Tarawih adalah bentuk jamak dari tarwihah, secara bahasa artinya istirahat sekali. Dinamakan demikian karena biasanya dahulu para sahabat ketika shalat tarawih mereka memanjangkan berdiri, rukuk dan sujudnya. Maka ketika sudah mengerjakan empat rakaat, mereka istirahat, kemudian mengerjakan empat rakaat lagi, kemudian istirahat, kemudian mengerjakan tiga rakaat (lihat Lisanul Arab, 2/462, Mishbahul Munir, 1/244, Syarhul Mumthi, 4/10).
Secara istilah tarawih artinya qiyam Ramadhan, atau shalat di malam hari Ramadhan (lihat Al Mughni, 1/455, Syarah Shahih Muslim lin Nawawi, 6/39).
Keutamaan Shalat Tarawih
- Shalat tarawih merupakan sebab mendapatkan ampunan dosa-dosa yang telah lalu
Dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu, beliau berkata:
كان رسولُ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم يُرغِّبُ في قيامِ رمضانَ من غير أنْ يأمرَهم فيه بعزيمةٍ، فيقولُ: مَن قامَ رمضانَ إيمانًا واحتسابًا غُفِرَ له ما تَقدَّمَ مِن ذَنبِه
Biasanya Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam memotivasi orang-orang untuk mengerjakan qiyam Ramadhan, walaupun beliau tidak memerintahkannya dengan tegas. Beliau bersabda: “Orang yang shalat tarawih karena iman dan mengharap pahala, akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu” (HR. Bukhari no. 2009, Muslim no. 759).
- Orang yang tarawih berjamaah bersama imam sampai selesai, dicatat baginya shalat semalam suntuk
Dari Abu Dzar radhiallahu’anhu, ia berkata:
قلت: يا رسولَ اللهِ، لو نَفَّلْتَنا قيامَ هذه اللَّيلةِ؟ فقال: إنَّ الرَّجُلَ إذا صلَّى مع الإمامِ حتى ينصرفَ، حُسِبَ له قيامُ ليلةٍ
Aku pernah berkata: wahai Rasulullah, andaikan engkau menambah shalat sunnah bersama kami malam ini! Maka Nabi bersabda: “sesungguhnya seseorang yang shalat bersama imam sampai selesai, ditulis baginya pahala shalat semalam suntuk” (HR. Tirmidzi no. 806, dishahihkan Al Albani dalam Shahih At Tirmidzi).
- Orang yang rutin mengerjakan shalat tarawih, jika wafat maka dicatat sebagai shiddiqin dan syuhada
Dari Amr bin Murrah Al Juhani radhiallahu’anhu, ia berkata:
جاءَ رجلٌ من قُضاعةَ إلى النبيِّ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم فقال: إنِّي شهدتُ أنْ لا إلهَ إلَّا اللهُ، وأنَّكَ رسولُ اللهِ، وصليتُ الصلواتِ الخمسَ، وصُمتُ رَمضانَ وقُمتُه، وآتيتُ الزكاةَ، فقال رسولُ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم: مَن ماتَ على هذا كانَ من الصِّدِّيقينَ والشُّهداءِ
Datang seseorang dari gurun kepada Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam, ia berkata: aku bersyahadat bahwa tiada sesembahan yang haq kecuali Allah dan bahwasanya engkau adalah utusan Allah. Aku shalat 5 waktu, aku puasa Ramadhan dan mengerjakan qiyam Ramadhan, dan aku membayar zakat. Maka Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: “orang yang mati di atas ini semua, maka ia termasuk shiddiqin dan syuhada” (HR. Ibnu Khuzaimah no. 2212, Ath Thabrani dalam Musnad Asy Syamiyyin no.2939, dishahihkan Al Albani dalam Qiyamu Ramadhan, 18).
Hukum Shalat Tarawih
Shalat tarawih hukumnya sunnah muakkadah. Diantara dalilnya:
Pertama: Dalil As Sunnah
Dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu, beliau berkata:
كان رسولُ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم يُرغِّبُ في قيامِ رمضانَ من غير أنْ يأمرَهم فيه بعزيمةٍ، فيقولُ: مَن قامَ رمضانَ إيمانًا واحتسابًا غُفِرَ له ما تَقدَّمَ مِن ذَنبِه
Biasanya Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam memotivasi orang-orang untuk mengerjakan qiyam Ramadhan, walaupun beliau tidak memerintahkannya dengan tegas. Beliau bersabda: “Orang yang shalat tarawih karena iman dan mengharap pahala, akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu” (HR. Bukhari no. 2009, Muslim no. 759).
Dari Aisyah radhiallahu’anha, beliau berkata:
أنَّ رسولَ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم صلَّى في المسجدِ ذاتَ ليلةٍ، فصلَّى بصلاتِه ناسٌ، ثم صَلَّى من القابلةِ، فكثُرَ الناسُ ثم اجتَمَعوا من الليلةِ الثالثةِ، أو الرابعةِ، فلم يخرُجْ إليهم رسولُ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم، فلمَّا أصبحَ قال: قد رأيتُ الذي صنعتُم، فلمْ يمنعْني من الخروجِ إليكم إلَّا أنِّي خَشيتُ أنْ تُفرَضَ عليكم قال: وذلِك في رمضانَ
“Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam shalat di masjid suatu malam, maka orang-orang pun ikut shalat di belakang beliau. Kemudian beliau shalat lagi di malam berikutnya. Maka orang-orang yang ikut pun semakin banyak. Kemudian mereka berkumpul di masjid di malam yang ketiga atau keempat. Namun ternyata Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam tidak keluar. Ketiga pagi hari beliau bersabda: aku melihat apa yang kalian lakukan semalam. Tidak ada yang menghalangiku untuk keluar kecuali aku khawatir shalat tersebut diwajibkan atas kalian”. Perawi mengatakan: “itu di bulan Ramadhan” (HR. Bukhari no. 1129, Muslim no. 761).
Kedua: Dalil ijma
Al Imam An Nawawi mengatakan:
فصلاة التراويحِ سُنَّة بإجماع العلماء
“Shalat tarawih hukumnya sunnah dengan ijma ulama” (Al Majmu, 4/37).
Ash Shan’ani mengatakan:
قيام رمضان سُنَّة بلا خلاف
“Qiyam Ramadhan hukumnya sunnah tanpa ada khilaf” (Subulus Salam, 2/11).
Shalat Tarawih Di Masjid Jama’ah
Shalat tarawih lebih utama dikerjakan secara berjamaah dari pada sendirian. Dalilnya:
Pertama: Dalil As Sunnah
Dari Aisyah radhiallahu’anha ia berkata:
أنَّ رسولَ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم صلَّى في المسجدِ ذاتَ ليلةٍ، فصلَّى بصلاتِه ناسٌ، ثم صَلَّى من القابلةِ، فكثُرَ الناسُ ثم اجتَمَعوا من الليلةِ الثالثةِ، أو الرابعةِ، فلم يخرُجْ إليهم رسولُ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم، فلمَّا أصبحَ قال: قد رأيتُ الذي صنعتُم، فلمْ يمنعْني من الخروجِ إليكم إلَّا أنِّي خَشيتُ أنْ تُفرَضَ عليكم قال: وذلِك في رمضانَ
“Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam shalat di masjid suatu malam, maka orang-orang pun ikut shalat di belakang beliau. Kemudian beliau shalat lagi di malam berikutnya. Maka orang-orang yang ikut pun semakin banyak. Kemudian mereka berkumpul di masjid di malam yang ketiga atau keempat. Namun ternyata Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam tidak keluar. Ketiga pagi hari beliau bersabda: aku melihat apa yang kalian lakukan semalam. Tidak ada yang menghalangiku untuk keluar kecuali aku khawatir shalat tersebut diwajibkan atas kalian”. Perawi mengatakan: “itu di bulan Ramadhan” (HR. Bukhari no. 1129, Muslim no. 761).
Sisi pendalilan:
Hadits ini menunjukkan bahwa Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam shalat tarawih secara berjama’ah di masjid. Namun yang menahan beliau untuk merutinkannya adalah beliau khawatir shalat tarawih diwajibkan kepada umat beliau. Maka ini menunjukkan bahwa melaksanakannya di masjid lebih utama.
Kedua: Dalil ijma
Ath Thahawi mengatakan:
قد أَجمعُوا أنه لا يجوزُ للنَّاس تعطيلُ المساجِد عن قيام رمضانَ وكانَ هذا القيام واجِبًا على الكِفايَة، فمَن فعَلَه كانَ أفضلَ مِمَّن انفرد به
“Para ulama ijma bahwa tidak boleh orang-orang meninggalkan masjid-masjid untuk mengerjakan qiyam Ramadhan. Dan qiyam Ramadhan ini fardhu kifayah, barangsiapa mengerjakannya berjamaah maka itu lebih utama dari pada sendirian” (Mukhtashar Ikhtilaf Ulama, 1/315).
Ibnu Qudamah mengatakan:
وقال ابنُ قُدامةَ: (الجماعةُ في التراويح أفضلُ، وإنْ كان رجلٌ يُقتدَى به، فصلَّاها في بيته، خِفتُ أن يَقتديَ الناس به، وقد جاء عن النبيِّ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم: ((اقتدوا بالخُلفاء))، وقد جاء عن عُمرَ أنه كان يُصلِّي في الجماعة… ولنا: إجماعُ الصَّحابة على ذلك
“Berjamaah dalam mengerjakan shalat tarawih itu lebih utama. Andai ada seorang yang meniru Rasulullah dengan shalat di rumah, aku khawatir orang-orang lain akan mengikutinya. Padahal Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: ‘ikutilah para khulafa (ar rasyidin)’. Dan terdapat riwayat bahwa Umar bin Khathab mengerjakan shalat tarawih secara berjamaah. Dan kami menegaskan bahwa para sahabat ijma akan hal ini” (Al Mughni, 2/124).
Ketiga: Dalil atsar sahabat
Dari Abdurrahman bin Abdil Qari, ia berkata:
خرجتُ مع عُمرَ بنِ الخطَّابِ رَضِيَ اللهُ عَنْه ليلةً في رمضانَ إلى المسجدِ، فإذا الناسُ أوزاعٌ متفرِّقون يُصلِّي الرجلُ لنَفسِه، ويُصلِّي الرجلُ فيُصلِّي بصلاتِه الرهطُ، فقال عُمرُ رَضِيَ اللهُ عَنْه: إني أَرَى لو جمعتُ هؤلاءِ على قارئٍ واحدٍ، لكان أمثلَ، ثم عَزَمَ فجمَعَهم إلى أُبيِّ بنِ كعبٍ
“Aku keluar bersama Umar radhiallahu’anhu pada suatu malam bulan Ramadan ke masjid. Ketika itu orang-orang di masjid shalat berkelompok-kelompok terpisah-pisah. Ada yang shalat sendiri-sendiri, ada juga yang membuat jamaah bersama beberapa orang. Umar berkata: ‘Menurutku jika aku satukan mereka ini untuk shalat bermakmum di belakang satu orang qari’ itu akan lebih baik’. Maka Umar pun bertekad untuk mewujudkannya, dan ia pun menyatukan orang-orang untuk shalat tarawih berjamaah bermakmum kepada Ubay bin Ka’ab” (HR. Bukhari no. 2010).
Waktu Pelaksanaan Shalat Tarawih
Shalat tarawih dilaksanakan setelah shalat isya, dan yang utama adalah setelah waktu isya yang terakhir. Ibnu Taimiyah mengatakan:
فما كان الأئمَّة يُصلُّونها إلَّا بعد العِشاء على عهد النبيِّ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم، وعهدِ خلفائه الراشدين، وعلى ذلك أئمَّةُ المسلمين، لا يُعرف عن أحدٍ أنه تعمَّد صلاتَها قبل العِشاء، فإنَّ هذه تُسمَّى قيام رمضان
“Para imam tidak melaksanakan shalat tarawih kecuali setelah shalat Isya sebagaimana di masa Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam, dan di masa para Khulafa Ar Rasyidin, dan juga di masa para imam kaum Muslimin. Tidak diketahui ada yang bersengaja melaksanakannya sebelum shalat Isya. Dan oleh karena itukah shalat ini disebut qiyam Ramadhan” (Majmu Al Fatawa, 23/120).
Beliau juga mengatakan:
السُّنة في التراويح أنْ تُصلَّى بعد العِشاء الآخِرةِ، كما اتَّفق على ذلك السَّلَف والأئمَّة
”Yang sunnah dalam melaksanakan melaksanakan shalat tarawih adalah setelah waktu isya yang terakhir. Sebagaimana ini telah disepakati oleh para salaf dan imam kaum Muslimin” (Majmu Al Fatawa, 23/119).
Jumlah Rakaat Shalat Tarawih
Shalat tarawih dan shalat malam secara umum tidak memiliki batasan tertentu. Dalil akan hal ini adalah sebagai berikut:
Pertama: Dalil As Sunnah
Dari Ibnu Umar radhiallahu anhuma, ia berkata:
أنَّ رجلًا سألَ رسولَ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم عن صلاةِ اللَّيل، فقال رسولُ الله صلَّى اللهُ عليه وسلَّم: صلاةُ الليلِ مَثْنَى مثنَى، فإذا خشِيَ أحدُكم الصبحَ صلَّى ركعةً واحدةً، تُوتِر له ما قدْ صلَّى
“Ada seorang yang bertanya kepada Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam mengenai shalat malam. Maka Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam menjawab: shalat malam itu dua rakaat-dua rakaat, jika salah seorang di antara kalian khawatir masuk waktu subuh maka shalatlah satu rakaat untuk membuat rakaat shalatnya menjadi ganjil” (HR. Bukhari no. 990, Muslim no. 749).
Dari Aisyah radhiallahu’anha beliau berkata:
ما كان يَزيدُ في رمضانَ، ولا في غيرِه على إحْدى عَشرةَ ركعةً ؛ يُصلِّي أربعَ رَكَعاتٍ فلا تسألْ عن حُسنهنَّ وطولهنَّ، ثم يُصلِّي أربعًا، فلا تسألْ عن حُسنهنَّ وطولهنِّ ، ثم يُصلِّي ثلاثًا
“Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam tidak pernah shalat lebih dari 11 rakaat baik di bulan Ramadhan atau di bulan lainnya. Beliau shalat 4 rakaat, jangan tanya mengenai bagusnya dan panjangnya, kemudian beliau shalat 4 rakaat, jangan tanya mengenai bagusnya dan panjangnya, kemudian beliau shalat 3 rakaat” (HR. Bukhari no. 2013, Muslim no. 837).
Dari Ibnu Abbas radhiallahu’anhuma beliau berkata:
كان صلاةُ النبيِّ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم ثلاثَ عَشرةَ ركعةً. يعني: باللَّيل
“Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam pernah shalat 13 rakaat di malam hari” (HR. Bukhari no. 1138, Muslim no. 764).
Sisi pendalilan:
Dari hadits-hadits ini diketahui bahwa Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam tidak membatasi jumlah rakaat shalat yang dikerjakan setelah Isya.
Kedua: Dalil ijma’
Ibnu Abdil Barr mengatakan:
وقد أجمَع العلماءُ على أنْ لا حدَّ ولا شيءَ مُقدَّرًا في صلاة الليل، وأنَّها نافلة؛ فمَن شاء أطال فيها القيام وقلَّت ركعاته، ومَن شاء أكثر الركوع والسجود
“Para ulama sepakat bahwa tidak ada batasan rakaat tertentu dalam shalat malam. Dan bahwasanya hukumnya adalah sunnah. Barangsiapa yang ingin memanjangkan berdirinya dan menyedikitkan rakaatnya, silakan. Barangsiapa yang ingin memperbanyak rukuk dan sujud, silakan” (Al Istidzkar, 2/102).
Beliau juga mengatakan:
أكثرُ الآثار على أنَّ صلاته كانت إحدى عشرةَ ركعةً، وقد رُوي ثلاث عشرة ركعة، واحتجَّ العلماء على أنَّ صلاة الليل ليس فيها حدٌّ محدود، والصلاة خيرُ موضوع، فمَن شاء استقلَّ ومَن شاء استكثر
“Kebanyakan shalat malam Nabi itu 11 rakaat. Namun terdapat riwayat bahwasanya beliau pernah shalat 13 rakaat. Oleh karena itu para ulama berdalil dari sini bahwa shalat malam itu tidak ada batasan rakaatnya. Dan shalat adalah perkara yang paling baik. Siapa yang ingin mempersedikitnya silakan, yang ingin memperbanyaknya juga silakan” (Al Istidzkar, 2/98).
Al Qadhi ‘Iyadh mengatakan:
ولا خلافَ أنه ليس فى ذلك حدٌّ لا يُزاد عليه ولا يُنقص منه، وأنَّ صلاة الليل من الفضائل والرغائب، التي كلَّما زِيد فيها زِيد فى الأجر والفضل، وإنما الخلافُ في فِعل النبيِّ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم وما اختاره لنفْسه
“Tidak ada khilaf bahwa shalat malam itu tidak ada batasannya yang paten sehingga tidak boleh dikurangi atau ditambahi. Shalat malam adalah keutamaan dan hal yang sangat dianjurkan, yang semakin banyak dikerjakan maka semakin banyak pahalanya. Yang diperselisihkan adalah mana jumlah rakaat yang sering dilakukan Nabi dan yang menjadi pilihan (kesukaan) Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam untuk dirinya” (Ikmalul Mu’lim, 3/82).
Al ‘Iraqi mengatakan:
قد اتفق العلماء على أنه ليس له حدٌّ محصور
“Ulama sepakat bahwa shalat malam itu tidak ada batasan rakaatnya” (Tharhu At Tatsrib, 3/43).
Tata Cara Shalat Tarawih
Shalat tarawih dilaksanakan dua rakaat – dua rakaat. Ini merupakan pendapat jumhur ulama, dari Syafi’iyyah, Malikiyyah dan Hanabilah, juga pendapat Abu Yusuf dari Hanafiyah. Dalilnya:
Dari Ibnu Umar radhiallahu anhuma, ia berkata, Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
صلاةُ الليلِ مَثنَى مَثنى، فإذا رأيتَ أنَّ الصبحَ يُدركُك فأَوتِر بواحدةٍ .قال: فقيل لابن عُمر: ما مَثنَى مَثنَى؟ قال تُسلِّم في كلِّ ركعتينِ
“Shalat malam itu dua rakaat-dua rakaat, jika engkau melihat bahwa subuh akan datang, maka shalatlah satu rakaat untuk membuat rakaat shalatnya menjadi ganjil”. Ibnu Umar ditanya: “apa maksudnya dua rakaat-dua rakaat?”. Ibnu Umar berkata: “maksudnya, setiap dua rakaat, salam” (HR. Bukhari no. 990, Muslim no. 749).
Dari Aisyah radhiallahu’anha beliau berkata:
كانَ رسولُ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم يُصلِّي فيما بين أن يَفرغَ من صلاةِ العِشاءِ – وهي التي يدعو الناسُ العتمةَ – إلى الفجرِ إحْدى عشرةَ ركعةً، يُسلِّمُ بين كلِّ ركعتينِ، ويُوتِرُ بواحدةٍ
“Biasanya Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam antara setelah selesai shalat Isya, yaitu di waktu yang disebut orang sebagai atamah, sampai terbit fajar, beliau shalat 11 rakaat. Dengan salam di setiap dua rakaat kemudian, shalat witir satu rakaat” (HR. Muslim no. 736).
Syaikh Abdul Aziz bin Baz mengatakan:
والأفضل أن يُسلِّم من كل اثنتين ويوتر بواحدةٍ كما تقدَّم في حديث ابنِ عمر: «صلاةُ الليل مَثْنى مثنى، فإذا خشِي أحدُكم الصبحَ صلَّى واحدةً تُوتِر له ما قد صلَّى
“Shalat malam yang paling utama adalah salam di tiap dua rakaat, dan satu rakaat witir. Sebagaimana dalam hadits Ibnu Umar: shalat malam itu dua rakaat-dua rakaat, jika salah seorang di antara kalian khawatir masuk waktu subuh maka shalatlah satu rakaat” (Majmu Fatawa Ibnu Baz, 11/324).
Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin mengatakan:
وصلاة الليل تَشمل التطوُّعَ كلَّه والوترَ، فيصلي مَثْنَى مثنى، فإذا خشِي الصبح صلَّى واحدة فأوتَرتْ ما صلى
“Shalat malam mencakup semua shalat sunnah di malam hari, caranya dengan dua rakaat-dua rakaat, jika khawatir masuk waktu subuh maka shalatlah satu rakaat untuk membuat rakaatnya ganjil” (Majmu Fatawa war Rasail, 20/412).
Bacaan Dalam Shalat Tarawih
Tidak ada batasan tertentu mengenai bacaan Qur’an dalam shalat tarawih. Namun disunnahkan untuk membaca Al Qur’an 30 juz. Al Kasani mengatakan:
السُّنة أن يختمَ القرآن مرةً في التراويح، وذلك فيما قاله أبو حنيفة، وما أمر به عمرُ، فهو من باب الفضيلة، وهو أن يختمَ القرآن مرَّتين أو ثلاثًا، وهذا في زمانهم، وأمَّا في زماننا فالأفضل أن يقرأ الإمامُ على حسب حال القوم من الرغبة والكسل، فيقرأ قدْرَ ما لا يوجب تنفيرَ القوم عن الجماعة؛ لأنَّ تكثير الجماعة أفضلُ من تطويل القراءة
“Disunnahkan untuk mengkhatamkan Al Qur’an sekali dalam shalat tarawih. Ini merupakan pendapat Abu Hanifah. Dan Umar bin Khathab pun memerintahkannya. Ini merupakan keutamaan, dan beliau mengkhatamkan Al Qur’an sebanyak dua atau tiga kali (dalam shalat tarawih) di zaman beliau. Adapun di zaman kita, yang utama imam membaca yang sesuai dengan keadaan kaumnya. Terkadang ada kaum yang semangat dan terkadang ada kaum yang pemalas. Maka hendaknya imam membaca bacaan yang tidak membuat orang meninggalkan jama’ah. Karena memperbanyak jumlah orang dalam jama’ah leih utama dari pada memperlama bacaan dalam shalat jama’ah” (Bada’i Ash Shana’i, 1/289).
Ad Dardir mengatakan:
“و” نُدِب للإمام “الخَتْم” لجميع القرآن “فيها”، أي: في التراويح في الشهر كلِّه ليُسمِعَهم جميعه
“Dianjurkan bagi imam untuk mengkhatamkan seluruh Al Qur’an di bulan Ramadhan, yaitu di dalam shalat tarawih, agar jamaah mendengar semua bagian dari Al Qur’an” (Asy Syarhul Kabir, 1/315).
Men-jahr-kan Bacaan Dalam Shalat Tarawih
Disunnahkan men-jahr-kan bacaan Qur’an dalam shalat tarawih. Ulama ijma akan hal ini. An Nawawi mengatakan:
أجمع المسلمون على استحباب الجَهر بالقِراءة في… صلاة التراويح، والوتر
“Ulama Islam sepakat disunnahkannya men-jahr-kan bacaan Qur’an dalam shalat tarawih dan witir” (At Tibyan fi Adabi Hamalatil Qur’an, 1/130).
Demikian fikih ringkas shalat tarawih, semoga bermanfaat. Wabillahi at taufiq was sadaad.
***
Penyusun: Yulian Purnama
Artikel: Muslim.Or.Id
Diringkas dari Mausu’ah Fiqhiyyah Duraris Saniyah, bimbingan Syaikh Alwi bin Abdil Qadir As Saqqaf
Sumber: https://muslim.or.id/39630-fikih-ringkas-shalat-tarawih.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar