PENCARIAN

17 Desember 2014

Perayaan Rabu Mustamir, kontradiksi keyakinan dan syariat

Benarkah di hari arba musta'mir, yakni hari Rabu terakhir di bulan Safar akan diturunkan bala sebanyak 350.000 bentuk musibah? Apakah ini bentuk fitnah keji terhadap Rabb Yang Maha Penyayang!!!

Bagi masyarakat Banjar (kalimantan selatan), bulan Safar dianggap sebagai "bulan sial, bulan panas, bulan diturunkannya berbagai bala bencana". Keyakinan masyarakat pada bulan ini, berbagai penyakit diturunkan, orang menebar racun, dan hal-hal yang berbau khurafat. Dan puncak kesialan dibulan Safar ini terjadi pada Arba’ Musta’mir, orang jawa menyebutnya rabu wekasan.

Bagi masyarakat yang meyakini bulan Safar adalah bulan sial, dalam menemui bulan ini mereka tidak berani untuk melakukan perjalanan jauh, mengadakan ritual perkawinan dan acara lainnya, karena mereka beranggapan apabila melakukan perjalanan jauh maka akan mendapatkan musibah, perkawinannya tidak akan langgeng.

Padahal Nabi Shallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Tidak ada penularan penyakit (dengan sendirinya), tidak ada thiyarah, tidak ada kesialan karena burung hantu, tidak ada kesialan pada bulan Shafar." (HR. Al-Bukhari 5437 dan Muslim 2220)

Sungguh aneh memang ketika sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam membantah anggapan keyakinan khurafat tersebut, kebanyakan masyarakat justru lebih percaya dengan kepercayaan jahiliyyah dari agama nenek moyang. Sehingga jika terjadi bencana, perkelahian, kesialan yang menimpa dirinya mereka pasti mengaitkannya dengan bulan Safar.

Karenanya sudah menjadi keyakinan yang mendarah daging, untuk menghindari kesialan pada rabu terakhir dibulan Safar masyarakat banjar biasanya melakukan hal-hal seperti sebagai berikut;
1. Sholat sunnah mutlak berjama'ah, disertai doa tolak bala.
2. Selamatan kampung, biasanya masyarakat berkeliling kampung disertai dengan do'a tolak bala.
3. Mandi Safar untuk membuang kesialan, penyakit, dan tentunya terhindar dari bala.
4. Tidak melakukan atau bepergian jauh.
5. Tidak melakukan hal-hal yang menjadi pantangan, dan sebagainya.

Timbul pertanyaan bagaimana sebenarnya menurut pandangan Islam tentang adanya anggapan atau keyakinan terhadap adanya bulan sial tersebut? Apakah Islam membenarkan atau membolehkan adanya anggapan seperti tersebut, dan apakah tidak bertentangan dengan aqidah ?

Keyakinan tentang adanya hari sial, bulan sial adalah termasuk kebiasaan orang-orang jahiliyyah zaman dulu, kemudian setelah Islam datang, keyakinan tersebut ditolak dan dibatilkan. Dalil-dalil yang ada demikian jelas menyatakan keharaman kebiasaan tersebut. Karena perbuatan atau anggapan sial seperti itu termasuk bagian dari kesyirikan, karena tidak ada yang memberi manfaat dan memberi mudarat kecuali Allah Subhanahu wa Ta’ala. Allah Ta’ala berfirman: "Jika Allah menimpakan kepadamu kemudaratan maka tidak ada yang dapat menghilangkannya kecuali Dia dan bila Dia menghendaki kebaikan bagimu maka tidak ada yang dapat menolak keutamaan-Nya." (QS. Yunus: 107)

Dalam hadits Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma disebutkan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: "Pada suatu hari ia menunggang kuda di belakang Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, lalu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda kepadanya: "Wahai anakku, aku akan mengajarkan kepadamu beberapa kalimat; Jagalah Allah niscaya Dia akan menjagamu, Jagalah Allah niscaya engkau mendapati-Nya di hadapanmu. Jika engkau meminta maka mintalah kepada Allah, dan jika engkau memohon pertolongan maka mohonlah pertolongan kepada Allah. Ketahuilah, seandainya umat ini bersatu untuk memberi manfaat kepadamu, niscaya mereka tidak akan mampu memberikan manfaat kepadamu kecuali dengan sesuatu yang telah Allah tetapkan padamu. Dan seandainya mereka bersatu untuk mencelakakan dirimu, niscaya mereka tidak akan mampu mencelakakanmu kecuali dengan sesuatu yang telah Allah tetapkan padamu. Pena telah diangkat dan lembaran telah kering." (Musnad Ahmad 2537)

Maka apabila ada yang beranggapan bahwa kebaikan maupun keburukan yang menimpa manusia itu dikarenakan adanya bulan sial atau hari sial (rabu terakhir bulan Safar) yang membawa malapetaka, berarti mereka menganggpan bahwa ada kekuatan lain selain Allah yang mampu memberikan kebaikan maupun kebahagaian kepada munusia, maka orang-orang tersebut berarti telah melakukan kesyirikan.

Jika ada orang mempercayai adanya hari na'as (sial) dengan tujuan mengharuskan untuk berpaling darinya atau menghindarkan suatu pekerjaan (acara) pada hari tersebut dan menganggapnya terdapat kesialan, maka sesungguhnya yang demikian ini termasuk tradisi kaum Yahudi dan bukan sunnah kaum muslimin yang selalu bertawakkal kepada Allah dan tidak berprasangka buruk terhadap Allah.

Dari Abdullah bin Mas'ud ia berkata, "Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Sesungguhnya thiyarah (pesimis) bagian dari syirik dan bukan bagian dari ajaran kami, justru Allah akan menghilangkan thiyarah (pesimis) itu dengan bertawakkal kepada-Nya." (Sunan Tirmidzi 1539)

Ketahuilah bahwa sesungguhnya musibah tersebut tidak akan terjadi kecuali dengan qadha dan qadar Allah Ta'ala. Bukan karena sesuatu yang lain dari makhluk-Nya, melainkan semua itu sesuai dengan qadha dan qadar-Nya.

Anggapan adanya hari sial atau bulan sial berarti secara tidak sadar mereka telah mencela Allah yang membuat hari dan bulan. Dari Abu Hurairah radhiallahu 'anhu, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Janganlah kalian mencela masa, karena sesungguhnya Allahlah masa." (HR. Muslim no. 2246)

Makna Allah adalah masa diterangkan dalam hadits Qudsi, dari Abu Hurairah radhiallahu 'anhu, Allah Ta'ala berfirman: "Anak adam menyakiti-Ku dengan dia mencela masa, padahal Aku adalah masa, di tangan-Ku lah segala urusan, Akulah yang membolak-balikkan siang dan malam." (HR. Bukhari no. 6937)

Wallahu a'lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

BACA JUGA

KESURUPAN DALAM TINJAUAN AKIDAH ISLAM

  Oleh Ustadz DR. Ali Musri Semjan Putra, MA Para pembaca yang dirahmati Allâh Azza wa Jalla Semoga Allâh Azza wa Jalla senantiasa menjadika...