PENCARIAN

28 Juli 2016

Anjuran Latihan Memanah dan Menembak

Dicatat oleh Al Bazzar dalam Musnad-nya (1048), Al ‘Athar dalam Juz-nya (52), Ath Thabrani dalam Mu’jam Al Ausath (2093), dari jalan Hatim bin Laits,
حَاتِمُ بْنُ اللَّيْثِ الْجَوْهَرِيُّ , قَالَ : نا يَحْيَى بْنُ حَمَّادٍ , قَالَ : نا أَبُو عَوَانَةَ ، عَنْ عَبْدِ الْمَلِكِ بْنِ عُمَيْرٍ ، عَنْ مُصْعَبِ بْنِ سَعْدٍ ، عَنْ أَبِيهِ , قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : ” عَلَيْكُمْ بِالرَّمْيِ ، فَإِنَّهُ خَيْرٌ لَعِبِكُمْ
“dari Hatim bin Laits Al Jauhari, ia berkata: Yahya bin Hammad menuturkan kepada kami, ia berkata: Abu ‘Awwanah menuturkan kepada kami, dari Abdul Malik bin ‘Umair, dari Mush’ab bin Sa’ad, dari ayahnya (Sa’ad bin Abi Waqqash radhiallahu ’anhu) ia berkata, Rasulullah Shallallahu ’alaihi Wasallam bersabda: ‘hendaknya kalian latihan menembak karena itu permainan yang paling bagus bagi kalian‘”
Derajat Hadits
Hadits ini gharib, tidak ada jalan lain selain jalan ini.
  • Hatim bin Laits Al Baghdadi Al Jauhari. Al Khathib berkata: “ia tsiqah tsabat mutqin hafidz“, sebuah pernyata-an ta’dil yang tinggi derajatnya. Ad Dzahabi berkata: “ia al hafidz al muktsir ats tsiqah
  • Yahya bin Hammad. Abu Hatim Ar Razi berkata: “ia tsiqah”. Ibnu Hajar berkata: “ia tsiqah, ahli ibadah”.
  • Abu ‘Awwanah Al Wadhah bin Abdillah. Abu Hatim Ar Razi berkata: “kitabnya shahih, namun jika ia menyampaikan hadits dari hafalannya, sering salah. ia statusnya shaduq dan tsiqah. ia lebih bagus hafalannya dari Hammad bin Salamah”. Ibnu Hajar berkata: “ia tsiqah tsabat“.
  • Abdul Malik bin ‘Umair Al Farsi. Abu Hatim Ar Razi berkata: “shalihul hadits namun hafalannya berubah sebelum wafatnya”. An Nasa-i berkata: “laysa bihi ba’san“. Ibnu Hajar berkata: “ia tsiqah, fasih, alim, namun hafalannya berubah dan terkadang melakukan tadlis“.
  • Mush’ab bin Sa’ad bin Abi Waqqash. Ibnu Hajar berkata: “ia tsiqah, sering memursalkan hadits dari Ikrimah”. Adz Dzahabi berkata: “ia tsiqah“.
Dari data di atas, nampaknya permasalahan ada pada Abdul Malik bin ‘Umair Al Farsi. Al Albani menyatakan: “Abdul Malik bin ‘Umair hafalannya berubah sebelum wafatnya sehingga aku men-jazm-kan keshahihan sanad ini.
Adapun tentang ia disifati dengan tadlis, ini masih bisa ditoleransi karena hanya sedikit saja tadlis yang ia lakukan. Sebagaimana diisyaratkan oleh Ibnu Hajar dengan perkataan beliau ‘terkadang melakukan tadlis‘”.
Pernyataan beliau juga sejalan dengan yang diisyaratkan dalam komentar Al Mundziri tentang hadits ini: “diriwayatkan oleh Al Bazzar dan Ath Thabrani dalam Al Ausath, dan sanadnya jayyid qawiy” (At Targhib, 2/170). Sehingga tidak ada masalah yang tersisa pada Abdul Malik bin ‘Umair Al Farsi, dengan demikian ia tsiqah.
Kesimpulannya, derajat hadits ini shahih (diringkas dari Silsilah Ash Shahihah, 2/204-205).
Faidah Hadits
1.   Al-Munawi rahimahullah menjelaskan:
hendaknya kalian latihan menembak‘, yaitu dengan panah
karena itu permainan yang paling bagus bagi kalian‘, maksudnya ia adalah lahwun yang paling baik bagi kalian. Asalnya, maknanya lahwun adalah relaksasi jiwa dengan melakukan sesuatu yang tidak ada tujuan khususnya. dan (dalam bahasa arab) alhaaniy asy syai-i dengan alif, artinya ‘hal itu telah menyibukkanku‘ (Faidhul Qadir, 4/340). Dari penjelasan Al Munawi ini, lahwun artinya sesuatu yang bisa merelaksasi jiwa dan menyibukkan.
2.   Makna ar ramyu secara bahasa:
رَمَى الشيءَ  : ألقاهُ وقَذَفه
ramaa asy syai-a artinya ‘melempar sesuatu’
ويقال : رمَى عن القوس وعليها رَميًا : أطلق سَهْمَهَا
jika dikatakan ramaa ‘anil quusi (busur panah) wa’alaiha ramyan artinya ‘ia menembakkan anak panah’. (lihat Mu’jam Al Washith) Sehingga yang dimaksud hadits ini adalah melempar atau menembakkan sesuatu yang bisa menjadi senjata melawan musuh, termasuk disini memanah, melempar tombak, termasuk juga menembak dengan pistol atau senapan dan semacamnya. Andai dianggap menembak dengan pistol (atau alat penembak modern lain) tidak termasuk ar ramyu maka tetap dapat di-qiyas-kan dengannya karena memiliki illah yang sama. Wallahu’alam.
3.   Keutamaan skill menembak atau melempar dan anjuran untuk memiliki skill tersebut secara umum. Dalil-dalil lain tentang hal ini sangat banyak, diantaranya:
Dari sahabat ‘Uqbah bin ‘Amir:
سمعتُ رسولَ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ ، وهو على المنبرِ ، يقول  وَأَعِدُّوا لَهُمْ مَا اسْتَطَعْتُمْ مِنْ قُوَّةٍ . ألا إنَّ القوةَ الرميُ . ألا إنَّ القوةَ الرميُ . ألا إنَّ القوةَ الرميُ
“Aku mendengar Rasulullah Shallallahu ’alaihi Wa-sallam berkhutbah di atas mimbar. Tentang ayat ‘dan persiapkanlah bagi mereka al quwwah (kekuatan) yang kalian mampu‘ (QS. Al Anfal: 60) Rasulullah bersabda: ‘ketahuilah bahwa al quwwah itu adalah skill menembak (sampai 3 kali)’” (HR. Muslim 1917)
Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
من تعلَّم الرميَ ثم نسِيَه ؛ فهي نعمةٌ جحَدها
Barangsiapa yang belajar menembak lalu ia melupakannya, maka itu termasuk nikmat yang ia durhakai” (HR Ath Thabrani dalam Mu’jam Ash Shaghir no.4309, dishahihkan Al Albani dalam Shahih At Targhib 1294)
Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
اللهْوُ في ثلاثٍ : تأديبُ فرَسِكَ ، و رمْيُكَ بِقوسِكِ ، و مُلاعَبَتُكَ أهلَكَ
Lahwun (yang bermanfaat) itu ada tiga: engkau menjinakkan kudamu, engkau menembak panahmu, engkau bermain-main dengan keluargamu” (HR. Ishaq bin Ibrahim Al Qurrab [wafat 429H] dalam Fadhail Ar Ramyi no.13 dari sahabat Abud Darda’, dishahihkan Al Albani dalamShahih Al Jami’ 5498 )
4.   Keutamaan skill menembak atau melempar dalam jihad fii sabiilillah. Dalil-dalil tentang hal ini sangat banyak juga, diantaranya sabda Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam:
إذا أَكثَبوكم – يعني أكثروكم – فارموهُم ، واستبْقوا نَبْلَكم
Jika mereka (musuh) mendekat (maksudnya jumlah mereka lebih banyak dari kalian), maka panahlah mereka terus-menerus” (HR. Bukhari 3985)
Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
ستفتح عليكم أرضون ويكفيكهم الله فلا تعجز أحدكم أن يلهو بسهمه
Kelak negeri-negeri akan ditaklukkan untuk kalian, dan Allah mencukupkan itu semua atas kalian, maka janganlah salah seorang diantara kalian merasa malas untuk memainkan panahnya” (HR. Muslim 1918)
Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
مَن بلغَ بسَهْمٍ في سبيلِ اللَّهِ ، فَهوَ لَهُ درجةٌ في الجنَّة فبلَّغتُ يومئذٍ ستَّةَ عشرَ سَهْمًا قالَ : وسَمِعْتُ رسولَ اللَّهِ يقولُ : مَن رمى بسَهْمٍ في سبيلِ اللَّهِ فَهوَ عدلُ محرَّرٍ
Barangsiapa yang menembak satu panah yang mengenai musuh dalam jihad fii sabilillah, baginya satu derajat di surga. (Abu Najih As Sulami -perawi hadits- berkata) Dan panahku hari ini mengenai musuh sebanyak 16x. Aku juga mendengar Rasulullah bersabda: ‘Barangsiapa yang menembak satu panah dalam jihad fii sabiilillah setara dengan memerdekakan budak‘” (HR. An Nasa-i 3143, dishahihkan Al Albani dalam Shahih An Nasa-i)
Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
مَن رمى العدُوَّ بسَهمٍ فبلغَ سَهمُه العدوَّ أصابَ أو أخطأَ فعدلُ رَقَبةٍ
“Barangsiapa yang menembak satu panah kepada musuh baik kena atau tidak kena, pahalanya setara dengan memerdekakan budak“” (HR. Ibnu Majah 2286, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Ibni Majah)
Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
مَن رَمَى بسهْمٍ في سبيلِ اللهِ ؛ كان له نورًا يومَ القيامةِ
Barangsiapa yang menembak satu panah dalam jihad fii sabilillah ia mendapat satu cahaya di hari kiamat kelak” (HR. Al Baihaqi dalam As Sunan Al Kubra no.17035, dishahihkan Al Albani dalam Shahih At Targhib 1292)
5.   Imam Nawawi ketika menjelaskan hadits
ألا إنَّ القوةَ الرميُ
ketahuilah bahwa al quwwah itu adalah skill menembak
beliau menjelaskan: “Dalam hadits ini dan hadits-hadits lain yang semakna ada keutamaan skill menembak serta keutamaan skill militer, juga anjuran untuk memberi perhatian pada hal tersebut dengan niat untuk jihad fii sabiilillah. Termasuk juga latihan keberanian dan latihan penggunaan segala jenis senjata. Juga perlombaan kuda, serta hal-hal lain yang sudah dijelaskan sebelumnya. Maksud dari semua ini adalah untuk latihan perang, mengasah skill dan mengolah-ragakan badan” (Syarh Shahih Muslim, 4/57).
6.   Ali Al Qari ketika menjelaskan hadits
ستفتح عليكم أرضون ويكفيكهم الله فلا تعجز أحدكم أن يلهو بسهمه
Kelak negeri-negeri akan ditaklukkan untuk kalian, dan Allah mencukupkan itu semua atas kalian, maka janganlah salah seorang diantara kalian merasa malas untuk memainkan panahnya
beliau menjelaskan: “Al Muzhahir berkata, ‘maksudnya orang Romawi sebagian besar dalam perang mereka menggunakan panah. Maka hendaknya kalian belajar memanah sehingga bisa menandingi orang Romawi lalu Allah akan membuka negeri Romawi untuk kalian dan mencegah keburukan orang Romawi atas kalian. Dan jika Romawi sudah ditaklukkan, janganlah tinggalkan latihan memanah dengan berkata, kita sudah tidak butuh lagi skill memanah untuk memerangi mereka. Jangan begitu, bahkan pelajarilah terus-menerus skill memanah karena itu akan kalian butuhkan selamanya’.
Al Asyraf berkata, ‘Tidak selayaknya kalian malas belajar memanah sampai tiba waktunya untuk menaklukan negeri Romawi, maka Allah pasti menolong kalian untuk menaklukannya. Ini adalah dorongan dari Rasulullah Shalawatullah ‘alaihi untuk berlatih memanah. Artinya, bermain-main dengan panahan itu tidak terlarang’.
Ath Thibi berkata, ‘Nampaknya pandangan yang kedua lebih tepat karena huruf fa dalam kalimat فلا يعجز adalah fa sababiyyah. Seolah-olah beliau berkata, Allah Ta’ala sebentar lagi akan membukan negeri Romawi untuk kalian dan mereka itu ahli memanah. Dan Allah akan mencegah makar mereka atas kalian dengan sebab skill memanah kalian. Oleh karena itu janganlah kalian malas untuk menyibukkan diri dengan panah kalian. Artinya, hendaknya kalian bersemangat dalam perkara panah-memanah, berlatihlah dan pegang skill tersebut dengan gigi geraham. Sampai ketika tiba waktunya untuk memerangi Romawi, kalian sudah hebat dalam hal itu’. Sebab dianjurkan menjadikan panahan sebagai lahwun karena adanya kecenderungan untuk menyukai latihan memanah juga menyukai pertandingan dan perlombaan memanah. Karena jiwa manusia itu punya kecenderungan besar kepada perkara-perkara lahwun” (Mirqatul Mafatih, 6/2499).
7.   Islam sangat menganjutkan umatnya untuk memiliki skill yang dapat digunakan untuk melawan musuh.
8.   Bermain itu perkara mubah, namun hendaknya memilih permainan yang bermanfaat dalam pandangan syar’i.
Wallahu’alam bis shawab

18 Juli 2016

Anjuran Menikah di Bulan Syawal

Setelah bulan suci Ramadhan ada bulan Syawwal, di mana masyarakat sudah mengenal sunnah puasa 6 hari di bulan Syawwal. Akan tetapi ada juga sunnah lainnya di bulan Syawwal yaitu anjuran menikah di bulan Syawwal. Bagi yang sudah dimudahkan oleh Allah, bisa melaksanakan sunnah ini.

Dalil sunnah menikah di bulan Syawwal

‘Aisyah radiallahu ‘anha istri Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menceritakan,

تَزَوَّجَنِي رَسُولُ اللهِ فِي شَوَّالٍ، وَبَنَى بِي فِي شَوَّالٍ، فَأَيُّ نِسَاءِ رَسُولِ اللهِ كَانَ أَحْظَى عِنْدَهُ مِنِّي؟، قَالَ: ((وَكَانَتْ عَائِشَةُ تَسْتَحِبُّ أَنْ تُدْخِلَ نِسَاءَهَا فِي شَوَّالٍ))

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menikahiku di bulan Syawal, dan membangun rumah tangga denganku pada bulan syawal pula. Maka isteri-isteri Rasulullah Shalallahu ‘alaihi Wassalam yang manakah yang lebih beruntung di sisinya dariku?” (Perawi) berkata, “Aisyah Radiyallahu ‘anhaa dahulu suka menikahkan para wanita di bulan Syawal” (HR. Muslim).

Sebab Nabi Shalallahu ‘alaihi Wassalam menikahi ‘Aisyah di bulan Syawwal adalah untuk menepis anggapan bahwa menikah di bulan Syawwal adalah kesialan dan tidak membawa berkah. Ini adalah keyakinan dan aqidah Arab Jahiliyah. Ini tidak benar, karena yang menentukan beruntung atau rugi hanya Allah Ta’ala.

Bulan Syawwal dianggap bulan sial menikah karena nggapan di bulan Syawwal unta betina yang mengangkat ekornya (syaalat bidzanabiha). Ini adalah tanda unta betina tidak mau dan enggan untuk menikah, sebagai tanda juga menolak unta jantan yang mendekat. Maka para wanita juga menolak untuk dinikahi dan para walipun enggan menikahkan putri mereka.

Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menikahi ‘Aisyah untuk membantah keyakinan yang salah sebagian masyarakat yaitu tidak suka menikah di antara dua ‘ied (bulan Syawwal termasuk di antara ‘ied fitri dan ‘idul Adha), mereka khawatir akan terjadi perceraian. Keyakinan ini tidaklah benar.” (Al-Bidayah wan Nihayah, 3/253).

Imam An-Nawawi rahimahullah juga menjelaskan, “Di dalam hadits ini terdapat anjuran untuk menikahkan, menikah, dan membangun rumah tangga pada bulan Syawal. Para ulama kami (ulama syafi’iyyah) telah menegaskan anjuran tersebut dan berdalil dengan hadits ini. Dan Aisyah Radiyallahu ‘anhaa ketika menceritakan hal ini bermaksud membantah apa yang diyakini masyarakat jahiliyyah dahulu dan anggapan takhayul sebagian orang awam pada masa kini yang menyatakan kemakruhan menikah, menikahkan, dan membangun rumah tangga di bulan Syawwal. Dan ini adalah batil, tidak ada dasarnya. Ini termasuk peninggalan jahiliyyah yang ber-tathayyur (menganggap sial) hal itu, dikarenakan penamaan syawal dari kata al-isyalah dan ar-raf’u (menghilangkan/mengangkat).” (yang bermakna ketidakberuntungan menurut mereka)” (Syarh Shahih Muslim 9/209).

Larangan “merasa sial” (thiyarah)

Anggapan “merasa sial” atau “Thiyarah” adalah keyakinan yang kurang baik bahkan bisa mengantarkan kepada kesyirikan. Begitu juga praktek masyarakat kita yang kurang tepat yaitu yakin adanya hari sial, bulan sial bahkan keadaan-keadaan yang dianggap sial. Misalnya kejatuhan cicak, suara burung hantu malam hari dan lain-lainnya.
Keyakinan seperti ini bertentangan dengan ajaran Islam, karena untung dan rugi adalah takdir Allah dengan hikmah.
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi Wassalam menjelaskan bahwa anggapan sial pada sesuatu itu termasuk kesyirikan. Beliau Shalallahu ‘alaihi Wassalam bersabda,

الطِّيَرَةُ شِرْكٌ، وَمَا مِنَّا إِلَّا، وَلَكِنَّ اللهَ يُذْهِبُهُ بِالتَّوَكُّلِ

Thiyarah (anggapan sial terhadap sesuatu) adalah kesyirikan. Dan tidak ada seorang pun di antara kita melainkan (pernah melakukannya), hanya saja Allah akan menghilangkannya dengan sikap tawakkal” (HR. Ahmad, dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Silsilah Ash-Shahihah no. 429).

Beliau juga bersabda,

لَا عَدْوَى وَلَا طِيَرَةَ، وَيُعْجِبُنِي الْفَأْلُ الصَّالِحُ: الْكَلِمَةُ الْحَسَنَةُ

Tidak ada (sesuatu) yang menular (dengan sendirinya) dan tidak ada “Thiyarah”/ sesuatu yang sial (yaitu secara dzatnya), dan aku kagum dengan al-fa’lu ash-shalih, yaitu kalimat (harapan) yang baik” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).

Demikian, semoga bermanfaat.

Sumber: https://muslimah.or.id/6281-anjuran-menikah-di-bulan-syawwal.html

22 Juni 2016

Apakah Dosa di Bulan Ramadhan Dilipatgandakan Sebagaimana Pahala Dilipatgandakan?

Apakah dosa jadi berlipat-lipat ketika dilakukan di bulan Ramadhan? Padahal kita tahu bahwa pahala amalan kebaikan akan dilipatgandakan ketika dilakukan di bulan Ramadhan.

Dalam Mathalib Uli An-Nuha (2: 385) disebutkan, “Kebaikan dan kejelekan berlipat-lipat dilihat dari tempat mulia di mana amalan tersebut dilakukan seperti di Makkah, Madinah, Baitul Maqdis dan masjid lainnya. Juga dilihat dari waktu yang mulia seperti hari Jumat dan bulan-bulan haram (Dzulqo’dah, Dzulhijjah, Muharram, dan Rajab, pen.). Adapun berlipatnya pahala, hal itu tidaklah diperselisihkan. Sedangkan berlipatnya dosa, kebanyakan ulama menyatakan hal itu ada. Pendapat ini mengikuti pendapat Ibnu ‘Abbas dan Ibnu Mas’ud. Para ulama peneliti menyatakan bahwa pendapat Ibnu ‘Abbas dan Ibnu Mas’ud dalam masalah berlipatnya dosa, yang dimaksud adalah berlipatnya dalam kayfiyah (kualitas), bukan dari kammiyah (kuantitas).”

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin berkata dalam Syarhul Mumthi’ (7: 262), “Kebaikan bisa berlipat, dosa pun demikian dilihat dari tempat dan waktu.

Kebaikan itu berlipat dilihat dari kammiyah (kuantitas atau jumlah) dan kayfiyah (kualitas). Adapun dosa berlipat-lipat dilihat dari kayfiyah (kualitas), bukan dari kammiyah (kuantitas). [Maksudnya: dosa tidak dilipatgandakan dari sisi jumlah, namun dipandang dari sisi besarnya]. Allah Ta’ala berfirman,

مَنْ جَاءَ بِالْحَسَنَةِ فَلَهُ عَشْرُ أَمْثَالِهَا وَمَنْ جَاءَ بِالسَّيِّئَةِ فَلا يُجْزَى إِلا مِثْلَهَا وَهُمْ لا يُظْلَمُونَ

Barangsiapa membawa amal yang baik, maka baginya (pahala) sepuluh kali lipat amalnya; dan barangsiapa yang membawa perbuatan jahat maka dia tidak diberi pembalasan melainkan seimbang dengan kejahatannya, sedang mereka sedikitpun tidak dianiaya (dirugikan).” (QS. Al-An’am: 160)

Begitu juga dalam ayat lainnya disebutkan,

وَمَنْ يُرِدْ فِيهِ بِإِلْحَادٍ بِظُلْمٍ نُذِقْهُ مِنْ عَذَابٍ أَلِيمٍ

Dan siapa yang bermaksud di dalamnya melakukan kejahatan secara zalim, niscaya akan Kami rasakan kepadanya sebahagian siksa yang pedih.” (QS. Al-Hajj: 25). Dalam ayat tidak dikatakan akan dilipatgandakan, namun dikatakan akan ditimpakan azab. Sehingga yang melakukan dosa di Makkah atau di Madinah, berarti secara kualitas dosanya bertambah besar, bukan dari sisi jumlah yang berlipat-lipat. Maksudnya, siksanya lebih pedih.

Semoga bermanfaat. Hanya Allah yang memberi taufik dan hidayah.

 

Referensi:

Fatwa Al-Islam Al-Jawab no. 38213

Selesai disusun di Panggang, Gunungkidul, 12 Ramadhan 1436 H menjelang waktu berbuka

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

Sumber: https://rumaysho.com/11282-berbuat-dosa-di-bulan-ramadhan-apakah-dosanya-berlipat-lipat.html

21 Juni 2016

HUKUM PERAYAAN NUZULUL QUR’AN PADA TANGGAL 17 RAMADHAN

Perayaan Nuzulul Qur’an yang biasa dirayakan oleh sebagian orang pada tanggal 17 Ramadhan atau hari lainnya di bulan Ramadhan termasuk kategori bid’ah, mengada-ada dalam agama, tidak ada contohnya dari Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam dan mengandung beberapa pelanggaran:

➡ Pertama: Bermaksud Baik Tapi Menempuh Cara yang Salah

Maksudnya baik ingin memuliakan Al-Qur’an tapi dengan cara yang justru bertentangan dengan Al-Qur’an, maka yang terjadi bukan menghormati Al-Qur’an malah menyelisihi Al-Qur’an. Karena Allah ta’ala berfirman dalam Al-Qur’an,

أَمْ لَهُمْ شُرَكَاءُ شَرَعُوا لَهُمْ مِنَ الدِّينِ مَا لَمْ يَأْذَنْ بِهِ اللَّهُ

“Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah!?” [Asy-Syuro: 21]

Mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah artinya berbuat bid’ah dalam agama tanpa dalil Al-Qur’an dan As-Sunnah, maka ayat Al-Qur’an yang mulia ini mengandung peringatan keras terhadap orang-orang yang berbuat bid’ah dalam agama, bagaimana mungkin dikatakan memuliakan Al-Qur’an dengan cara menyelisihinya?!

Al-Imam Al-Mufassir Ibnu Jarir Ath-Thobari rahimahullah berkata,

يقول تعالى ذكره: أم لهؤلاء المشركين بالله شركاء في شركهم وضلالتهم (شَرَعُوا لَهُمْ مِنَ الدِّينِ مَا لَمْ يَأْذَنْ بِهِ اللَّهُ) يقول: ابتدعوا لهم من الدين ما لم يبح الله لهم ابتداعه

“Firman Allah ta’ala dzikuruhu tersebut maknanya: Apakah orang-orang yang menyekutukan Allah dengan sesembahan-sesembahan yang lain dalam kesyirikan dan kesesatan mereka itu “yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah!?” Artinya: Mengada-ada (berbuat bid’ah) untuk mereka agama yang Allah tidak izinkan untuk mereka mengada-adakannya!?”[Tafsir Ath-Thobari, 21/522]

Oleh karena itu semua bid’ah itu sesat, karena orang yang melakukannya seakan-akan menyaingi Allah dalam menetapkan syari’at. Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda,

وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ

“Dan berhati-hatilah kalian terhadap perkara baru (bid’ah dalam agama) karena setiap bid’ah itu sesat.” [HR. Abu Dawud dan At-Tirmidzi dari ‘Irbadh bin Sariyah radhiyallahu’anhu]

Sahabat yang Mulia Ibnu Umar radhiyallahu’anhu berkata,

كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةُ وَإِنْ رَآهَا النَّاس حَسَنَة

“Setiap bid’ah itu sesat, meski manusia menganggapnya hasanah (baik).” [Dzammul Kalaam: 276]

➡ Kedua: Mengada-ada dalam Agama dan Menyelisihi Petunjuk Nabi Muhammad shallallahu’alaihi wa sallam

Padahal kepada beliaulah Al-Qur’an diturunkan, dan beliau adalah sebaik-baiknya teladan di dalam mengamalkan Al-Qur’an, mengapa ada orang yang merasa lebih tahu dari beliau dalam membuat-buat cara baru untuk mengamalkan Al-Qur’an?!

Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ فِيهِ فَهُوَ رَدٌّ

“Barangsiapa yang mengada-ngada dalam agama kami ini suatu ajaran yang bukan daripadanya maka ia tertolak.” [HR. Al-Bukhari dan Muslim dari Aisyah radhiyallahu’anha]

Dalam riwayat Muslim,

مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهْوَ رَد

“Barangsiapa yang melakukan suatu amalan yang tidak ada padanya perintah kami, maka amalan tersebut tertolak.” [HR. Muslim dari Aisyah radhiyallahu’anha]

Mufti Saudi Arabia Asy-Syaikh Muhammad bin Ibrahim Aalusy Syaikh rahimahullah berkata,

جواز اتخاذ يوم نزول القرآن عيدا يتكرر بتكرر الأعوام، فهذا وإن كان قصد صاحبه حسنا إلا أنه لما لم يكن مشروعا، ولم يرد عن النبي صلى الله عليه وسلم، ولا عن أحد من خلفائه الراشدين وسائر صحابته والتابعين لهم بإحسان، ولا عن أحد من الأئمة الأربعة: مالك وأبي حنيفة والشافعي وأحمد بن حنبل، ولا عن غيرهم من الأئمة المقتدى بهم سلفا وخلفا، فلما لم يكن مشروعا ولا ورد عن أحد ممن ذكر تعين التنبيه على أن مثل هذا لا يجوز شرعا؛ لأنه لا أصل له في الدين، ولم يكن من عمل المسلمين

“Pendapat bolehnya menjadikan hari turunnya Al-Qur’an sebagai hari perayaan setiap tahun, maka walaupun orang yang merayakannya berniat baik akan tetapi perayaan tersebut tidak disyari’atkan, dan tidak ada satu pun riwayat dari Nabi shallallahu’alaihi wa sallam, tidak pula dari salah seorang Al-Khulafaaur Raasyidin, tidak seluruh sahabat, tidak tabi’in yang mengikuti mereka dengan baik, tidak salah seorang dari imam yang empat: Malik, Abu Hanifah, Syafi’i dan Ahmad bin Hanbal, serta tidak pula dari imam-imam lainnya yang patut diteladani dahulu maupun sekarang. Maka ketika perayaan Nuzulul Qur’an itu tidak disyari’atkan dan tidak pula diriwayatkan dari seorang pun yang telah kami sebutkan, jelaslah bahwa amalan seperti ini tidak dibolehkan secara syari’at, karena tidak memiliki dasar dalam agama dan tidak termasuk amalan kaum muslimin.”[Majallatul Buhutsil Islamiyah, 76/33]

➡ Ketiga: Al-Qur’an dan As-Sunnah Hanya Menetapkan Dua Hari Raya

Hari perayaan tahunan dalam Islam hanyalah idul fitri dan idul adha, tidaklah patut menambah-nambahi agama yang sudah sempurna ini. Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ لِكُلِّ قَوْمٍ عِيدًا وَهَذَا عِيدُنَا

“Sesungguhnya setiap kaum memiliki hari raya, dan ini adalah hari raya kita.” [HR. Al-Bukhari dan Muslim dari Ummul Mukminin Aisyahradhiyallahu’anha]

Sahabat yang Mulia Anas bin Malik radhiyallahu’anhu berkata,

قَدِمَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- الْمَدِينَةَ وَلَهُمْ يَوْمَانِ يَلْعَبُونَ فِيهِمَا فَقَالَ مَا هَذَانِ الْيَوْمَانِ قَالُوا كُنَّا نَلْعَبُ فِيهِمَا فِى الْجَاهِلِيَّةِ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- إِنَّ اللَّهَ قَدْ أَبْدَلَكُمْ بِهِمَا خَيْرًا مِنْهُمَا يَوْمَ الأَضْحَى وَيَوْمَ الْفِطْرِ

“Ketika Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam mendatangi kota Madinah, para sahabat memiliki dua hari raya yang padanya mereka bersenang-senang. Maka beliau bersabda: Dua hari apa ini? Mereka menjawab: Dua hari yang sudah biasa kami bersenang-senang padanya di masa Jahiliyah. Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda: Sesungguhnya Allah telah mengganti kedua hari tersebut dengan dua hari yang lebih baik, yaitu idul adha dan idul fitri.” [HR. Abu Daud, Shahih Abi Daud: 1039]

Barangsiapa menambah-nambahi agama yang telah sempurna ini dengan cara mengada-adakan perayaan Nuzulul Qur’an atau perayaan hari-hari yang lainnya maka ia telah menentang Al-Qur’an, karena Al-Qur’an telah mengabarkan bahwa agama Islam telah sempurna, tidak memerlukan tambahan dan tidak boleh dikurangi, bagaimana mungkin dikatakan ia mengamalkan Al-Qur’an?!

Al-Imam Malik rahimahullah berkata,

مَنِ ابْتَدَعَ فِي الْإِسْلَامِ بِدْعَةً يَرَاهَا حَسَنَةً، زَعَمَ أَنَّ مُحَمَّدًا صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَانَ الرِّسَالَةَ، لِأَنَّ اللَّهَ يَقُولُ: {الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ} [المائدة: 3]، فَمَا لَمْ يَكُنْ يَوْمَئِذٍ دِينًا، فَلَا يَكُونُ الْيَوْمَ دِينًا.

“Barangsiapa berbuat bid’ah dalam Islam yang ia anggap sebagai bid’ah hasanah, maka ia telah menuduh Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam telah mengkhianati tugas kerasulan, karena Allah ta’ala berfirman,

الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ

“Pada hari ini telah Ku-sempurnakan untuk kamu agamamu.” (Al-Maidah: 3)

Maka sesuatu yang pada hari itu bukan ajaran agama, pada hari ini pun bukan ajaran agama.” [Al-I’tishom lisy Syaathibi rahimahullah, hal. 64-65]

➡ Keempat: Kapan Al-Qur’an Diturunkan?

Penentuan tanggal 17 Ramadhan itu sendiri sebagai hari turunnya Al-Qur’an pertama kali di dunia adalah pendapat yang lemah, tidak berdasar pada dalil yang kuat, dan apabila yang mereka maksudkan tanggal 17 Ramadhan adalah turunnya Al-Qur’an ke langit dunia maka menyelisihi firman Allah ta’ala dalam Al-Qur’an,

إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ

“Sesungguhnya Kami telah menurunkan Al-Qur’an pada lailatul qodr.” [Al-Qodr: 1]

Dan lailatul qodr ada di salah satu malam dari sepuluh malam terakhir Ramadhan. Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda,

تَحَرَّوْا لَيْلَةَ الْقَدْرِ فِي الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ

“Carilah lailaul qodr pada sepuluh malam terakhir Ramadhan.” [HR. Al-Bukhari dan Muslim dari Aisyah radhiyallahu’anha]

Andai benar sekali pun bahwa Al-Qur’an pertama kali turun pada tanggal 17 Ramadhan maka itu sama sekali bukan dalil yang menujukkan disyari’atkannya merayakan turunnya Al-Qur’an, dan tidak ada dalil satu pun yang menujukkan bahwa Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam merayakannya, tidak di tanggal tersebut, tidak pula di hari yang lainnya.

➡ Kelima: Amalan yang Seharusnya Dilakukan

Yang seharusnya dilakukan oleh kaum muslimin adalah memperbanyak ibadah dengan ikhlas karena Allah dan mengikuti petunjuk Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam di bulan yang penuh berkah ini, terutama di sepuluh hari terakhir Ramadhan, hendaklah diisi dengan memaksimalkan ibadah yang disyari’atkan, jangan mengada-adakan sesuatu yang tidak disyari’akan.

Dan termasuk mengada-ada di sepuluh malam terakhir Ramadhan adalah perayaan lailatul qodr di malam 27 Ramadhan, padahal lailatul qodr bisa berubah-rubah waktunya di setiap tahun, dan yang disyari’akan adalah menghidupkan lailatul qodr dengan ibadah, bukan dengan perayaan. Disebutkan dalam fatwa ulama besar yang tergabung dalam Komite Tetap untuk Pembahasan Ilmiah dan Fatwa,

وأما الاحتفال بليلة سبع وعشرين على أنها ليلة القدر فهو مخالف لهدي الرسول صلى الله عليه وسلم، فإنه صلى الله عليه وسلم لم يحتفل بليلة القدر، فالاحتفال بها بدعة.

“Adapun perayaan malam 27 Ramadhan sebagai lailatul qodr maka menyelisihi petunjuk Rasul shallallahu’alaihi wa sallam, karena sesungguhnya beliau shallallahu’alaihi wa sallam tidak pernah merayakan lailatul qodr, maka perayaan itu adalah bid’ah.” [Fatawa Al-Lajnah Ad-Daaimah, 3/59 no. 167]

Apabila bid’ah perayaan-perayaan ini masih ditambah dengan penentuan bacaan-bacaan atau amalan-amalan tertentu, cara-cara tertentu dalam membacanya, seperti dilakukan secara berjama’ah, maka ini adalah bid’ah dari sisi yang lain. Dan tidak jarang dalam perayaan-perayaan itu juga terdapat nyanyian, musik, ikhtilat, tabarruj dan berbagai kemaksiatan lainnya.

وبالله التوفيق وصلى الله على نبينا محمد وآله وصحبه وسلم

💾 Sumber:

🌍 https://www.facebook.com/sofyanruray.info/posts/625120757637410:0

🌐 http://sofyanruray.info/hukum-perayaan-nuzulul-quran-pada-tanggal-17-ramadhan/

══════ ❁✿❁ ══════

Tinggalkan Gaji 30 Juta dan Fasilitas Mewah demi Shalat Jamaah.....

Pekerjaannya sudah mapan; accounting di sebuah perusahaan Jepang di Jakarta. Gajinya juga sangat menggiurkan; 30 juta per bulan. Belum lagi sejumlah fasilitas mewah yang ia terima.

Namun, semua itu tidak membuat Mifta bahagia. Ia gelisah. Sebab di perusahaan itu, ia tidak bisa shalat jamaah.

Mifta pun memilih resign. Ia tinggalkan pekerjaan mapan itu dan beralih menjadi sales motor. “Asal bisa shalat jamaah,” kata Mifta.

Tiga bulan sudah Mifta tak lagi menjadi orang kantoran. Ia kini lebih sering di luar. Kulitnya yang semula putih bersih, kini mulai kecoklatan diterpa sinar matahari dan debu jalanan. Ia yang biasanya berdasi kini ke mana-mana pakai jaket kulit. Sebab dulu ia menggunakan mobil dinas dan sekarang hanya motor kendaraannya. Dan yang benar-benar ia rasa menjadi ujian, tiga bulan ini belum berhasil menjual satu motor pun.

Hujan belum juga reda. Seperti mengerti gerimis hati Mifta sore itu. Maka di masjid tersebut, ia berlama-lama. Tak langsung pulang setelah shalat jamaah, sambil menunggu hujan reda. Meski agak galau karena kondisi finansialnya, ada seberkas damai bisa shalat berjamaah dan bermunajat padaNya. Apalagi di tengah hujan seperti ini, saat Allah mengabulkan doa-doa hambaNya.

Tak jauh dari Mifta, sepasang mata memperhatikannya. Pria paruh baya itu juga tak langsung pulang setelah shlat berjamaah.

“Kerja di mana, Mas?” kata pria itu setelah berucap salam.

“Saya nyales Pak. Dulu pernah kerja di perusahaan Jepang,” Mifta menceritakan identitasnya secara singkat.

“Di bagian apa dulu waktu di perusahaan?”

“Akuntan, Pak”

“Wah, jadi bisa mengerjakan laporan pajak juga?”

“Alhamdulillah, itu dulu pekerjaan saya Pak”

“Kebetulan kalau begitu. Saya sedang pusing karena pajak saya sedang dipermasalahkan. Bisa tidak Mas membantu merapikan laporan pajak saya?”

“Insya Allah, Pak”

Hari-hari berikutnya, kurang lebih satu pekan Mifta membantu menyelesaikan laporan pajak pria itu. Dan setelah laporan selesai, pria itu sangat puas karena pajaknya tak lagi dipermasalahkan. Ia yang tadinya terancam denda hingga miliaran rupiah, kini tak lagi bermasalah. Sebagai imbalannya, ia memberikan fee 100 juta kepada Mifta.

Menerima fee sebanyak itu, Mifta tersungkur sujud syukur. Ia tak pernah menyangka.

“Ya Allah… aku meninggalkan pekerjaan itu demi shalat jamaah. Aku sempat mengeluh dan hampir berburuk sangka kepadaMu, ternyata Engkau mengumpulkan gajiku selama tiga bulan dan memberikannya kepadaku sekarang,” air mata kesyukuran pun jatuh ke bumi.

*Diadaptasi dari kisah nyata teman Ustadz DR. Muhammad Arifin Badri

www.seminarjatim.com

Qunut Pada Sholat Witir

Definisi Qunut
Secara etimologi, qunut bermakna banyak. Ada lebih dari sepuluh makna sebagaimana nukilan Al-Hâfizh Ibnu Hajar, dari Al-Iraqy, dan Ibnul Araby.
Makna-makna tersebut adalah: 1) Doa, 2) Khusyu’, 3) Ibadah, 4) Taat, 5) Pelaksanaan ketaatan, 6) Penetapan ibadah kepada Allah, 7) Diam, 8) Shalat, 9) Berdiri, 10) Lama berdiri, dan 11) Kontinu  dalam ketaatan.[1]
Adapun secara terminologi, qunut bermakna seperti yang disebutkan oleh Al-Hâfizh Ibnu Hajr Al-Asqalâny rahimahullâh, “Doa dalam shalat pada tempat khusus dalam keadaan berdiri.”[2]
Makna secara terminologi inilah yang diinginkan oleh para ulama fiqih dan kebanyakan ulama lain dalam buku-buku mereka.[3]

Syariat Qunut
Syariat tentang qunut dalam shalat Witir telah sah sebagaimana dalam hadits Al-Hasan bin ‘Ali radhiyallâhu ‘anhu bahwa beliau berkata,

20 Juni 2016

Qunut Witir Setelah Pertengahan Ramadhan

Berkenaan dengan anjuran sebagian orang mengenai qunut witir setelah pertengahan Ramadhan, maka kami sengaja menghadirkan kapan waktu membaca qunut witir. Apakah boleh sepanjang tahun? Ataukah khusus hanya setelah pertengahan Ramadhan?

Tentang masalah qunut witir ada beberapa pendapat di antara para ulama.

Pertama: Hukum qunut witir itu makruh. Inilah pendapat ulama Malikiyah. Alasannya, tidak ada sunnah (tuntunan) dalam hal ini. Yang ada, qunut hanyalah pada shalat Shubuh saat nawazil.

Kedua: Qunut witir disunnahkan ketika separuh akhir dari bulan Ramadhan saja. Inilah pendapat yang masyhur dalam madzhab Syafi’iyah dan ada perkataan dari Imam Ahmad mengenai hal ini. Ketika Abu Daud menanyakan pada Imam Ahmad, “Apakah qunut itu sepanjang?” “Jika engkau mau.” Abu Daud bertanya lagi, “Apa pendapat yang engkau pilih?” Jawab Imam Ahmad, “Adapun saya tidaklah berqunut kecuali setelah pertengahan  Ramadhan. Namun jika aku bermakmum di belakang imam lain dan ia berqunut, maka aku pun mengikutinya.” (Masail Ahmad li Abi Daud, 66). Mereka pun berdalil tentang riwayat dari Ibnu ‘Umar, diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dengan sanad shohih (Al Mushonnaf, 2: 98)

Ketiga: Disunnahkan pada bulan Ramadhan saja tidak pada bulan lainnya. Inilah pendapat ulama Malikiyah dan Syafi’iyah.

Keempat: Qunut witir disunnahkan dibaca setiap malam sepanjang  tahun. Inilah pendapat Ibnu Mas’ud dan Ibrahim An Nakho’i. Pendapat ini dianut oleh Hanafiyah, salah satu pendapat Syafi’iyah.

Di antara dalilnya:

1. Al Hasan bin Ali radhiyallahu ‘anhuma berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajariku beberapa kalimat yang saya ucapkan dalam shalat witir, yaitu

اللَّهُمَّ اهْدِنِى فِيمَنْ هَدَيْتَ وَعَافِنِى فِيمَنْ عَافَيْتَ وَتَوَلَّنِى فِيمَنْ تَوَلَّيْتَ وَبَارِكْ لِى فِيمَا أَعْطَيْتَ وَقِنِى شَرَّ مَا قَضَيْتَ فَإِنَّكَ تَقْضِى وَلاَ يُقْضَى عَلَيْكَ وَإِنَّهُ لاَ يَذِلُّ مَنْ وَالَيْتَ تَبَارَكْتَ رَبَّنَا وَتَعَالَيْتَ

Allahummahdiini fiiman hadait, wa’aafini fiiman ‘afait, watawallanii fiiman tawallait, wabaarik lii fiima a’thait, waqinii syarrama qadlait, fainnaka taqdhi walaa yuqdho ‘alaik, wainnahu laa yadzillu man waalait, tabaarakta rabbana wata’aalait. (Ya Allah, berilah aku petunjuk di antara orang-orang yang Engkau beri petunjuk, dan berilah aku keselamatan di antara orang-orang yang telah Engkau beri keselamatan, uruslah diriku di antara orang-orang yang telah Engkau urus, berkahilah untukku apa yang telah Engkau berikan kepadaku, lindungilah aku dari keburukan apa yang telah Engkau tetapkan, sesungguhnya Engkau Yang memutuskan dan tidak diputuskan kepadaku, sesungguhnya tidak akan hina orang yang telah Engkau jaga dan Engkau tolong. Engkau Maha Suci dan Maha Tinggi)” (HR. Abu Daud no. 1425, An Nasai no. 1745, At Tirmidzi no. 464. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)

2. Hadits Ubay bin Ka’ab yaitu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berqunut dalam shalat witir. (HR. Abu Daud no. 1427, shahih menurut Syaikh Al Albani). Hadits ini mutlak tidak khusus pada bulan Ramadhan.

3. Sebagaimana dinukil dari Imam Ahmad pula bahwasanya ‘Umar pun berpendapat seperti ini.

Mufti Saudi Arabia di masa silam, Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz ditanya:  Apa hukum membaca do’a qunut setiap malam ketika (shalat sunnah) witir?

Jawab: Tidak masalah mengenai hal ini. Do’a qunut (witir) adalah sesuatu yang disunnahkan. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun biasa membaca qunut tersebut. Beliau pun pernah mengajari (cucu beliau) Al Hasan beberapa kalimat qunut untuk shalat witir. Ini termasuk hal yang disunnahkan. Jika engkau merutinkan membacanya setiap malamnya, maka itu tidak mengapa. Begitu pula jika engkau meninggalkannya suatu waktu sehingga orang-orang tidak menyangkanya wajib, maka itu juga tidak mengapa. Jika imam meninggalkan membaca do’a qunut suatu waktu dengan tujuan untuk mengajarkan manusia bahwa hal ini tidak wajib, maka itu juga tidak mengapa. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika mengajarkan do’a qunut pada cucunya Al Hasan, beliau tidak mengatakan padanya: “Bacalah do’a qunut tersebut pada sebagian waktu saja”. Sehingga hal ini menunjukkan bahwa membaca qunut witir terus menerus adalah sesuatu yang dibolehkan. [Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz rahimahullah, Fatawa Nur ‘alad Darb, 2/1062]

Kesimpulan pendapat

Ibnu Taimiyah berkata setelah menyebutkan pendapat para ulama tentang qunut witir,

وَحَقِيقَةُ الْأَمْرِ أَنَّ قُنُوتَ الْوِتْرِ مِنْ جِنْسِ الدُّعَاءِ السَّائِغِ فِي الصَّلَاةِ مَنْ شَاءَ فَعَلَهُ وَمَنْ شَاءَ تَرَكَهُ . كَمَا يُخَيَّرُ الرَّجُلُ أَنْ يُوتِرَ بِثَلَاثِ أَوْ خَمْسٍ أَوْ سَبْعٍ وَكَمَا يُخَيَّرُ إذَا أَوْتَرَ بِثَلَاثِ إنْ شَاءَ فَصَلَ وَإِنْ شَاءَ وَصَلَ . وَكَذَلِكَ يُخَيَّرُ فِي دُعَاءِ الْقُنُوتِ إنْ شَاءَ فَعَلَهُ وَإِنْ شَاءَ تَرَكَهُ وَإِذَا صَلَّى بِهِمْ قِيَامَ رَمَضَانَ فَإِنْ قَنَتَ فِي جَمِيعِ الشَّهْرِ فَقَدْ أَحْسَنَ وَإِنْ قَنَتَ فِي النِّصْفِ الْأَخِيرِ فَقَدْ أَحْسَنَ وَإِنْ لَمْ يَقْنُتْ بِحَالِ فَقَدْ أَحْسَنَ .

“Hakekatnya, qunut witir adalah sejenis do’a yang dibolehkan dalam shalat. Siapa yang mau membacanya, silakan. Dan yang enggan pun dipersilakan. Sebagaimana dalam shalat witir, seseorang boleh memilih tiga, lima, atau tujuh raka’at semau dia. Begitu pula ketika ia melakukan witir tiga raka’at, maka ia boleh melaksanakan 2 raka’at salam lalu 1 raka’at salam, atau ia melakukan tiga raka’at sekaligus. Begitu pula dalam hal qunut witir, ia boleh melakukan atau meninggalkannya sesuka dia. Di bulan Ramadhan, jika ia membaca qunut witir pada keseluruhan bulan Ramadhan, maka itu sangat baik. Jika ia berqunut di separuh akhir bulan Ramadhan, itu pun baik. Jika ia tidak berqunut, juga baik.” (Majmu’ Al Fatawa, 22: 271)

Pembahasan selengkapnya di website kami Rumaysho.Com >>  https://rumaysho.com/2725-qunut-witir-setelah-pertengahan-ramadhan.html

04 Juni 2016

Bawakan Aku Pohon Cinta (Bag. 3)

Agar supaya pohon cinta kita tetap tumbuh dengan baik dan menghasilkan bunga-bunga cinta yg harum semerbak serta buah cinta yg ranum dan manis rasanya, maka ada beberapa hal yg perlu diperhatikan, yaitu :

07 Mei 2016

DUNIA YANG TAK ADA HABISNYA


Dunia oh dunia
Mengapa engkau seperti tak ada habis-habisnya
Kesibukanmu melibas hidup kami tak tersisa
Kepadatanmu merenggut nafas kami hingga habis
Hingga tak sempat lagi menyisakan waktu untuk perjalanan akhirat
Hingga kami lupa dan hilang kesadaran bahwa engkau wahai dunia hanya sementara

Dunia oh dunia
Mengapa kilaumu begitu melenakan
Keindahanmu menyeret jiwa kami hingga terkulai
Gemerlapmu membuat akal  sehat kami hilang fungsi
Hingga tak sempat lagi mengingatkan diri
Bahwa kematian akan datang tanpa basa basi

Saudaraku
Sampai kapan engkau takluk oleh dunia
Sampai kapan engkau terpenjara dalam kesibukan tak berujung
Sampai kapan engkau terperangkap dalam dekapan kawan duniamu
Yang jauhkan engkau dari Allah,
Yang lenakan engkau dari akhirat.
Sesalilah kelalaianmu sekarang
Karena sesal di dunia masih ada gunanya.
Tapi sesalmu di akhirat takkan pernah ada lagi gunanya



Naskah oleh : Ustadz Muhammad Ihsan Zainuddin, Lc., MA.

29 April 2016

7 Mutiara Menuju Kebahagiaan Rumah Tangga

ومن أياته أن خلق لكم من أنفسكم أزواجا لتسكونوا إليها وجعل بينكم مودة ورحمة إن في ذالك لأيات لقوم يتفكرون

Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir. [QS. Ar-Rum ayat 21]

Hadis Nabi saw :

فال رسول الله صلى عليه وسلم : النكاح سنتى فمن رغب عن سنتي فليس منى 

Pernikahan adalah perbuatan yang selalu diinginkan dan didambakan oleh setiap manusia yang hidup. Pernikahan itu adalah sunnah Nabi [النكاح سنتى], maka barang siapa yang tidak melaksanakan nikah, kata Nabi saw bukan golongannya [فمن رغب عن سنتئ فليس منى]. Pernikahan harus didasarkan pada agama, ibadah, dan menjalankan sunnah Nabi saw, dan bukan didasarkan pada nafsu belaka atau didasarkan tujuan lain yang tidak sesuai dengan ajaran agama Islam. 

20 April 2016

Bawakan Aku Pohon Cinta (Bag. 2)

Pernikahan itu intinya adalah relasi atau hubungan antara suami istri. Suatu hubungan yang bukan hanya dibiarkan mengalir dengan sendirinya, tetapi juga harus dijaga alirannya agar tidak terjadi kebuntuan.
Disaat pasangan tak mampu mempertahankan maghligai rumah tangga, sering kita mendengarkan kata-kata klise sebagai simbol ketidak berdayaan dalam mempertahankan kebersamaan, diantaranya :
- sudah tidak ada lagi cinta dalam hubunganku, semua serasa hambar, tidak seperti diawal pernikahan.
- ini mimpi buruk dalam hidupku, mengapa sy memilih dia sebagai pendampingku, ahhh ini pelajaran berharga unt tidak terulang.
- saya memang kurang pertimbangan dulu waktu menikah.
- tidak ada jalan lain selain bercerai, inilah jalan terbaik yg terpaksa harus kulakukan
- bukan karena adanya orang ke-3 mengapa kami harus berpisah, namun kami tidak se visi lagi.
Dan ribuan lagi ungkapan pembelaan diri, namun ujung2nya adalah pisah. Ibarat bunga, ia telah layu setelah harum dan kesegarannya hilang.

Jika cinta itu diibaratkan seperti pohon, maka dengan mudahnya kita kemetik bunga2 nya yg harum semerbak sepanjang waktu bahkan buah2 nya yg segar dan bergizipun akan kita tuai.
Allah berfirman,
"Dan tanah yang baik, tanam2nya tumbuh subur dengan izin Tuhan, dan tanah yang buruk, tanam2nya tumbuh merana. Demikianlah kami menjelaskan berulang-ulang tanda-tanda kebesaran Kami bagi orang-orang yang bersyukur" (QS. 7:58).
Tanah itulah maghligai rumah tangga yang diatasnya ditanam pohon cinta kita. Pilihlah dengan baik tanah yang subur, agar pohon cinta dapat tumbuh subur. Itulah mengapa sebelum menikah harus mencari pasangan terbaik, wanita yang sholehah atau laki2 yang shaleh, sebab itulah tanah yang paling subur lagi gembur. Jika pasangan yang didapatkan justru kebalikannya, maka sebagus apapun tanaman yang ditanam diatasnya maka akan tumbuh merana, sesengsara cinta yang ditanam diatas tanah gersang.
Jika cinta diibaratkan seperti pohon, maka pohon itu terdiri dari akar, batang dan daun. Jika ada pohon tanpa akar, jangan harap pohon itu bisa bertahan hidup, sebagus apapun tanahnya. Akar adalah ibarat pondasi awal yang akan dibangun apa saja diatasnya. Semakin kuat akar menahan beban, maka akan semakin baik pohon itu.
Akar dari pohon cinta, itulah tujuan dan motivasi dalam menikah. Jika tujuanya adalah untuk ibadah, motivasinya adalah Ridha Allah, serta paradigmanya adalah kebersamaan dalam ketaqwaan, maka akarnya akan kuat.
Batang dari pohon cinta adalah keterbukaan dan penerimaan. Kalau akar tak terlihat, maka bahagiaan pohon yang paling terlihat adalah batangnya. Sekuat apapun anda menutupi kekurangan maka pasti akan terlihat juga. Olehnya dalam rumah tangga, terbukalah dengan pasangan anda, dan terimalah kelebihan dan kekurangan tersebut, niscaya anda akan menua bersama.
Daun dari pohon cinta adalah sikap dan perilaku. Pohon itu akan mudah dikenal dari daunnya. Olehnya sangat mudah kita mengenali pasangan kita dari sikap dan perilakynya.
Cara untuk merawat pohon cinta adalah dengan menyiram, memupuk, penyiangan, dan pemangkasan. Berhati-hati pulalah dengan hama dan gulma yg selalu ingin menyerang pohon itu. Demikian pula penyakit yang siap menggerogoti pohon cinta itu. Kemampuan dalam memelihara, sangat diutamakan.
InsyaAllah, pembahasan rincinya akan dilanjutkan pd bag.3
Semoga bermanfaat

Ustadz Askaryaman, S.Pd., M.Pd.

Bawakan Aku Pohon Cinta, Jangan Bunga Cinta (Bag.1)

Jika rasa cinta dengan pasanganmu sudah mulai hambar, luntur, tak bergairah, tak ada rasa, dll, itu bukan disebabkan krn rasa cinta itu telah hilang tapi cintamu selalu engkau identikkan dengan bunga.
Ingatkah saat cintamu menggebu2 dengannya, engkapun berkata, "hatiku berbunga-bunga, andai kau kumbang akulah bunganya, setangkai bunga sebagai bukti cintaku padamu, dll".
Tahukah anda, jika cinta diidentikkan dengan bunga ???. Berapa lama sih bunga itu bertahan kesegaran dan harum semerbaknya ??. Biar engkau melakukan perawatan yg ekstra hati-hati pada bunga itu, paling lama bertahan 5 hari, bunga itu akan layu dan harum semerbaknya akan berganti bau yg tdk sedap dan akhirnya bunga itupun akan dicampakkan dan tak dihargai lagi.
Namun jika cinta yg engkau bawa unt pasanganmu dalam bentuk Pohon Cinta, maka pohon itu akan selalu mengeluarkan bunga setiap waktu, kapan saja, dan cintamu akan terus berssemi kapan saja. Cintamu akan awet, seawet pohon cinta itu, sepanjang engkau mampu menjaga, memelihara dan merawat pohon cintamu.
Maaf cinta yg ku maksud adalah cinta setelah menikah sebagai suami istri. Akan kulanjutkan tulisan ini, bagaimana cara merawat pohon cinta dalam mahligai rumah tangga.


Ustadz Askaryaman, S.Pd., M.Pd.

BACA JUGA

KESURUPAN DALAM TINJAUAN AKIDAH ISLAM

  Oleh Ustadz DR. Ali Musri Semjan Putra, MA Para pembaca yang dirahmati Allâh Azza wa Jalla Semoga Allâh Azza wa Jalla senantiasa menjadika...