasaan orang-orang kafir dalam segala hal. Tak hanya budaya, bahkan ritual agama pun mereka contoh dan ikuti.

Inilah di antara mukjizat dari Rasulullah, ketika beliau bersabda,
“Kalian sungguh-sungguh akan mengikuti jalan orang-orang sebelum kalian sejengkal demi sejengkal dan sehasta demi sehasta, sampai seandainya mereka masuk ke lubang biawak, niscaya kalian akan masuk pula ke dalamnya. Kami tanyakan, “Wahai, Rasulullah! Apakah mereka yang dimaksud itu adalah Yahudi dan Nashrani?” Beliau berkata, “Siapa lagi kalau bukan mereka?” (HR. Bukhari dan Muslim).

Rasulullah juga bersabda yang senada dengan hadits di atas dalam hadits yang dibawakan oleh  Abu Hurairah radhiallahu 'anhu,
“Tidak akan tegak hari kiamat sampai umatku mengambil jalan hidup umat sebelumnya sejengkal demi sejengkal dan sehasta demi sehasta.” Maka ditanyakan kepada beliau, “Wahai Rasulullah, seperti Persia dan Romawi?” Beliau menjawab, “Siapa lagi dari manusia kalau bukan  mereka?” (HR. Al-Bukhari).

Imam Nawawi berkata, “Yang dimaksud dengan sejengkal, sehasta dan penyebutan lubang dhabb dalam hadits ini adalah untuk menggambarkan betapa semangatnya umat ini menyerupai umat terdahulu dalam penyelisihan dan maksiat, mencontoh mereka dalam segala sesuatu yang dilarang dan dicela oleh syariat.” (Syarah Shahih Muslim, 16/219).

Sebagian kaum muslimin setelah membaca hadits ini mungkin akan berkata, “Kalau begitu, tidak ada yang salah jika kita mengikuti orang-orang kafir, karena Rasulullah telah mengabarkan bahwa hal itu akan terjadi pada umatnya.”

Tentu saja sabda Rasulullah di atas bukan untuk memberikan pengesahan dan penetapan tentang bolehnya hal tersebut, namun justru yang beliau inginkan adalah memberi tahdzir (peringatan) dari mengikuti orang kafir dalam perkara kesesatan dan penyimpangan.

PERINTAH MENYELISIHI ORANG-ORANG KAFIR

Islam telah mensyariatkan kepada umatnya agar menyelisihi orang-orang kafir dan ahlul kitab dalam segala bentuk dan sifatnya, baik dalam akidah, peribadatan, kebudayaan, atau dalam pola tingkah laku yang merupakan ciri khas mereka. Banyak hadits Nabi shallallohu alaihi wasallam yang menunjukkan hal tersebut. Terkadang beliau berkata, “Janganlah kalian menyerupai Yahudi dan Nashara,” “Selisihilah orang-orang musyrik,” “Selisihilah orang-orang Majusi,” sebagaimana disebutkan dalam hadits-hadits shahih.

MENGAPA TASYABBUH TERHADAP ORANG-ORANG KAFIR DILARANG?

1. Semua perbuatan orang kafir pada dasarnya dibangun di atas dasar kesesatan  (dhalalah) dan kerusakan (fasad). Adapun kebaikan yang mereka perbuat tidak akan memberi arti apa pun baginya di sisi Allah dan tidak diberi pahala sedikit pun.

2. Dengan bertasyabbuh terhadap orang kafir, seorang Muslim akan menjadi pengikut mereka, yang berarti dia telah menantang atau memusuhi Allah U dan Rasul-Nya.

3. Hubungan antara sang peniru dengan yang ditiru seperti yang terjadi antara sang pengikut dengan  yang diikuti yakni penyerupaan bentuk yang disertai kecenderungan hati, keinginan untuk menolong serta menyetujui semua perkataan dan perbuatannya.

4. Sebagian besar tasyabbuh mewariskan rasa kagum kepada orang-orang kafir. Lalu dari sana timbullah rasa kagum terhadap agama, kebudayaan, pola pikir, tingkah laku, perangai dan semua kebejatan dan kerusakan yang mereka miliki. Kekagumannya terhadap orang kafir tersebut akan berdampak penghinaan kepada as-Sunnah, melecehkan kebenaran serta petunjuk yang dibawa Rasulullah shallallohu 'alaihi wasallam dan para as-Salaf ash-Shalih. Karena barang siapa yang menyerupai suatu kaum pasti sepakat dengan fikrah (pemikiran) mereka dan ridho dengan semua aktivitasnya serta kagum terhadap mereka.

5. Bertasyabbuh terhadap orang-orang kafir pada dasarnya akan menjerumuskan kepada kehinaan, kelemahan, kekerdilan (rendah diri) dan kekalahan.

Sebagai umat Islam, sepantasnya kita merasa bangga dan mulia dengan ke-Islam-an dan ciri khas kita, serta tidak bertasyabbuh dan mengekor kepada ummat lain. Allah Azza wa Jalla berfirman (artinya):

“Kemuliaan  itu hanyalah bagi Allah, bagi Rasul-Nya dan bagi orang-orang mukmin, tetapi orang-orang munafik itu tiada mengetahui.”(QS. Al-Munafiqun: 8).

Wallahu Waliyyul Mukminiin

KEMUNKARAN KOLOSAL DALAM PERAYAAN TAHUN BARU MASEHI

Kita semakin mendekati penghujung tahun lama dan akan masuk ke awal tahun baru masehi. Pada momen tersebut, manusia di penjuru Indonesia bahkan di seluruh dunia beramai-ramai merayakannya. Tak ketinggalan juga sebagian besar dan kaum muslimin, baik remajanya maupun orang tuanya.

Sebagai seorang muslim, hendaknya kita tidak berkata dan berbuat melainkan dengan dasar ilmu. Sikap terbaik bagi kita adalah berilmu dahulu baru berkata atau berbuat. Maka itu, sebelum jauh melangkah mengikuti perayaan tahun baru masehi, hendaknya kita mengkaji terlebih dahulu hal-hal yang berkaitan dengan perayaan-perayaan seperti ini. Apakah Islam membolehkannya atau melarangnya. Sebab, bisa saja seseorang mengerjakan sesuatu yang belum ia ketahui ilmunya, dapat menyebabkan datangnya murka dan siksa Allah ta’ala. Kita memohon keselamatan dan ampunan dari Allah semata.

Berikut beberapa poin penting berkenaan dengan tema. Hanya kepada Allah kita memohon pertolongan.

HARI RAYA TAHUNAN UMAT ISLAM HANYA DUA

Ketahuilah, di dalam Islam, perayaan hari raya hanya ada dua: Idul Fitri dan Idul Adha. Dari Anas radhiyallahu ‘anhu ia berkata:

قَدِمَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم الْمَدِيْنَةَ وَلأَهْلِ الْمَدِيْنَةِ يَوْمَانِ يَلْعَبُوْنَ فِيْهِمَا فِي الْجَاهِلِيَّةِ فَقَالَ: قَدِمْتُ عَلَيْكُمْ وَلَكُمْ يَوْمَانِ تَلْعَبُوْنَ فِيْهِمَا فِي الْجَاهِلِيَّةِ، وَقَدْ أَبَدَلَكُمُ الله بِهِمَا خَيْراً مِنْهُمَا يَوْمَ النَّحْرِ وَيَوْمَ الْفِطْرِ

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam datang ke kota Madinah sementara itu penduduknya memiliki dua hari di mana mereka bersenang-senang padanya di j aman jahiliyyah, lalu beliau berkata: “Aku datang kepada kalian, sementara kalian memiliki dua hari raya yang kalian bersenang-senang padanya pada masa jahiliyyah, sungguh Allah telah menggantikan kedunya dengan yang lebih baik darinya: hari raya idul adha dan idul fitri.” [HR. Ahmad (3/103, 178, 235), Abu Dawud (1134), an-Nasa`i (3/179), dan al-Baghowi (1098). Hadis ini sahih. Dinukil dari kitab Ahkamul ‘Idain karya Syaikh Ali bin Hasan al-Halabi, hal. 15]

Dalam sejarah Islam, tidak pernah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya merayakan hari-hari besar lain selain dua hari raya di atas. Sekiranya perayaan seperti ini baik, tentu mereka telah mendahului kita dalam mengamalkannya. Tapi nyatanya, tak satu pun dari mereka ikut-ikutan merayakannya. Dari satu sisi agama ini telah sempurna, sehingga tidak membutuhkan penambahan adanya hari raya tahunan yang ketiga. Dari sisi lainnya, bila kita melihat kepada sejarah, maka tahun masehi bukanlah miliki kaum muslimin, namun milik orang-orang kafir, yang merupakan musuh-musuh Allah. Akankah kita ikut merayakan hari yang dimiliki dan dirayakan oleh musuh-musuh Allah.

Umar bin al-Khattab radhiyallahu ‘anhu berkata:

اِجْتَنِبُوْا أَعْدَاءَ اللهِ فِي عِيْدِهِمْ

Jauhilah oleh kalian musuh-musuh Allah pada hari raya mereka. (HR. al-Baihaqi no. 18641. Lihat: Fatawa Ulama al-Haram al-Makkiy hal. 113)

LARANGAN MENGEKOR AHLUL KITAB

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لَتَتَّبِعُنَّ سَنَنَ مَنْ قَبْلَكُمْ شِبْرًا بِشِبْرٍ وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ حَتَّى لَوْ سَلَكُوْا جُحْرَ ضَبٍّ لَسَلَكْتُمُوْهُ. قُلْنَا: يَا رَسُوْلَ اللَّهِ، الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى ؟ قَالَ: فَمَنْ

Sungguh kalian benar-benar akan mengikuti kebiasaan-kebiasaan orang-orang sebelum kalian sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta, sampai-sampai bila mereka masuk ke liang dhob (hewan serupa biawak) niscaya kalian akan tetap mengikutinya. Kami berkata: Ya Rasulullah, (mereka) Yahudi dan Nashara? Siapa lagi, jawab beliau. (HR. al-Bukhari, Muslim, dll.)

Mengekor kebiasaan orang barat begitu banyak contohnya, di antaranya ialah: Mengkultuskan orang tertentu hingga dipertuhankan, tidak mau menuntut ilmu, tidak mau mengamalkan ilmu yang telah di dapat, bermuamalah dengan cara riba, dan memperingati perayaan hari-hari tertentu yang tidak ada contohnya dalam Islam seperti hari ulang tahun dan tahun baru.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ

Barang siapa yang menyerupai suatu kaum maka ia termasuk golongan mereka. [HR. Ahmad (2/50 & 92), ath-Thohawi, dll. Hadis ini sahih. dinukil dari Ahkamul ‘Idain, hlm. 82]

Allah berfirman tentang Yahudi dan Nasrani:

اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ. صِرَاطَ الَّذِيْنَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوْبِ عَلَيْهِمْ وَلاَ الضَّالِّيْنَ

Tunjukanlah kepada kami jalan yang lurus, yaitu jalannya orang-orang yang Engkau beri nikmat kepada mereka, bukan jalannya orang-orang yang dimurkai (Yahudi) dan bukan pula jalannya orang-orang yang tersesat (Nashara). (QS. al-Fatihah: 6-7)

Seandainya muslim boleh merayakan, semestinya dia berduka cita bukannya bersuka cita. Sebab, begitu banyak amalan setahun lalu yang jauh dari tuntunan syariat. Karena amalan tersebut akan dimintai pertanggung jawaban oleh Allah ta’ala. Adapun berpesta pora, bergembira ria, bersenang-senang, menghambur-hamburkan uang untuk hal yang tidak ada faedahnya sama sekali selain kepuasan jiwa, maka ini tidak sepatutnya dilakukan oleh seorang muslim.

KAMUS KEMUNGKARAN DI TAHUN BARU

Pada malam tahun baru begitu banyak kemungkaran dan kemaksiatan yang dikerjakan oleh manusia, yang kafir atau muslim yang hobi mengekor budaya kafir. Berikut di antara kerusakan, kemaksiatan, kemungkaran, dan hal-hal haram yang dikerjakan. Hanya kepada Allah semata kita memohon perlindungan dari itu semua.

1.     Menghambur-hamburkan uang

Allah ta’ala berfirman:

وَآَتِ ذَا الْقُرْبَى حَقَّهُ وَالْمِسْكِيْنَ وَابْنَ السَّبِيْلِ وَلاَ تُبَذِّرْ تَبْذِيرًْا. إِنَّ الْمُبَذِّرِيْنَ كَانُوْا إِخْوَانَ الشَّيَاطِيْنِ وَكَانَ الشَّيْطَانُ لِرَبِّهِ كَفُوْرًا

Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya, kepada orang miskin dan orang yang dalam perjalanan dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaitan dan syaitan itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya. (QS. al-Isra`: 26-27)

Ayat di atas berisi larangan berbuat boros. Kelebihan harta yang ada hendaknya disalurkan kepada fakir miskin yang berhak mendapatkannya. Adapun gambaran pemborosan dan menghambur-hamburkan uang untuk persiapan menyambut malam tahun baru di antaranya:

    * Membelanjakan uang untuk membeli mercon/petasan dan kembang api.
    * Membeli terompet tahun baru.
    * Membeli baju baru untuk merayakan tahun baru.
    * Mengadakan perjalanan ke luar kota.
    * Membeli arak dan minuman yang memabukkan.
    * Mengadakan pesta besar-besaran.
    * Modifikasi knalpot motor agar memiliki suara gaduh, dll.

Bayangkan, berapa miliar uang yang dihamburkan beberapa menit saja pada malam itu. Sekiranya uang tersebut dikumpulkan lalu dibagikan kepada fakir miskin, niscaya jauh lebih bermanfaat bagi mereka, selain mendapatkan limpahan pahala dari Allah ta’ala.

2.     Menghabiskan waktu dengan begadang tanpa faedah

Padahal dalam sebuah riwayat yang sahih disebutkan:

عَنْ أَبِيْ بَرْزَةَ الأَسْلَمِيْ أَنَّ رَسُوْلَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَكْرَهُ النَّوْمَ قَبْلَ الْعِشَاءِ وَالْحَدِيْثَ بَعْدَهَ

Dari Abu Barzakh al-Aslami bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membenci tidur sebelum Isya’ dan berbincang-bincang setelahnya. (HR. al-Bukhari & Muslim)

Ulama menjabarkan bahwa kebencian berbincang-bincang setelah isya’ tersebut tatkala tidak ada manfaatnya. Namun bila ada manfaatnya maka hal itu diperbolehkan. Sebagaimana para sahabat, tabi’in dan tabiut tabi’in dahulu pada malam hari mereka mengulangi pelajaran (muroja’ah) yang mereka dapatkan di siang hari. Mereka menyibukkan diri siang dan malam hari dengan beribadah dan menuntut ilmu.

An-Nawawi berkata di Syarah Shohih Muslim: “Sebab dibencinya pembicaraan setelah isya’ sebab bisa sampai begadang, sehingga dikhawatirkan ia akan ketiduran dari salat malam dan zikir, atau dari salat subuh pada waktu yang dibolehkan, waktu pilihan atau waktu utamanya. Demikian pula begadang malam hari menimbulkan rasa letih pada siang hatinya dari melaksanakan hak-hak agama, ketaatan dan kemaslahatan dunia.” (Syarah Sahih Muslim oleh an-Nawawi)

Beliau juga berkata: “Ulama juga berkata, pembicaraan setelah isya’ yang dibenci adalah pada hal-hal yang tidak ada maslahatnya. Adapun bila mengandung kemaslahatan dan kebaikan maka tidak dibenci, seperti mengulangi pelajaran, bercerita tentang orang-orang saleh, berbincang-bincang dengan tamu dan pengantin sekedar untuk menghiburnya, suami berbincang dengan istri dan anak-anaknya dengan berlemah-lembut atau karena ada suatu kebutuhan, berbincang dengan musafir dengan untuk menjaga barang dan dirinya, mendamaikan antara manusia (yang berselisih) dan memberi syafaat kepada mereka dalam kebaikan, amar makruf nahi munkar, memberi petunjuk kepada kebaikan dan semacamnya, kesemuanya ini tidak dibenci.” (Syarah Sahih Muslim oleh an-Nawawi)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مِنْ حُسْنِ إِسْلاَمِ الْمَرْءِ تَرْكُهُ مَا لاَ يَعْنِيْهِ

Di antara tanda kebaikan seorang muslim adalah ia meninggalkan apa-apa yang tidak bermanfaat baginya. (HR. Ahmad, at-Tirmidzi, Ibnu Majah, Malik, dll. Hadis ini sahih)

Padahal ikut merayakan tahun baru bukan sekedar tidak memberi manfaat, namun merupakan kemaksiatan dan kemungkaran. Akankah kaum muslimin sadar akan hal ini?

3.     Mengganggu ketenangan masyarakat

Sangat banyak fenomena tahun baru yang sangat mengganggu masyarakat luas. Gambaran kebisingan dan gangguan dari A sampai Z tumpah ruah pada malam itu. Di antaranya ialah:

* Suara gaduh terompet
* Suara gaduh petasan atau mercon
* Suara bising kendaraan khususnya roda dua
* Suara gaduh alat-alat musik
* Suara gaduh teriakan dan canda tawa, dll.

Selain itu, fenomena tersebut menimbulkan kemacetan hampir di seluruh sudut kota. Bayangkan, bagaimana bila pada malam itu ada seorang wanita yang akan pergi ke rumah sakit untuk melahirkan? Bagaimana pula bila ada seseorang yang dalam kondisi parah ingin di bawa ke ruang gawat darurat? Perjalanan yang semestinya hanya ditempuh sekitar 10 menit bisa molor menjadi 1 atau 2 jam. Bukankah perbuatan ini memudaratkan orang lain, dan lebih kepada egois terhadap diri sendiri? Hanya kepada Allah kita memohon pertolongan.

Bagi anda yang masih suka ikut-ikutan merayakannya, dengarkanlah baik-baik dan renungkanlah nasihat Nabimu. Iya, nasihat Nabimu yang tidak berkata melainkan dengan dasar wahyu. Bila beliau memberi nasihat, maka tentu saja kebaikan yang sangat beliau inginkan. Dengan kata lain, beliau menginginkan kemaslahatan bagi kita selaku umatnya.

Nabimu Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

الْمُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُوْنَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ

(Dinamakan) muslim sejati apabila kaum muslimin yang lainnya selamat dari gangguan lisan dan tangannya. (HR. Muslim)

Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

وَاللهِ لاَ يُؤْمِنُ، وَاللهِ لاَ يُؤْمِنُ، وَاللهِ لاَ يُؤْمِنُ، الَّذِيْ لاَ يَأْمَنُ جَارُهُ بَوَائِقَهُ

Demi Allah ia tidak beriman, demi Allah ia tidak beriman, demi Allah ia tidak beriman, yaitu orang yang tetangganya tidak merasa aman dari gangguan-gangguannya. (HR. al-Bukhari)

Bahkan Beliau bersabda:

لاَ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ مَنْ لاَ يَأْمَنُ جَارُهُ بَوَائِقَهُ

Tidak masuk surga orang yang tetangganya tidak aman dari gangguan-gangguannya. (HR. Muslim)

Realita yang ada di tengah perayaan tahun baru tersebut, hampir semuanya mengganggu orang-orang yang ada di sekitarnya yang tidak terlibat dengan perayaan tersebut.

4.     Bercampurbaurnya laki-laki dan perempuan

Untuk ikut meramaikan perayaan tahun baru, tak sedikit dari kalangan muda-mudi –bahkan mayoritas yang merayakannya adalah seumuran mereka- keluar rumah untuk jalan bareng dengan pacar masing-masing. Padahal jelas, budaya berpacaran bukanlah dari Islam. Begitu banyak penyelisihan terhadap agama yang dilakukan oleh mereka yang berpacaran. Bermuka dua, sok manis, setia dan manja di depan pacar, zina mata, zina telinga, zina hati, zina tangan, zina kaki, bahkan lebih dari itu begitu banyak muda-mudi sekarang berani ini melakukan perzinaan sesungguhnya. Wa na’udu billah min dzalik.

5.     Suara lagu dan alat musik (jampi-jampi setan) yang diharamkan

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَشْتَرِي لَهْوَ الْحَدِيْثِ لِيُضِلَّ عَنْ سَبِيْلِ اللَّهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ وَيَتَّخِذَهَا هُزُوًا أُولَئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ مُهِيْنٌ. وَإِذَا تُتْلَى عَلَيْهِ آَيَاتُنَا وَلَّى مُسْتَكْبِرًا كَأَنْ لَمْ يَسْمَعْهَا كَأَنَّ فِيْ أُذُنَيْهِ وَقْرًا فَبَشِّرْهُ بِعَذَابٍ أَلِيْمٍ

Dan di antara manusia ada orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu olok-olokan. Mereka itu akan memperoleh azab yang menghinakan. Dan apabila dibacakan kepadanya ayat-ayat Kami dia berpaling dengan menyombongkan diri seolah-olah dia belum mendengarnya, seakan-akan ada sumbat di kedua telinganya, maka berilah kabar gembira dia dengan azab yang pedih. (QS. Lukman: 6)

Al-Wahidi dan mayoritas ulama tafsir menjelaskan bahwa lahwal-hadits (perkataan tidak berguna) pada ayat di atas adalah lagu. Ini merupakan penafsiran Ibnu Abbas dan Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhuma. Demikian pula Mujahid dan Ikrimah rahimahumallah.

Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata: “Demi Allah yang tiada sesembahan selain-Nya, maksudnya adalah lagu.”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لَيَكُونَنَّ مِنْ أُمَّتِي أَقْوَامٌ يَسْتَحِلُّونَ الْحِرَ وَالْحَرِيرَ وَالْخَمْرَ وَالْمَعَازِفَ

Sungguh akan ada dari umatku beberapa kaum yang menghalalkan zina, sutera, arak, dan alat-alat musik. (HR. al-Bukhari)

Pada malam perayaan tahun baru, hampir di setiap pusat kota diadakan semacam panggung gembira, pagelaran band, lomba nge-dance, karaoke, dan lain-lain. Ditambah lagi kicauan terompet yang menyiksa telinga dan menyesakkan hati. Fenomena ini sudah sangat cukup untuk diputuskan bahwa merayakan tahun baru merupakan kemungkaran yang nyata.

6.     Minum-minuman keras, ganja, rokok, dll.

Coba lihat, tuh ada yang mojok, dengan membawa bungkusan yang tidak jelas, ternyata setelah dibuka isinya wiski, topi miring, dan minuman beralkohol lainnya. Lihat pula di sisi yang lain, tak sedikit yang nyimeng, nge-ganja, atau sekedar menyedot asap yang penuh dengan derita. Rokok adalah barometer terkecilnya, lantas bagaimana dengan barang perusak lainnya.

Ketahuilah, baik kaum muslimin maupun orang-orang kafir, telah bersepakat bahwa rokok tidak baik untuk kesehatan. Rokok mengandung banyak zat racun, bisa menyebabkan impoten, merusak janin, dan sederet penyakit lainnya. Bahkan di setiap bungkusnya tertera peringatan tersebut. Namun anehnya, mengapa mereka yang masih merokok tidak mengindahkan peringatan tersebut? Tidak pula memperhatikan lingkungan sekitarnya yang ingin menghirup segarnya udara? Wallahul musta’an.

Egois atau menuruti hawa nafsu, itulah jawabannya. Secerdas dan sepintar apapun dia, maka tetap para perokok adalah orang yang paling egois sedunia. Di angkot, di halte, di pasar, di toilet, di jalan umum, di masjid, di kantor, di sekolah di sawah, di pantai, di gunung, di tempat rekreasi, di taman kota, di ladang, di warteg, di warung kopi, di bengkel, di pos satpam, di perguruan tinggi, di kantin, dan di mana saja, sifat egois itu akan muncul. Perlu bukti? Bisa kita saksikan bersama, meskipun hanya sendiri, pasti ia tidak malu, pura-pura tidak tahu atau tidak mau tahu atau cuek bebek, dengan pede-nya ia mengeluarkan tengwe (linteng dewe) dan menghisapnya tanpa peduli kanan kiri. Kalau bukan egois, entah mau disebut apa sikap yang satu ini.

7.     Mengumbar nafsu syahwat

Disadari atau tidak oleh para wanita bahwa pada malam itu mereka telah mempertontonkan bentuk dan lekukan tubuh kepada siapa saja yang ingin melihatnya. Berbagai macam dan jenis pakaian dikenakan pada malam itu. Berwarna-warni, berbagai macam model, dan yang pasti dengan sedikit atau banyak menampakkan aurat yang dapat menggiurkan mata lelaki yang melihatnya. Belum lagi ditambah kerasnya harum parfum dari baju mereka. Entah, berapa puluh lelaki yang berdosa oleh sebab dirinya. Berapa ratus muslim taat tidak khusyuk salat karena mengingat mereka. Semoga Allah memberi petunjuk para wanita kaum muslimin agar lebih menghargai diri, sehingga Allah pun menghargai mereka pula.

Saudaraku muslimah, sudikah dirimu bila dijuluki oleh Nabimu Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai calon penghuni neraka? Beliau bersabda:

صِنْفَانِ مِنْ أَهْلِ النَّارِ لَمْ أَرَهُمَا: … وَنِسَاءٌ كَاسِيَاتٌ عَارِيَاتٌ مُمِيْلاَتٌ مَائِلاَتٌ رُءُوْسُهُنَّ كَأَسْنِمَةِ الْبُخْتِ الْمَائِلَةِ لاَ يَدْخُلْنَ الْجَنَّةَ وَلاَ يَجِدْنَ رِيْحَهَا

Dua calon penghuni neraka yang belum pernah aku melihatnya: … dan (kedua) wanita yang berpakaian namun hakikatnya telanjang, berjalan dengan sombong sambil melenggak-lenggokkan pundaknya, kepada mereka seperti punuk unta yang condong. Mereka tidak masuk surga dan tidak mencium wanginya. (HR. Muslim)

Sudikah dirimu disebut Nabimu shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai wanita pezina? Beliau bersabda:

أَيُّمَا امْرَأَةٍ اِسْتَعْطَرَتْ فَمَرَّتْ عَلىَ قَوْمٍ لِيَجِدُوْا مِنْ رِيْحِهَا فَهِيَ زَانِيَةٌ

Wanita mana saja yang memakai minyak wangi lalu melalui suatu kaum agar mereka mencium wanginya maka ia adalah wanita pezina. (hadis hasan dikeluarkan oleh an-Nasa’i, Abu Dawud, Ahmad, dll. Lihat: Jilbab al-Mar’ah al-Muslimah, hal. 137)

Tanggalkan dan tinggalkanlah pakaian yang tidak menutup sempurna auratmu itu. Gantilah dengan pakaian Islami yang dicintai Allah dan Rasul-Nya. Agar semakin bersih hati kaum lelaki dan lebih khusyuk dalam ibadah mereka. Perhatikanlah beberapa syarat pakaian syar’i bagi wanita berikut:

-Menutup seluruh tubuh kecuali muka dan telapak tangan. Bila mengenakan cadar maka itu lebih baik lagi.
-Bukan berupa pakaian perhiasan.
-Tebal dan tidak tipis transparan.
-Longgar dan tidak sempit.
-Tidak diberi wewangian.
-Tidak menyerupai pakaian laki-laki.
-Tidak menyerupai pakaian wanita non muslimah.
-Dan bukan merupakan pakaian ketenaran.

Bila pakaianmu telah memenuhi persyaratan di atas, maka semoga Allah senantiasa meluapkan rahmat-Nya kepadamu. Amin.

NASIHAT DAN RENUNGAN

Allah ta’ala berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آَمَنُوْا ادْخُلُوْا فِي السِّلْمِ كَافَّةً وَلاَ تَتَّبِعُوْا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِيْنٌ

Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam kaffah (keseluruhan), dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu. (QS. al-Baqarah: 208)

Saudaraku, ayat di atas adalah nasihat dari Allah sebagai Pencipta kita semua. Dengarkanlah, simaklah, resapilah, perhatikanlah, kemudian laksanakanlah dengan penuh tanggung jawab. Hendaknya kita masuk ke dalam agama Islam secara kaffah, tidak mengambil sebagian dan meninggalkan sebagian yang lain. Dengan demikian, semoga Allah merahmati kita semua.

KESIMPULAN

1. Dalam Islam hari raya tahunan hanya ada dua: Idul Fitri dan Idul Adha.
2. Perayaan-perayaan hari tertentu seperti ulang tahun dan tahun baru bukanlah dari Islam.
3. Perayaan tahun baru mencakup banyak kemungkaran dan kemaksiatan.
4. Larangan ikut merayakan tahun baru.
6. Kewajiban menjalankan agama Islam secara kaffah.

25 Desember 2014

Mengucapkan Selamat Natal Karena Takut Dibilang Sombong?

Dalam perdebatan tentang boleh atau tidak mengucapkan ucapan selamat natal, terkadang ada di antara kaum muslimin yang beralasan bahwa mengucapkan selamat natal boleh-boleh saja agar tidak dikatakan sombong oleh kaum nashrani. Begitupun alasan salah seorang ketua MUI seperti yang dikutip dalam artikel berikut:

MUI: Selamat Natal Boleh Diucapkan Muslim

JAKARTA (voa-islam.com) - Perdebatan mengenai ucapat selamat Hari Raya Natal oleh umat Islam pada umat Nasrani tak pernah berhenti. Sebagian muslim dan kalangan ulama menganggap ucapan tersebut haram karen bisa mengganggu akidah.

Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia Din Syamsuddin mengatakan ucapan selamat Natal tidak secara spesifik diatur dalam fatwa mereka. Din bahkan mengatakan ucapan selamat Natal boleh saja dilakukan oleh muslim.

"Selama itu tidak memengaruhi akidah muslim, maka (ucapan selamat Natal) dapat dilakukan," ujar Din saat menghadiri acara di Kompleks MPR/DPR RI, Jakarta, Selasa (23/12).

Menurut Din, ucapan selamat Natal biasa dilakukan berdasarkan rasa persahabatan dan kultur di Indonesia.

"Menurut saya, jika sekadar konteks kultural budaya sebagai refleksi persahabatan, (ucapan selamat Natal) juga dapat dilakukan," kata Ketua Umum Pengurus Pusat Muhammadiyah tersebut seperti dikutip dari CNN Indonesia, Selasa (23/12/2014) yang lalu.

Dia menegaskan, agama Islam bukanlah agama yang picik. Maka pengucapan hari raya besar agama lain tak menjadi masalah.

"Islam tidak sepicik itu. Insya Allah jika hanya konteks kultural tidak masalah," ujarnya.

Din mengatakan, secara pribadi dia selalu mengucapkan selamat hari raya besar bagi pemeluk agama lain, termasuk Natal. Dia melakukan hal tersebut semata karena aspek kultural.

"Saat Islam merayakan Idul Fitri, Vatikan mengirimkan selamat. Maka tidak mungkin saya tidak mengucapkan selamat Natal pada mereka. Nanti dikira sombong," kata Din. [voa-islam.com]

PENGERTIAN SOMBONG

Rasulullah SAW dalam hadis menjelaskan definisi sombong, Beliau bersabda:

الْكِبْرُ بَطَرُ الْحَقِّ وَغَمْطُ النَّاسِ

"Sombong  ialah tidak menerima kebenaran dan menghina sesama manusia."

Menurut Raghib Al Asfahani Ia mengatakan, “Sombong adalah keadaan seseorang yang merasa bangga dengan dirinya sendiri . Memandang dirinya lebih besar dari pada orang lain, Kesombongan yang paling parah  adalah sombong kepada Rabbnya dengan menolak kebenaran dan  angkuh untuk tunduk kepada-Nya baik berupa ketaatanataupun mengesakan-Nya”.

Dalam buku ihya’ ulumuddin Al-Ghazali nendefinisikan sombong adalah suatu sifat yang ada didalam jiwa yang tumbuh dari penglihatan nafsu dan tampak dalam perbuatan lahir.

Secara universal maka, perbuatan sombong  dapat dipahami dengan membanggakan diri sendiri, mengganggap dirinya lebih dari orang lain. perbuatan sombong dibagi beberapa tingkatan yaitu:

Pertama, Kesombongan terhadap Allah SWT, yaitu dengan cara tidak tunduk terhadap perintahnya, enggan menjalankan perintahnya

Kedua, Sombong terhadap rasul, yaitu perbuatan enggan mengkuti apa yang diajarkannya dan menganggap Rasulullah sama sebagaimana dirinya hanya manusia biasa.

Ketiga, Sombong terhadap sesama manusia dan hamba ciptaanya, yaitu menganggap dirinya lebih dari orang lain dan makhluk ciptaan Allah yang lain dengan kata lain menghina orang lain atau ciptaan Allah lainya.

Manakah kesombongan yang sesungguhnya?

Berdasarkan penjelasan diatas, dapat kita simpulkan bahwa kesombongan yang sesungguhnya adalah menolak kebenaran dan menganggap remeh manusia, bukan kesombongan karena tidak mau mengucapkan selamat terhadap hari raya orang kafir.

Telah jelas dipaparkan akan keharaman mengucapkan selamat kepada hari raya orang kafir oleh para ulama. Salah satunya adalah Fatwa Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin:

Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin yang lebih dikenal dengan Syaikh Ibnu Utsaimin atau Syaikh Utsaimin, mantan salah seorang anggota Hai'ah Kibarul Ulama (semacam MUI di Kerajaan Arab Saudi), menyatakan dengan tegas haramnya muslim mengucapkan selamat hari raya Natal kepada umat Kristiani.

“Mengucapkan selamat kepada orang-orang kafir dengan ucapan selamat Natal atau ucapan-ucapan lainnya yang berkaitan dengan perayaan agama mereka hukumnya HARAM sesuai kesepakatan ulama. Sebagaimana kutipan dari Ibnul Qayyim rahimahullaah dalam bukunya Ahkam Ahl Adz-Dzimmah, beliau menyebutkan:

“Mengucapkan selamat kepada syiar agama orang kafir adalah haram berdasarkan kesepakatan (ulama). Seperti mengucapkan selamat atas hari raya dan puasa mereka dengan mengatakan 'Ied Muharak 'Alaik (hari raya penuh berkah atasmu) atau selamat bergembira dengan hari raya ini dan semisalnya. Jika orang yang berkata tadi menerima kekufuran maka hal itu termasuk keharaman, statusnya seperti mengucapkan selamat bersujud kepada salib. Bahkan, di sisi Allah dosanya lebih besar dan lebih dimurkai daripada mengucapkan selamat meminum arak, selamat membunuh, berzina, dan semisalnya. Banyak orang yang tidak paham Islam terjerumus kedalamnya semantara dia tidak tahu keburukan yang telah dilakukannya. Siapa yang mengucapkan selamat kepada seseorang karena maksiatnya, kebid'ahannya, dan kekufurannya berarti dia menantang kemurkaan Allah.” Demikian ungkapan beliau rahimahullaah.

Syaikh Utsaimin menjelaskan alasannya, “karena di dalamnya terdapat pengakuan atas syi’ar-syi’ar kekufuran dan ridha terhadapnya walaupun dia sendiri tidak ridha kekufuran itu bagi dirinya. Kendati demikian, bagi seorang muslim diharamkan ridha terhadap syi’ar-syi’ar kekufuran atau mengucapkan selamat dengan syi’ar tersebut kepada orang lain, karena Allah Subhanahu wa Ta'ala tidak ridha terhadap semua itu.”

Maka pembolehan ucapan selamat tersebut dapat dikategorikan menolak kebenaran. Kebenaran yg telah dikaji oleh para ulama yang memiliki kapasitas keilmuan akan dalil Al-Qur'an dan Sunnah.
Begitupun orang-orang yang berfatwa akan bolehnya mengucapkan selamat atas perayaan hari besar orang kafir adalah orang-orang yang menganggap remeh pemikiran para Ulama kibar.

Maka kesombongan sebenarnya adalah menolak kebenaran akan haramnya mengucapkan selamat terhadap hari raya orang kafir, dan menganggap remeh para Ulama yang memiliki kapasitas keilmuan yang tinggi akan dalil-dalil Al-Qur'an dan Sunnah.

Wallahu A'lam

Oleh: AF. Riswanto

24 Desember 2014

Hukum Menerima Hadiah Pada Hari Raya Orang Kafir

Dalam perayaan hari raya kaum Nashrani, terkadang disertai saling memberi hadiah di antara mereka. Begitupun dalam kehidupan bermasyarakat yang kompleks, terkadang ada diantara kaum Nashrani memberikan hadiah kepada tetangga yang muslim dalam rangka perayaan hari raya tersebut. Bagaimanakah hukumnya menerima hadiah orang kafir dalam rangka hari raya mereka?

Pertanyaan di atas dapat dijawab sebagai berikut: Pertama, Pada dasarnya boleh menerima hadiah dari orang kafir untuk melunakkan hatinya dan mengajaknya masuk Islam. Sebagaimana Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam pernah menerima hadiah dari sebagian orang kafir seperti dari Muqauqis dan selainnya.

Imam al-Bukhari membuat bab dalam Shahihnya, "Bab Menerima Hadiah Dari Orang-Orang Musyrik". Beliau rahimahullah berkata, Abu Hurairah Radhiyallahu 'Anhu berkata, dari Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam: Ibrahim 'Alaihis salam berhijrah dengan Sarah lalu masuk ke dalam satu desa yang di dalamnya ada seorang raja atau penguasa lalim, lalu sang raja berkata, ‘Berikan dia (Sarah) hadiah’. Dihadiahkan kepada Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam seekor daging kambing yang sudah dibubuhi racun. Abu Humaid berkata:Raja Ailah (Palestina) memberi hadiah seekor keledai baghal putih kepada Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam dan Beliau (membalas) dengan memakaikan burdah kepada raja itu serta menetapkan baginya untuk tetap berkuasa atas negerinya."

Kedua,seorang muslim boleh memberi hadiah kepada orang kafir atau musyrik dengan tujuan untuk menta'lif (melunakkan) hatinya dan menarik minatnya masuk Islam. Terlebih jika ia masih kerabat atau tetangga. Umar bin Khathab pernah memberikan hadiah sebuah baju kepada saudaranya yang musyrik semasa di Makkah." (HR. Al-Bukhari, no. 2619)

Tetapi tidak boleh memberikan hadiah kepada orang kafir pada salah satu dari hari besar mereka, karena hal itu terhitung sebagai bentuk pengakuan dan kerja sama (ikut serta) dalam perayaan hari besar yang batil. Dan apabila hadiah itu berupa sesuatu yang digunakan untuk perayaan seperti makanan, lilin, dan semisalnya maka keharamannya tentu lebih besar. Sehingga sebagian ulama menghukuminya sebagai perbuatan kufur.

Imam Zaila'i al-Hanafi berkata dalam Tabyin al-Haqaiq (6/228): "Dan memberi (hadiah) dengan nama Nairuz dan Festifalnya itu tidak boleh. Maksudnya: hadiah-hadiah

Abu Hafs al-Kabir rahimahullah berkata: 'Kalau ada seseorang beribadah kepada Allah 50 tahun, lalu ia datang pada perayaan hari Nairuz dan memberikan hadiah satu telur kepada sebagian orang musyrik dengan tujuan mengagungkan hari tersebut, maka sungguh ia telah kafir dan terhapus semua amalnya.'

Pengarang al-Jami' al-Asghar berkata: 'Jika seorang muslim memberikan hadiah kepada muslim lainnya pada hari Nairuz, bukan berniat mengagungkan hari tersebut, tetapi sebatas kebiasaan pada sebagian masyarakat, maka ia tidak kafir. Tetapi selayaknya ia tidak melakukannya dengan menghususkan hari tersebut. Ia melakukannya sehari sebelumnya atau sesudahnya supaya tidak menyerupai (tradisi) kaum tersebut. Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam telah bersabda: 'Siapa yang menyerupai suatu kaum maka ia bagian dari mereka.'

Ia berkata lagi dalam al-Jami' al-Asghar: Ada seorang laki-laki membeli sesuatu pada hari Nairuz yang tak pernah membelinya sebelum itu. Maka jika ia bertujuan mengagungkan hari tersebut sebagaimana kaum musyrikin mengagungkannya, ia telah kafir. Jika ia berniat sebatas untuk makan, minum, dan bersenang-senang dengannya maka ia tidak kafir.)" selesai.

Disebutkan dalam kitab Mazhab Maliki, al-Taj wa al-Iklil (4/319): Ibnul Qasim tidak menyukai memberikan hadiah kepada orang Nashrani pada hari rayanya sebagai bentuk balas budi, dan yang semisalnya adalah memberikan hadiah daun kurma kepada orang Yahudi karena hari rayanya." Selesai.

Disebutkan lagi dalam al-Iqna' (kitab mazhab Hambali): "Dan diharamkan menyaksikan/menghadiri hari raya Yahudi dan Nashrani dan berjualan kebutuhan mereka di dalamnya serta memberikan hadiah kepada mereka karena hari rayanya." Selesai.

Bahkan seorang muslim tidak dibolehkan memberikan hadiah kepada muslim lainnya karena hari raya tersebut, sebagaimana yang telah disebutkan dalam pendapat ulama Hanafi.

. . . tidak boleh memberikan hadiah kepada orang kafir pada salah satu dari hari besar mereka, karena hal itu terhitung sebagai bentuk pengakuan dan kerja sama (ikut serta) dalam perayaan hari besar yang batil . . .

Ketiga, adapun menerima hadiah dari orang kafir pada hari rayanya, maka tidak apa-apa. Itu tidak terkategori ikut serta dan mengakui perayaan tersebut. Tapi diterima atas dasar berbuat baik, melunakkan hatinya dan mendakwahinya untuk masuk Islam. Allah Ta'ala membolehkan berbuat baik dan adil terhadap orang kafir yang tidak memerangi kaum muslimin daam firman-Nya,

لَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ أَنْ تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ

"Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada emerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil." (QS. Al-Mumtahanah: 8)

Tetapi berbuat baik dan adil tidak berarti berkasih sayang dan mencintai. Karena tidak boleh mencintai dan berkasih sayang dengan orang kafir serta tidak menjadikannya sahabat dan teman dekat. Allah Ta'ala berfirman,

"Kamu tidak akan mendapati sesuatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara atau pun keluarga mereka. Mereka itulah orang-orang yang Allah telah menanamkan keimanan dalam hati mereka dan menguatkan mereka dengan pertolongan yang datang daripada-Nya. Dan dimasukkan-Nya mereka ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. Allah rida terhadap mereka dan mereka pun merasa puas terhadap (limpahan rahmat) Nya. Mereka itulah golongan Allah. Ketahuilah, bahwa sesungguhnya golongan Allah itulah golongan yang beruntung." (QS. Al-Mujadilah: 22)

"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil musuh-Ku dan musuhmu menjadi teman-teman setia yang kamu sampaikan kepada mereka (berita-berita Muhammad), karena rasa kasih sayang; padahal sesungguhnya mereka telah ingkar kepada kebenaran yang datang kepadamu. . . ." (QS. Al-Mumtahanah: 1)

"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu ambil menjadi teman kepercayaanmu orang-orang yang di luar kalanganmu (karena) mereka tidak henti-hentinya (menimbulkan) kemudaratan bagimu. Mereka menyukai apa yang menyusahkan kamu. Telah nyata kebencian dari mulut mereka, dan apa yang disembunyikan oleh hati mereka lebih besar lagi. Sungguh telah Kami terangkan kepadamu ayat-ayat (Kami), jika kamu memahaminya." (QS. Ali Imran: 118)

Allah 'Azza wa Jalla berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى أَوْلِيَاءَ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ إِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ

"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin (mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barang siapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang dzalim." (QS. Al Maidah: 51)

وَلا تَرْكَنُوا إِلَى الَّذِينَ ظَلَمُوا فَتَمَسَّكُمُ النَّارُ وَمَا لَكُمْ مِنْ دُونِ اللَّهِ مِنْ أَوْلِيَاءَ ثُمَّ لا تُنْصَرُونَ

"Dan janganlah kamu cenderung kepada orang-orang yang zalim yang menyebabkan kamu disentuh api neraka, dan sekali-kali kamu tiada mempunyai seorang penolong pun selain daripada Allah, kemudian kamu tidak akan diberi pertolongan." (QS. Hudd: 113) dan masih banyak lagi dalil-dalil lain yang mengharamkan berkasih saying dan berkawan karib dengan orang kafir sebagai.

Syaikhul Islam al-Harrani berkata, "Adapun menerima hadiah dari mereka pada hari raya mereka maka telah kami jelaskan riwayat dari Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu 'Anhu, dibawakan hadiah Nairuz (tahun baru Persia) kepadanya, lalu ia menerimanya."

Diriwayatkan dari Ibnu Abi Syaibah, ada seorang wanita yang meminta kepada Aisyah. Ia berkata, "Pada kami ada wanita-wanita yang menyusui dari kalangan Majusi, mereka memiliki hari raya, lalu mereka memberikan hadiah kepada kami. Maka Aisyah menjawab: Adapun yang dsiembelih untuk acara hari tersebut maka janganlah kalian memakannya. Tetapi makanlah dari hasil tanaman mereka."

Dari Abu Barzah, ia memiliki tetangga orang-orang Majusi, mereka memberikan hadiah kepadanya pada hari Nairuz dan festifal mereka. Kemudian ia berkata kepada keluarganya: 'Jika berbentuk buah-buahan, maka makanlah. Dan yang selain itu maka jangan kalian memakannya.'

Semua ini menunjukkan tidak apa-apa menerima hadiah dari orang-orang kafir pada hari raya mereka yang tidak memiliki pengaruh terhadap perayaan hari raya mereka. Bahkan pada dasarnya, menerima hadiah dari mereka sama saja, baik pada saat hari raya mereka atau bukan, karena dalam menerima hadiah tidak ada unsur menolong mereka atas kemeriahan syiar-syiar kekafiran mereka. Hanya saja Ibnu Taimiyah memperingatkan, sembelihan ahli kitab pada dasarnya halal, kecuali apa yang mereka sembelih untuk perayaan hari rayanya, maka tidak boleh memakanya. Beliau berkata, "Sesungguhnya boleh memakan makanan ahli kita pada hari raya mereka, baik dengan jual-beli, hadiah, atau lainnya selain yang mereka sembelih untuk hari raya." (al-Iqtidha': 1/251)

Kemudian beliau menyebutkan riwayat dari Imam Ahmad yang berpendapat, tidak halal memakannya walau tidak disebut nama selain Allah Ta'ala atasnya. Beliau rahimahullah juga menguatkan kesimpulannya tersebut pada riwayat yang berasal dari Aisyah dan Abdullah bin Umar.

Pada ringkasnya, boleh menerima hadiah dari tetangga yang Nashrani pada hari raya mereka dengan beberapa syarat:

Pertama, hadiah ini tidak berupa sembelihan (daging hewan) yang disembelih untuk merayakan hari raya tersebut.

Kedua, hadiah tersebut tidak termasuk yang digunakan untuk bertasyabbuh pada hari raya mereka, seperti lilin, pakain sinterklaus, trompet, dan asesoris natal lainnya.

Ketiga, hendaknya dijelaskan kepada anggota keluarga muslim hakikat aqidah al-wala' dan bara' sehingga tidak tertanam rasa cinta terhadap hari raya ini atau berharap hadiah dari orang Kristen saat natal.

Keempat, dalam menerima hadiah harus diniatkan untuk melunakkan hatinya dan membuat ia tertarik kepada Islam, bukan karena cinta dan sayang kepada mereka.

Kelima, dalam menolak hadiah yang tidak boleh diterima harus disertakan penjelasan sebab menolaknya. Seperti disampaikan, kami menolak hadiah Anda karena itu berupa sembelihan yang dipotong untuk perayaan Natal, dan ini tidak halal bagi kami. Atau dengan mengatakan, yang berhak menerima ini adalah orang yang ikut dalam perayaan, sedangkan kami tidak merayakan hari raya ini, ini tidak diperintahkan dalam agama kami, ini bersinggungan dengan masalah keyakinan yang tidak dibenarkan dalam agama kami dan semisalnya yang bisa menjadikan masukan kepadanya sebagai bagian dakwah kepada Islam. Dan seorang muslim wajib berbangga dan merasa mulia dengan agamanya, menerapkan ajarannya, tidak boleh malu menyampaikan kebenaran agamanya atau berpura-pura menganggap baik agama selainnya. Karena, kepada Allah Ta'ala seharunya kaum muslimin itu malu. Wallahu Ta'ala A'lam.

23 Desember 2014

Bolehkah Mengucapkan Selamat Natal? (Bantahan Terhadap Dr. Yusuf Al-Qardhawi)

Bantahan untuk al Qardhawi yang membolehkan ucapan selamat hari raya kepada orang kafir
Oleh Syeikh Abdullah bin Umar al Adni

بسم الله الرحمن الرحيم
مقدمة
الحمد لله الذي جعل في كل زمان فترة من الرسل بقايا من أهل العلم يدعون من ضلَّ إلى الهدى ويصبرون منهم على الأذى , يحيون بكتاب الله الموتى ويبصّرون بنور الله أهل العمى فكم من قتيلٍ لإبليس قد أحيوه وكم ضالٍّ تائه قد هدوه فما أحسن أثرهم على الناس وأقبح أثر الناس عليهم كما قال تعالى {وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَّسُولاً أَنِ اعْبُدُواْ اللّهَ وَاجْتَنِبُواْ الطَّاغُوتَ فَمِنْهُم مَّنْ هَدَى اللّهُ وَمِنْهُم مَّنْ حَقَّتْ عَلَيْهِ الضَّلالَةُ فَسِيرُواْ فِي الأَرْضِ فَانظُرُواْ كَيْفَ كَانَ عَاقِبَةُ الْمُكَذِّبِينَ * إِن تَحْرِصْ عَلَى هُدَاهُمْ فَإِنَّ اللّهَ لاَ يَهْدِي مَن يُضِلُّ وَمَا لَهُم مِّن نَّاصِرِينَ} (36-37) سورة النحل

Segala puji itu hanya menjadi hak Allah. Dialah zat yang memunculkan para ulama yang masih saja tersisa di setiap zaman yang kekosongan rasul. Para ulama tersebut mendakwahi orang yang tersesat kepada hidayah dan mereka bersabar atas berbagai gangguan. Mereka hidupkan dengan kitab Allah orang-orang yang hatinya sudah mati. Mereka perlihatkan cahaya Allah kepada orang yang buta mata hatinya. Betapa banyak korban Iblis yang berhasil mereka selamatkan. Berapa banyak orang yang tersesat dan bingung berhasil mereka tunjuki jalan yang benar. Betapa bagus pengaruh mereka di tengah-tengah manusia dan betapa jelek balasan manusia terhadap mereka. Sebagaimana firman Allah yang artinya, “Dan sungguhnya Kami telah mengutus Rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): “Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thaghut itu”. Maka di antara umat itu ada orang-orang yang diberi petunjuk oleh Allah dan ada pula di antaranya orang-orang yang telah pasti kesesatan baginya. Maka berjalanlah kamu dimuka bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang mendustakan (rasul-rasul). Jika kamu sangat mengharapkan agar mereka dapat petunjuk, maka sesungguhnya Allah tiada memberi petunjuk kepada orang yang disesatkan-Nya, dan sekali-kali mereka tiada mempunyai penolong” (QS al Nahl:36-37).

ينفون عن كتاب الله تحريف الغالين وانتحال المبطلين وصلى الله وسلم على نبينا محمد وعلى آله وصحبه وسلم خير من دعا إلى الهدى وردَّ الباطل والردى القائل { يحمل هذا العلم من كل خلف عدوله ينفون عنه تحريف الغالين وانتحال المبطلين وتأويل الجاهلين } “حديث حسن ذكره الخطيب في (شرف أصحاب الحديث) عن جماعة من الصحابة ”

Para ulamalah yang mengingkari penyelewengan makna al Qur’an yang dilakukan oleh orang-orang yang berlebih-lebihan dan pemalsuan yang dibuat oleh para pembela kebatilan. Semoga Allah menyanjung dan memberi keselamatan kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan seluruh para sahabatnya. Beliau adalah sebaik-baik orang yang mengajak kepada hidayah dan membantah kebatilan yang hina. Beliaulah yang mengatakan, “Ilmu agama ini akan selalu dipikul oleh orang-orang yang terbaik dari setiap generasi. Mereka mengingkari otak-atik yang dilakukan oleh orang-orang yang melampaui batas, kepalsuan yang dibuat oleh para pembela kebatilan dan tafsir asal-asalan yang dilakukan oleh orang-orang yang bodoh”.

Hadits ini derajatnya hasan dan disebutkan oleh al Khatib al Baghdad dalam buku beliau Syaraf Ashhabul Hadits dari sejumlah sahabat.

, هؤلاء الغالين والمبطلين والجاهلين الذين عقدوا ألوية البدعة وأطلقوا عقال الفتنة وهم مختلفون في الكتاب مخالفون للكتاب مجمعون على مفارقة الكتاب يقولون على الله وفي الله وفي كتاب الله بغير علم يتكلمون بالمتشابه من الكلام ويخدعون جهَّال الناس بما يشبَّهون عليهم فنعوذ بالله من فتن الضالين المضلين .

Mereka orang-orang yang berlebih-lebihan, pembela kebatilan dan orang-orang bodohlah yang mengibarkan bendera bid’ah dan menebar kesesatan. Mereka sendiri berselisih pendapat dalam memahami al Qur’an, menyelisihi ajaran al Qur’an dan bersepakat untuk meninggalkan ajaran al Qur’an. Mereka berkata-kata tentang Allah dan atas nama Allah serta tentang kitab Allah tanpa ilmu. Mereka berbicara dengan kalimat-kalimat rancu dan mereka menipu manusia yang bodoh dengan kerancuan pemahaman yang mereka sisipkan dalam kata-kata mereka.

Kita berlindung kepada Allah dari penyesatan yang dilakukan oleh orang-orang yang sesat dan menyesatkan.

وصدق النبي صلى الله عليه وسلم إذ يقول ( إن الله لا يقبض هذا العلم انتزاعاً ينتزعه من صدور الناس ولكن بقبض العلماء حتى إذا لم يبقِ عالماً اتخذ الناس رؤوساً جهالاً فأفتوا بغير علم فضلوا وأضلوا ) رواه البخاري ومسلم عن عبد الله بن عمرو رضي الله عنهما .

Sungguh benar yang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam katakan, “Sesungguhnya Allah itu tidak akan mencabut ilmu agama dengan seketika dari dada manusia, namun dengan cara mematikan orang-orang yang berilmu. Sehingga jika Allah tidak lagi menyisakan seorang pun yang berilmu maka manusia mengangkat para pemimpin dalam agama dari kalangan orang-orang yang bodoh. Para pemimpin tersebut mengeluarkan fatwa tanpa ilmu. Mereka sesat dan menyesatkan orang lain” (HR Bukhari dan Muslim dari Abdullah bin Amr).

ومن هؤلاء الذين أضلوا الناس يوسف القرضاوي الذي كثرت فتاواه المخالفة لنصوص الكتاب والسنة وفهم سلف الأمة وتتابعت آراءه العقلانية وانتشرت مواقفه بما يخدم أعداء المسلمين ويُذهب جمال وصفاء هذا الدين , ومن تلك الضلالات فتوى له يجيز فيها تهنئة الكفار من اليهود والنصارى في أعيادهم .

Di antara yang menyesatkan banyak manusia adalah Yusuf al Qardhawi yang memiliki banyak fatwa yang menyelisihi dalil dari al Qur’an dan sunah dengan pemahaman salaf. Silih berganti munculnya pendapat-pendapatnya yang lebih mengedepankan akal dan tersebarlah berbagai sikap-sikapnya yang malah menguntungkan musuh-musuh kaum muslimin dan menghilangkan indah dan jernihnya agama ini. Di antara kesesatan tersebut adalah fatwanya yang memperbolehkan mengucapkan selamat hari raya kepada orang kafir baik Yahudi ataupun Nasrani.

وذلك حين أجاب عن سؤال نصه : ماهي حدود التعامل مع النصارى وما حكم تهنئتهم في أعيادهم ؟ فأجاب بكل جرأة معارضاً لنصوص الكتاب والسنة وأقوال سلف الأمة وكلام أهل العلم المتواتر من أهل التفسير والحديث والفقه فلا حياء من الله ولا من خلقه

Fatwa tersebut muncul ketika beliau menjawab sebuah pertanyaan sebagai berikut, “Apa saja batasan interaksi dengan orang-orang Nasrani dan apa hukum mengucapkan selamat hari raya kepada mereka?”. Dengan penuh kelancangan beliau memberi jawaban yang bertolak belakang dengan berbagai dalil dari al Qur’an dan sunah, perkataan para ulama salaf dan perkataan para ulama yang demikian banyak dari ahli tafsir, hadits dan fiqh. Sungguh tidak ada rasa malu terhadap Allah dan terhadap manusia.

,فيقول  ( ولذلك لا مانع من تهنئتهم بأعيادهم ) بل ويستدل على ذلك كذباً وزوراً ( ويراجع فتواه في موقع إسلام أون لاين  ) .

Jawaban beliau, “Oleh karena itu tidak mengapa mengucapkan selamat hari raya kepada mereka”. Bahkan lebih parah lagi beliau mencari-cari dalil untuk mendukung pernyataan tersebut dengan kedustaan dan kepalsuan. Fatwa beliau bisa dilihat di situs Islamonline.

فننبه أولاً أن الواجب على المسلم أن يستسلم لدين الله Y الذي أنزله إلى خلقه وأمرهم به ولا يقبل منهم سواه وهو دين الإسلام كما قال تعالى {وَمَن يَبْتَغِ غَيْرَ الإِسْلاَمِ دِينًا فَلَن يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ} (85) سورة آل عمران .

Perhatikanlah, kewajiban seorang muslim adalah tunduk terhadap aturan Allah yang telah Allah turunkan kepada makhluknya dan Allah perintahkan makhluk untuk mengamalkannya. Allah tidak menerima agama selain agama tersebut. Itulah agama Islam sebagaimana firman Allah yang artinya, “Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, Maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu)daripadanya, dan Dia di akhirat Termasuk orang-orang yang rugi” (QS Ali Imran:85).

والإسلام هو كل ما دُعيَ الناس إليه مما في كتاب ربنا وما في صحيح سنة نبينا r بفهم سلف هذه الأمة الصالحين كما قال تعالى {اتَّبِعُواْ مَا أُنزِلَ إِلَيْكُم مِّن رَّبِّكُمْ وَلاَ تَتَّبِعُواْ مِن دُونِهِ أَوْلِيَاء قَلِيلاً مَّا تَذَكَّرُونَ} (3) سورة الأعراف .

Islam adalah segala yang didakwahkan kepada manusia dan hal tersebut ada dalam al Qur’an atau terdapat dalam hadits yang sahih dengan pemahaman salaf shalih sebagaimana firman Allah yang artinya, “Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu dan janganlah kamu mengikuti pemimpin-pemimpin selain-Nya. Amat sedikitlah kamu mengambil pelajaran (daripadanya)” (QS al A’raf:3).

وكما قال تعالى {فَإِنْ آمَنُواْ بِمِثْلِ مَا آمَنتُم بِهِ فَقَدِ اهْتَدَواْ وَّإِن تَوَلَّوْاْ فَإِنَّمَا هُمْ فِي شِقَاقٍ فَسَيَكْفِيكَهُمُ اللّهُ وَهُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ } (137) سورة البقرة

“Maka jika mereka beriman kepada apa yang kamu telah beriman kepadanya, sungguh mereka telah mendapat petunjuk; dan jika mereka berpaling, Sesungguhnya mereka berada dalam permusuhan (dengan kamu). Maka Allah akan memelihara kamu dari mereka. dan Dia-lah yang Maha mendengar lagi Maha mengetahui” (QS al Baqarah:137).

وقال تعالى { الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الإِسْلاَمَ دِينًا}(3) سورة المائدة .

“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu Jadi agama bagimu” (QS al Maidah:3).

فلا عقيدة إلا عقيدة الإسلام ولا عبادة إلا عبادة الإسلام ولا منهاج إلا منهاج الإسلام ولا خُلق إلا خُلق الإسلام , فلا يجوز لمسلم بعد ذلك المعارضة بعاطفة أو عقل أو ذوق أو رأي بل الواجب الاستسلام التام كما قال تعالى {فَلاَ وَرَبِّكَ لاَ يُؤْمِنُونَ حَتَّىَ يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لاَ يَجِدُواْ فِي أَنفُسِهِمْ حَرَجًا مِّمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُواْ تَسْلِيمًا} (65) سورة النساء,

Tidak ada akidah yang benar melainkan akidah Islam. Tidak ada ibadah yang benar melainkan ibadah yang diajarkan oleh Islam. Tidak ada jalan hidup yang benar melainkan jalan yang diajarkan oleh Islam. Tidak ada akhlak mulia melainkan akhlak yang diajarkan oleh Islam. Tidak boleh bagi seorang muslim untuk membantah ajaran Islam dengan perasaan, akal pikiran, rasa dan pendapat siapapun. Kewajiban seorang muslim adalah tunduk total kepada ajaran Islam sebagaimana firman Allah yang artinya, “Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya” (QS an Nisa’:65).

ولا نكون من المنافقين الذين من خُلقهم الإعراض عن دين الله كما قال تعالى {وَإِذَا قِيلَ لَهُمْ تَعَالَوْاْ إِلَى مَا أَنزَلَ اللّهُ وَإِلَى الرَّسُولِ رَأَيْتَ الْمُنَافِقِينَ يَصُدُّونَ عَنكَ صُدُودًا}(61) سورة النساء.

Janganlah kita meniru orang-orang munafik yang memiliki karakter berpaling dari agama Allah sebagaimana firman Allah yang artinya, “Apabila dikatakan kepada mereka, “Marilah kamu (tunduk) kepada hukum yang Allah telah turunkan dan kepada hukum Rasul”, niscaya kamu lihat orang-orang munafik menghalangi (manusia) dengan sekuat-kuatnya dari (mendekati) kamu” (QS an Nisa’:61).

وننبه ثانياً : بأنه لا يجوز للمسلم معارضة الشرع بعقله ورأيه فإنه سبب لفساد الدين والدنيا ,

Yang kedua, tidak boleh bagi seorang muslim untuk menentang syariat dengan akal dan pendapatnya karena sikap inilah yang menyebabkan rusaknya agama dan dunia.

قال ابن القيم رحمه الله ( وكل من له مسكة من عقل يعلم أن فساد العالم وخرابه إنما نشأ من تقديم الرأي على الوحي ومن أعظم معصية العقل اعراضه عن كتاب الله ووحيه الذي هدى به رسله والمعارضة بينه وبين كلام غيره فأي فساد أعظم من فساد هذا العقل )

Ibnul Qoyyim mengatakan, “Dan semua orang yang masih memiliki sedikit akal sangat sadar bahwa kerusakan dan kehancuran alam semesta itu disebabkan mendahulukan akal pikiran dari pada wahyu. Di antara maksiat terbesar yang dilakukan oleh akal adalah berpalingnya akal dari kitab Allah dan wahyu-Nya padahal wahyu adalah alat yang dipergunakan oleh para rasul untuk membimbing manusia. Demikian pula termasuk maksiat akal adalah mempertentangkan wahyu dengan ucapan manusia. Kerusakan apakah yang lebih parah dibandingkan kerusakan akal semacam ini”.

وعن ابن عباس t إنما هو كتاب الله وسنة رسوله r فمن قال بعد ذلك برأيه فلا ندري أفي حسناته يجد ذلك ام في سيئاته )

Dari Ibnu Abbas, beliau mengatakan, “Dalil dalam agama itu hanya kitab Allah dan sunah Rasul-Nya. Barang siapa yang berkata dengan akal pikiran setelah adanya dalil maka kami tidak tahu apakah hal tersebut akan dia jumpai dalam catatan kebaikannya atau dalam catatan dosanya”.
ومن هؤلاء الذين يعارضون الدين بالعقل القرضاوي وشيوخه فهي سلسلة من مشايخ أهل الرأي والبدعة ينقل بعضهم عن بعض

Di antara orang yang mempertentangkan agama dengan akal adalah al Qardhawi dan guru-gurunya yang merupakan rangkaian guru-guru ahli bid’ah dan orang-orang yang mendahulukan akal pikirannya. Sebagian mereka sekedar mengutip pendapat yang lain.

ومن ذلك إعراضه عن حديث النبي r { أبي وأبوك في النار } رواه مسلم عن أنس t . قال القرضاوي: بعده في كتابه ” كيف نتعامل مع السنة 97-98″ ( ما ذنب عبدالله بن عبد المطلب حتى يكون في النار ) وقال عنده ( ما ذنب أبي الرجل السائل والظاهر أن أباه مات قبل الإسلام لهذا توقفت في الحديث حتى يظهر لي شيء يشفي الصدر أما شيخنا الشيخ محمد الغزالي فقد رفض الحديث صراحة …)

Di antara penyimpangannya adalah sikap berpalingnya dari hadits, “Ayahku dan ayahmu itu di neraka” (HR Muslim dari Anas). Setelah membawakan hadits ini di bukunya “Kaifa Nata-‘amal Ma’a al Sunah” hal 97-98 beliau mengatakan, “Apa dosa Abdullah bin Abdul Muthallib sehingga dia di neraka?”. Beliau juga mengatakan, “Apa dosa yang dimiliki oleh ayah si penanya padahal kemungkinan besar ayahnya itu meninggal sebelum datangnya Islam. Oleh karena itu aku tidak berani mengambil sikap terhadap hadits tersebut sampai kujumpai penjelasan yang memuaskan. Sedangkan guru kami Syeikh Muhammad al Ghazali telah menolak hadits tersebut dengan terang-terangan”.

فانظر رحمك الله إلى هذه العقيدة الصوفية والطريقة البدعية فقد جعل العقل هو الأصل فما قبله فهو مقبول وما لم يقبله فهو مردود ولا يخفى على مسلم فساد هذا القول

Perhatikanlah- semoga Allah melimpahkan rahmat-Nya kepadamu- akidah sufi dan cara beragama bid’ah yang ada dalam sikap beliau terhadap hadits ini yaitu menjadikan akal sebagai tolak ukur. Semua yang diterima akal itulah perkataan yang diterima. Sedangkan segala yang ditolak oleh akal maka itulah perkataan yang tertolak. Setiap muslim tentu sadar betapa berbahayanya prinsip beragama semacam ini.

ورضي الله عن علي إذ يقول ( لو كان الدين بالرأي لكان مسح أسفل الخف أولى من أعلاه ) .

Semoga Allah melimpahkan ridho-Nya kepada Ali yang pernah mengatakan, “Seandainya dasar dalam beragama adalah akal pikiran tentu lebih layak mengusap bagian bawah sepatu dari pada bagian atasnya”.

ومن هذا القبيل فتوى القرضاوي الزائغة في جواز تهنئة الكفار في أعيادهم معرِضاً وغير مبالي بالأدلة الكثيرة من الكتاب والسنة وأقوال سلف الأمة وكلام أهل العلم المتواتر من أهل التفسير والحديث والفقه ما كان إجماعاً لايجوز الخروج عنه ومخالفته .

Di antara perkataan al Qardhawi yang menyimpang adalah fatwa beliau yang menyimpang tentang bolehnya memberikan ucapan selamat hari raya kepada orang kafir. Dengan fatwa ini, beliau tidak ambil pusing dan tidak peduli dengan berbagai dalil yang banyak berupa ayat al Qur’an, sunah, perkataan para ulama salaf dan perkataan para ulama yang sangat banyak baik dari kalangan pakar tafsir, hadits maupun fiqh. Bahkan hal ini telah menjadi ijma ulama yang kita tidak boleh keluar dan menyelisihinya.

فمن أدلة الكتاب الكثيرة  قول الله تعالى {وَالَّذِينَ لَا يَشْهَدُونَ الزُّورَ وَإِذَا مَرُّوا بِاللَّغْوِ مَرُّوا كِرَامًا} (72) سورة الفرقان

Di antara dalil berupa ayat al Qur’an yang sebenarnya banyak adalah firman Allah yang artinya, “Dan orang-orang yang tidak menyaksikan kebatilan dan jika mereka melewati sesuatu yang sia-sia mereka lewat sebagaimana layaknya orang-orang yang mulia” (QS al Furqon:72).

, وعن ابن عباس و مجاهد والربيع بن أنس وعكرمة والضحاك  قالوا هو ( أعياد المشركين ) رواها الخلال في جامعه ونحوه ابن جرير و القرطبي في تفسيريهما وأبو الشيخ الأصبهاني

Ibnu Abbas, Mujahid, ar Rabi’ bin Anas, Ikrimah dan al Dhahhak mengatakan bahwa yang dimaksud dengan azzuur atau kebatilan adalah hari raya orang-orang musyrik. Keterangan para pakar tafsir di atas diriwayatkan dengan bersanad oleh al Khallal dalam kitabnya al Jami’. Riwayat-riwayat serupa juga dibawakan oleh Ibnu Jarir dan al Qurthubi dalam kitab tafsir keduanya. Demikian pula Abu Syaikh al Ashfahani.

وعن عمرو بن مرة (لا يشهدون الزور قال لا يمالئون أهل الشرك على شركهم ولا يخالطونهم ) ونحوه عن عطاء بن يسار والتهنئة من الممالئة.

Dari Amr bin Murrah tentang makna ayat, “Mereka itu tidak ikut menyaksikan kebatilan” adalah “Mereka tidak memberi dukungan kepada pelaku kemusyrikan ketika mereka melakukan kemusyrikan dan tidak pula berbaur bersama mereka ketika itu”. Penjelasan serupa juga disampaikan oleh Atha bin Yasar. Ucapan selamat hari raya itu termasuk dukungan.

ومن السنة الكثيرة ما رواه أبو داود وغيره بإسناد حسن عن أنس رضي الله عنه قال قدم رسول الله r المدينة ولهم يومان يلعبون فيهما فقال ما هذان اليومان قالوا كنا نلعب فيهما في الجاهلية فقال رسول الله r { إن الله قد أبدلكم بهما خيراً منهما يوم الأضحى ويوم الفطر }

Di antara dalil dari sunah adalah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud dan yang lainnya dengan sanad yang berkualitas hasan dari Anas. Anas mengatakan bahwa ketika Rasulullah tiba di kota Madinah penduduk Madinah memiliki dua hari raya yang mereka isi dengan berbagai permainan. Nabi bertanya, “Dua hari apa ini?”. Mereka menjawab, “Kami biasa bermain pada dua hari ini di masa jahiliyyah”.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Allah telah mengganti dua hari tersebut dengan dua hari yang lebih baik yaitu Idul Adha dan Idul Fitri”.

وقد أبطل النبي r كل الأعياد إلا هذين العيدين , فكيف يهنى الكفار في أعياد باطلة.

Dalam hadits ini Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menghapus semua bentuk hari raya selain dua hari raya Islam lalu bagaimana mungkin diperbolehkan mengucapkan selamat hari raya kepada orang kafir berkenaan dengan hari raya mereka yang telah dihapus oleh Islam.

ومن كلام السلف ما سبق من تفسير الآية وفي كتاب عمر t إلى أهل الذمة الذي تلقته الأمة بالقبول فهو إجماع المسلمين الأولين والآخرين وهو قول الخليفة الثاني من الخلفاء الراشدين وفيه نهي أهل الذمة عن إظهار شيء من أعيادهم وانظر إلى تعليق وشرح الإمام ابن القيم رحمه الله له في أحكام أهل الذمة (2/659)  .

Di antara perkataan para ulama salaf dalam masalah ini adalah para salaf yang menafsirkan ayat di atas. Demikian pula surat Umar untuk para kafir dzimmi yang telah diterima oleh seluruh umat Islam sehingga isi surat Umar tersebut adalah ijma seluruh kaum muslimin baik yang hidup di masa silam ataupun masa sesudahnya. Surat tersebut adalah perkataan khalifah kedua dari empat khulafaur rasyidin. Di antara isi surat tersebut adalah larangan bagi kafir dzimmi untuk menampakkan syiar hari rayanya. Bacalah penjelasan dan komentar Imam Ibnul Qoyyim untuk surat Umar tersebut di buku beliau, Ahkam Ahli Dzimmah 2/659.

وعن عمر t قال ( اجتنبوا أعداء الله في عيدهم ) رواه البيهقي باب كراهة الدخول على أهل الذمة في كنائسهم والتشبه بهم يوم نيروزهم ومهرجانهم بإسناده عن البخاري صاحب الصحيح يصل به إلى عمر t .
والنيروز :عيد القبط في مصر وهو أول يوم في السنة القبطية ويسمى بيوم ( شم النسيم ) .

Umar berkata, “Jauhilah orang-orang kafir saat hari raya mereka” [Diriwayatkan oleh al Baihaqi di bawah judul bab ‘terlarangnya menemui orang kafir dzimmi di gereja mereka dan larangan menyerupai mereka pada hari Nairuz dan perayaan mereka’ dengan sanadnya dari al Bukhari, penulis kitab Sahih Bukhari sampai kepada Umar].

Nairuz adalah hari raya orang-orang qibthi yang tinggal di Mesir. Nairuz adalah tahun baru dalam penanggalan orang-orang qibthi. Hari ini disebut juga Syamm an Nasim.

فإذا أُمِرَنا بإجتناب أعيادهم ومُنِعُوا من إقامة أعيادهم فكيف يجوز تهنئتهم !!!.

Jika kita diperintahkan untuk menjauhi hari raya orang kafir dan dilarang mengadakan perayaan hari raya mereka lalu bagaimana mungkin diperbolehkan untuk mengucapkan selamat hari raya kepada mereka.

وأما كلام أهل العلم المتواتر فقد سبق بعض ذلك ونحوه كثير في كتب التفسير والفقه والحديث مما يصعب جمعه خصوصاً في تفسيرهم وشرحهم وتعليقهم على الأدلة الكثيرة في هذا الباب .

Sedangkan penjelasan para ulama yang demikian banyak, sebagian perkataan mereka telah dikutip di atas. Perkataan yang senada sangat banyak, terdapat di buku-buku tafsir, fiqh dan hadits sehingga tidaklah mudah mengumpulkannya terutama ketika para ulama menjelaskan, menafsirkan dan memberi komentar terhadap berbagai dalil yang ada dalam masalah ini.

ومما يضاف تأكيداً ما ذكره الخلال في جامعه قال “بابٌ في كراهة خروج المسلمين في أعياد المشركين” … ألخ . فكيف بعد هذا يجوز أن نهنئ المشركين في أعيادهم الباطلة .

Sebagai penguat tambahan adalah judul bab yang dibuat oleh al Khalal dalam kitabnya al Jami. Beliau mengatakan, “Bab terlarangnya kaum muslimin untuk keluar rumah pada saat hari raya orang-orang musyrik…”. Setelah penjelasan di atas bagaimana mungkin kita diperbolehkan untuk mengucapkan selamat kepada orang-orang musyrik berkaitan dengan hari raya mereka yang telah dihapus oleh Islam.

ونقل شيخ الإسلام رحمة الله تعالى في كتابه ” الإقتضاء 1/454″ اتفاق الصحابة وسائر الفقهاء على ما جاء في شروط عمر t أن أهل الذمة من أهل الكتاب وغيرهم لا يظهرون أعيادهم … فإذا كان المسلمون قد اتفقوا على منعهم من إظهارها فكيف يسوغ للمسلمين فعلها فإن فعل المسلم أشد من فعل الكافر … أهـ بمعناه .

Syeikhul Islam Ibnu Taimiyyah dalam bukunya, al Iqtidha’ 1/454 menukil adanya kesepakatan para sahabat dan seluruh pakar fikih terhadap persyaratan Umar untuk kafir dzimmi. “Di antaranya adalah kafir dzimmi baik ahli kitab maupun yang lain tidak boleh menampakkan hari raya mereka… Jika kaum muslimin telah bersepakat untuk melarang orang kafir menampakkan hari raya mereka lalu bagaimana mungkin seorang muslim diperbolehkan untuk menyemarakkan hari raya orang kafir. Tentu perbuatan seorang muslim dalam hal ini lebih parah dari pada perbuatan orang kafir..”.

وقال تلميذه الامام ابن القيم رحمه الله في ” أحكام أهل الذمة (2/722)” في سياق كلامه على أعياد المشركين “وكما أنهم لا يجوز لهم إظهاره فلا يجوز للمسلمين ممالاتهم عليه ولا مساعدتهم ولا الحضور معهم بإتفاق أهل العلم الذين هم أهله وقد صرح به الفقهاء من أتباع الأئمة الأربعة في كتبهم”

Sedangkan murid Ibnu Taimiyyah yaitu Ibnul Qoyyim dalam Ahkam Ahli Dzimmah 2/722 ketika membahas hari raya orang-orang musyrik mengatakan, “Sebagaimana mereka tidak diperbolehkan menampakkan (baca:menyemarakkan) hari rayanya maka tidak boleh bagi kaum muslimin untuk menyokong dan membantu mereka, tidak pula menghadiri perayaan hari raya mereka. Ini adalah kesepakatan para ulama yang merekalah pakar dalam masalah ini. Hal ini pun telah ditegaskan oleh para ulama empat mazhab dalam buku-buku mereka”.

ومن كلام أهل العلم في ذلك ما ذكره صاحب الدر المختار علاء الدين الحصكفي (6/754) “والإعطاء باسم يعظمه المشركون يكفر” ثم ذكر نقلاً عن أبي حفص الكبير في عدم جواز الأخذ والعطاء والإهداء والشراء باسم أيام المشركين فإنه قد يوقع في الكفر بتعظيم هذا العيد” أهـ بمعناه

Di antara perkataan para ulama dalam masalah ini adalah perkataan penulis kitab al Durr al Mukhtar yaitu ‘Ala-uddin al Hashkafi 6/754, “Memberi sesuatu dengan atas nama sesuatu yang diagungkan oleh orang-orang musyrik itu merupakan perbuatan kekafiran”. Kemudian beliau menyampaikan perkataan Abu Hafsh al Kabir yang “tidak membolehkan mengambil atau memberi suatu barang, demikian pula menghadiahkan atau membeli atas nama hari raya orang musyrik. Seorang muslim yang melakukannya boleh jadi terjerumus dalam kekafiran karena mengagungkan hari raya orang musyrik”.

وذكر في البحر الرائق (8/55) “أن من أهدى بيضةً في أعياد المشركين تعظيماً للعيد كفر بالله جلَّ وعلا ”

Dalam kitab al Bahr al Ra-iq 8/55, “Siapa yang menghadiahkan sebutir telur kepada seseorang pada hari raya orang musyrik karena mengagungkan hari raya orang kafir maka dia telah kafir kepada Allah”.
وذكر صاحب عون المعبود (3/341) ” عن القاضي أبي المحاسن الحسن بن منصور الحنفي أن من اشترى فيه شيئاً لم يكن يشتريه في غيره أو أهدى فيه هدية فإن أراد بذلك تعظيم اليوم كما يعظمه الكفره فقد كفر وإن أراد بالشراء التنعم والتنزه وفي الإهداء التحاب جرياً على العادة لم يكن كفراً لكنه كان مكروه كراه التشبه بالكفرة فحينئذٍ يحترز عنه”

Penulis kitab ‘Aun al Ma’bud 3/341 menyebutkan dari “al Qadhi Abul Mahasin al Hasan bin Manshur al Hanafi bahwa siapa saja yang pada saat hari raya orang kafir membeli sesuatu yang biasanya tidak dia beli di hari-hari yang lain atau memberikan hadiah pada hari tersebut maka jika maksudnya dengan hal tersebut adalah mengagungkan hari raya orang kafir sebagaimana pengagungan orang-orang kafir maka dia menjadi kafir karenanya.

Namun jika maksudnya dengan membeli barang tersebut pada waktu itu adalah ingin mengambil manfaat barang tersebut dan maksud hatinya dengan memberi hadiah adalah mewujudkan rasa cinta sebagaimana biasanya maka tidak kafir akan tetapi terlarang karena menyerupai orang kafir. Karenanya hal ini harus dijauhi”.

ونقل شيخ الإسلام عن عبد الملك بن حبيب أن الإمام مالك رحمه الله كره وحرم الأكل من ذبائح أعياد المشركين من النصارى وغيرهم .

Syeikhul Islam Ibnu Taimiyyah membawakan perkataan Abdul Malik bin Habib bahwa Imam Malik membenci dan mengharamkan memakan sembelihan dalam rangka hari raya orang musyrik baik Nasrani ataupun yang lainnya.

ونقل عن ابن القاسم النهي عن مشاركة المشركين في الركوب في السفن التي توصل إلى عيدهم أو أن يعانوا بأي أنواع المعونة وأنه قول مالك” إنتهى مختصراً “الإقتضاء” .

Ibnu Taimiyyah juga mengutip perkataan Ibnul Qosim yang melarang seorang muslim satu kapal dengan orang-orang musyrik yang akan mengantarkan mereka ke tempat perayaan hari raya mereka. Demikian pula seorang muslim dilarang memberikan bantuan apapun untuk kegiatan hari raya orang musyrik. Kata Ibnul Qosim hal ini adalah pendapat Imam Malik. Sekian kutipan dari kitab al Iqtidha dengan sedikit peringkasan.

وذكر البيهقي رحمه الله في “سننه” باباً في النهي عن الدخول على أهل الذمة وغيرهم في أعيادهم وذكر آثاراً سبقت الإشارة إليها .

Al Baihaqi dalam kitabnya As Sunan mengatakan ‘bab terlarangnya menemui orang kafir dzimmi atau yang lain saat hari raya mereka’. Beliau lantas menyebutkan beberapa perkataan ulama salaf yang telah disebutkan di atas.

وذكر الحافظ ابن حجر حديث أنس المتقدم في الإكتفاء بعيدي الفطر والأضحى بعد أن ذكر أنه روي بإسناد صحيح , قال واستنبط منه كراهة الفرح في أعياد المشركين والتشبه بهم وبالغ الشيخ أبو حفص الكبير النسفي من الحنفية فقال : “من أهدى فيه بيضة إلى مشرك تعظيماً لليوم فقد كفر بالله تعالى”(2/442) ,

Al Hafiz Ibnu Hajar setelah menyebutkan hadits dari Anas di atas tentang mencukupkan diri dengan dua hari raya yaitu Idul Fitri dan Idul Adha dan setelah mengatakan bahwa sanad hadits tersebut berkualitas sahih beliau mengatakan, “Bisa disimpulkan dari hadits tersebut larangan merasa gembira saat hari raya orang musyrik dan larangan menyerupai orang musyrik ketika itu. Bahkan Syeikh Abu Hafsh al Kabir al Nasafi seorang ulama mazhab Hanafi sampai berlebih-lebihan dalam masalah ini dengan mengatakan, ‘Siapa yang menghadiahkan sebutir telur kepada orang musyrik pada hari itu karena mengagungkan hari tersebut maka dia telah kafir kepada Allah” (Fathul Bari 2/442).

وذكر المناوي في “فيض القدير” (4/511) حديث أنس ثم ذكر النهي عن تعظيم يوم عيد المشركين وأن من عظمه لليوم كفر وكلاماً بمعناه . إنتهى بتصرف.” .

Dalam Faidh al Qadir 4/551, setelah al Munawi menyebutkan hadits dari Anas kemudian beliau menyebutkan terlarangnya mengagungkan hari raya orang musyrik dan barang siapa yang mengagungkan hari tersebut karena hari itu adalah hari raya orang musyrik maka dia telah kafir.

فبعد هذا كيف يجوز لمسلم القول بجواز تهنئة الكفار في أعيادهم فضلاً عمن ينتسب إلى العلم كالقرضاوي فماذا بعد الحق إلا الضلال !! .
فاحذر أخي المسلم – رحمك الله – من دعاة السوء والضلال الذين حذّر منهم النبي rوأنهم يكونون في آخر الزمان كما في حديث حذيفة في الصحيحين.

Setelah penjelasan di atas, bagaimana mungkin boleh bagi seorang muslim untuk mengatakan bolehnya mengucapkan selamat hari raya kepada orang-orang kafir terlebih-lebih seorang muslim yang dinilai berilmu semisal al Qardhawi. Tidak ada setelah kebenaran melainkan kesesatan.
Waspadalah saudaraku dengan dai jahat yang mendakwahkan kesesatan. Nabi telah mengingatkan kita dengan adanya orang-orang semacam itu di akhir zaman nanti sebagaimana dalam hadits dari Hudzaifah yang terdapat dalam Sahih al Bukhari dan Sahih Muslim.

واعلم – رحمك الله – أن دعاة الضلال يستدلون بأدلة  ويلبسون بشبه ولهذا أُمِرنا باعتزالهم لا لعجز أهل الحق في الرد عليهم ولكن حفظاً على سلامة عامة المسلمين فالقلوب ضعيفة والشبهة خطافة .

Sadarilah bahwa para penyeru kesesatan tentu membawakan berbagai alasan dan mengkaburkan permasalahan dengan berbagai kerancuan pemikiran. Oleh karena itu kita diperintahkan untuk menjauhi mereka bukan karena pembela kebenaran tidak mampu memberikan bantahan akan tetapi dalam rangka menjaga keselamatan agama umumnya kaum muslimin. Hati itu lemah sedangkan kerancuan pemahaman itu demikian kuat menyambar.

ويجمل ما استدل به القرضاوي في فتواه بثلاثة أمور :
الأول : استدلاله بعمومات وإجمالات لا يصح الإستدلال بعمومها ومجملها مع ما ورد من النصوص الخاصة ما يمنع هذا العموم والإجمال مما سبق الإشارة إليه من أدلة الكتاب والسنة وأقوال سلف الأمة وكلام أهل العلم المتواتر من أهل التفسير والحديث والفقه , بل هذه طريقة أهل البدع فهم الذين يعارضون النصوص الصريحة الخاصة بالأدلة العامة والمجملة كما روي ذلك عن الإمام أحمد –رحمه الله تعالى – وحذر منه

Secara umum dalam fatwanya al Qardhawi membawakan tiga jenis alasan.

Pertama, dalil-dalil yang bersifat umum dan global padahal tidak boleh beralasan dengan dalil yang bersifat umum dan global ketika ada dalil khusus yang membatasi dalil yang umum dan menjelaskan dalil yang masih global. Itulah dalil-dalil yang telah kita sebutkan di atas berupa dalil al Qur’an, sunah, perkataan salaf dan perkataan para ulama yang demikian banyak baik dari kalangan pakar tafsir, hadits maupun fikih.

Bahkan metode ini adalah metode yang ditempuh oleh ahli bid’ah. Merekalah orang yang suka mempertentangkan dalil-dalil khusus dan tegas dengan dalil-dalil yang bersifat umum dan global sebagaimana yang dikatakan dan diingatkan oleh Imam Ahmad.

فمن الأدلة العامة والمجملة التي استدل بها قول الله تعالى {لَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُم مِّن دِيَارِكُمْ أَن تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ } (8) سورة الممتحنة

Di antara dalil umum dan global yang beliau gunakan adalah firman Allah yang artinya, “Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil” (QS al Mumtahanah:8).

, فجعل من ذلك تهنئة الكفار في أعيادهم مع أن الله Y يقول في أول هذه السورة , {يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا عَدُوِّي وَعَدُوَّكُمْ أَوْلِيَاء تُلْقُونَ إِلَيْهِم بِالْمَوَدَّةِ وَقَدْ كَفَرُوا بِمَا جَاءكُم مِّنَ الْحَقِّ } (1) سورة الممتحنة

Al Qardhawi menjadikan ucapan selamat hari raya sebagai bagian dari berbuat baik dengan orang kafir padahal Allah berfirman di awal surat yang artinya, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil musuh-Ku dan musuhmu menjadi teman-teman setia yang kamu sampaikan kepada mereka (berita-berita Muhammad), karena rasa kasih sayang; Padahal Sesungguhnya mereka telah ingkar kepada kebenaran yang datang kepadamu” (QS al Mumtahanah:1).

, قال الشوكاني رحمه الله تعالى ( الآية تدل على النهي عن موالاة الكفار بوجه من الوجوه ) “فتح القدير 5/207″

Dalam Fathul Qadir 5/207 al Syaukani mengatakan, “Ayat ini menunjukkan larangan memberikan loyalitas kepada orang kafir dengan bentuk apapun”.

, وقال ابن كثير رحمه الله تعالى ( نهى تبارك وتعالى عباده المؤمنين أن يوالوا الكافرين وأن يتخذوهم أولياء يسرون إليهم بالمودة من دون المؤمنين ) “آية 28 سورة آل عمران “. فكيف إذا أضيف ما سبقت الإشارة إليه.

Ketika menjelaskan QS Ali Imran:28, Ibnu Katsir mengatakan, “Allah melarang hamba-hamba-Nya yang beriman untuk memberikan loyalitas kepada orang-orang kafir dan menjadikan mereka sebagai teman dekat, tempat menceritakan berbagai rahasia karena mencintai mereka dengan meninggalkan orang-orang yang beriman”. Bagaimana jika kita tambah dengan dalil-dalil di atas.

ثانياً : استدلاله بأقيسة ضعيفة ومعارضة للنصوص الصريحة مما دلت عليه أدلة الكتاب والسنة وأقوال سلف الأمة وكلام أهل العلم المتواتر من أهل التفسير والحديث والفقه . ومن ذلك قياسه تهنئة الكفار بجواز الزواج من نساء أهل الكتاب مع أن الله تعالى قال {لَا تَجِدُ قَوْمًا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ يُوَادُّونَ مَنْ حَادَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَلَوْ كَانُوا آبَاءهُمْ أَوْ أَبْنَاءهُمْ أَوْ إِخْوَانَهُمْ أَوْ عَشِيرَتَهُمْ } (22) سورة المجادلة

Kedua, al Qardhawi beralasan dengan analog yang lemah dan analog yang bertolak belakang dengan berbagai dalil dari al Qur’an, sunah, perkataan para salaf dan perkataan para ulama yang demikian banyak baik pakar tafsir, hadits maupun fikih.

Di antaranya beliau menganalogkan ucapan selamat hari raya orang kafir dengan bolehnya menikahi wanita ahli kitab padahal Allah telah berfirman yang artinya, “Kamu tak akan mendapati kaum yang beriman pada Allah dan hari akhirat, saling berkasih-sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, Sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka” (QS al Mujadidlah:22).

, وقد نبه العلماء أن المحبة أقسام والمراد بجواز النكاح ليس مودة ومحبة على حساب الأحكام الشرعية فكيف إذا انضاف ما سبقت الإشارة إليه من عدم جواز هذه التهنئة

Para ulama telah mengingatkan bahwa rasa cinta itu ada beberapa macam. Yang dimaksud dengan diperbolehkannya menikahi wanita ahli kitab bukanlah karena adanya rasa cinta kepada orang kafir yang mengorbankan hukum-hukum syariat. Bagaimana jika ditambah berbagai dalil tentang tidak bolehnya mengucapkan selamat untuk hari raya orang kafir sebagaimana telah disebutkan di atas.

والقياس كالتيمم إنما يلجئ إليه إذا لم يعلم الدليل ولهذا قال الإمام أحمد ( وليس في السنة قياس ولا تضرب لها الأمثال ولا تدرك بالعقول والأهواء وإنما هو الإتباع وترك الهوى )

Analog itu seperti tayamum, hanya dipakai jika tidak diketahui adanya dalil dalam masalah tersebut. Oleh karena itu Imam Ahmad mengatakan, “Tidak ada analog dalam sunah dan tidak boleh membuat berbagai permisalan untuk membantah sunah. Sunnah tidaklah bisa dipahami dengan akal dan hawa nafsu namun hanya bisa dipahami dengan mengikuti sunah dan meninggalkan hawa nafsu”.

, وفي رواية الميموني عن الإمام أحمد رحمه الله ( يجتنب المتكلم في الفقه هذين الأصلين المجمل والقياس )

Dalam riwayat dari al Maimuni, Imam Ahmad mengatakan, “Seorang yang hendak bicara tentang hukum fikih hendaknya menjauhi dua hal ini yaitu dalil global dan analog”.

وفي رواية أبي الحارث عن الإمام أحمد رحمه الله ( قال ما تصنع بالرأي والقياس وفي الحديث ما يغنيك عنه ) “المسودة 328″

Dalam riwayat dari Abu al Harits, Imam Ahmad mengatakan, “Apa yang akan kau lakukan dengan akal pikiran dan analog padahal hadits sudah mencukupimu” [Kutipan-kutipan ini ada di kitab al Muswaddah hal 328).

وبوب البخاري رحمه الله في صحيحه ” باب ما يذكر من ذم الرأي وتكلف القياس وذكر قول الله تعالى { ولا تقف ما ليس لك به علم إن السمع والبصر والفؤاد كل أولئك كان عنه مسؤلاً }” وذكر حديث عبدالله بن عمرو في موت العلماء وظهور علماء السوء نعوذ بالله منهم

Dalam kitab Sahihnya al Bukhari membuat judul bab, ‘bab celaan terhadap akal pikiran dan analog yang dipaksa-paksakan’.

Bukhari lantas membawakan firman Allah yang artinya, “Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya” (QS al Isra:36). Al Bukhari juga menyebutkan hadits dari Abdullah bin ‘Amr tentang matinya para ulama dan munculnya para ulama yang jahat. Semoga Allah lindungi kita dari bahaya mereka.

, فإذا كان هذا كلام أهل العلم في القياس مع وجود الدليل فكيف إذا عورض به الدليل وكيف إذا كان من أضعف أنواع الأقيسة فإن هذا النوع من القياس أشبه ما يكون بقياس الشبه الذي هو من أضعف أنواع الأقيسة وهو القياس بغير علة أو دليلها ويراجع ” الإعلام لإبن القيم 1/148″.

Demikianlah perkataan para ulama tentang berdalil dengan analog padahal ada dalil yang menyelisihi kesimpulan analog tersebut lalu bagaimana jika analog yang dipakai adalah analog yang paling lemah. Analog yang dipakai oleh al Qardhawi itu mirip dengan qiyas syabah (analog karena sekedar ada kemiripan). Qiyas syabah adalah jenis qiyas yang paling lemah karena di sini qiyas yang terjadi adalah qiyas tanpa ‘illah atau dalil ‘illah. Silahkan telaah al I’lam karya Ibnul Qoyyim 1/148.

ثالثاً : استدلالات عجيبة خارجة عن القواعد العلمية فضلاً عن الضوابط الشرعية كقوله ( ويشبه هذا التعبير قوله تعالى في شأن الصفا والمروة … ألخ .

Ketiga, terdapat beberapa cara berdalil yang aneh yang keluar dari koridor ilmiah dan tentu sangat jauh dari kaedah syariat. Di antaranya beliau mengatakan, “Ucapan selamat hari raya orang kafir itu mirip dengan firman Allah tentang bukit Shafa dan al Marwa…”

فسبحان الله ! كيف يريد أن يجمع بين ما لا يمكن جمعه تكثيراً للشبه واستجابةً للهوى ومسايرة للواقع وإلا فما علاقة ما أشار إليه بتهنئة الكفار في أعيادهم

Subhanallah, bagaimana beliau berupaya untuk menyerupakan dua hal yang tidak mungkin serupa dalam rangka untuk memperbanyak kerancuan pemahaman, merespons hawa nafsu dan agar seiring dengan realita. Jika bukan karena motivasi tersebut lalu apa hubungan antara pernyataannya di atas dengan ucapan selamat hari raya orang kafir.

, وانظر – رحمك الله – إلى كلام أهل الصدق والاستجابة والغيرة, قال ابن القيم – رحمه الله – ( معلوم أن التقاة ليست بموالاة ولكن لما نهاهم عن موالاة الكفار اقتضى ذلك معاداتهم والبراء منهم ومهاجرتهم بالعدوان في كل حال إلا إذا خافوا من شرهم فأباح لهم التقية وليست التقية موالاة لهم ) “بدائع الفوائد 3/69″ فكيف بعد هذا يستدل بهذه الاستدلالات العجيبة بما ينافي العقل والدين , لهم الله هؤلاء المتلاعبون بدين الله .

Perhatikanlah perkataan seorang yang tulus, menyambut seruan Allah dan seorang yang memiliki kecemburuan dengan agamanya berikut ini.
Ibnul Qoyyim mengatakan, “Taqiyyah dengan orang kafir itu tidak termasuk loyal dengan orang kafir. Akan tetapi ketika Allah melarang memberikan loyalitas dengan orang kafir maka konsekuensinya adalah memusuhi dan berlepas tangan dari orang kafir serta meninggalkan mereka karena semangat permusuhan dalam setiap keadaan kecuali jika khawatir dengan gangguan orang kafir maka Allah bolehkan taqiyyah kepada orang kafir pada saat itu. Taqiyyah itu bukanlah loyal dengan orang kafir” (Badai al Fawaid 3/69).

Setelah penjelasan di atas sebagaimana mungkin orang-orang yang mempermainkan agama Allah masih saja nekad menggunakan cara-cara berdalil yang aneh tersebut. Itulah cara berdalil yang bertolak belakang dengan akal sehat dan agama.

Referensi: http://www.olamayemen.com/show_art4.html

BACA JUGA

KESURUPAN DALAM TINJAUAN AKIDAH ISLAM

  Oleh Ustadz DR. Ali Musri Semjan Putra, MA Para pembaca yang dirahmati Allâh Azza wa Jalla Semoga Allâh Azza wa Jalla senantiasa menjadika...