PENCARIAN

28 Juni 2015

HIJAB, Kearifan Lokal Perempuan Bugis dan Syariat Islam

Ada satu tradisi memakai sarung kaum perempuan bugis yang tidak bakalan dilakukan kaum pria, bahkan mungkin tak ditemui di etnis lainnya dimuka bumi ini. Perempuan bugis menggunakan sarung untuk menutupi area terlarangnya saat mereka berada diruang umum, saat mereka berlalu didepan khalayak serta saat mereka keluar rumah. Jika dipaksakan untuk mencari analogi yang mendekati pada jaman sekarang, maka tradisi perempuan bugis tersebut mirip dengan tradisi memakai hijab para perempuan Arab.
Cara menutup tubuh itulah yang kita dapati saat perempuan bugis mengenakan dua buah sarung untuk menutup tubuhnya. Satu sarung dipakai pada tubuh bagian bawah, mulai dari uluhati hingga mata kaki. Ujung sarung di uluhati tadi dibebat kencang dengan ujung kain yang diselipkan di sela kain dan kulit tubuh, kadang juga sengaja mengikatkan ujung kain pada satu sisi dengan sisi lainnya. Cara kedua ini lebih banyak dipakai, selain lebih kencang (tidak gampang melorot) juga memaksimalkan efek gombrang saat dipakai.
Satu sarung lainnya dipakai dengan cara menjadikan kain sarung sebagai selubung tubuh, menutupi ujung kepala hingga pertengahan paha. Kurang dari satu setengah jengkal ujung atas tetap dibuka (seukuran wajah) agar tak menghalangi pandangan pemakainya. Sehingga dari depan hanya tampak wajahnya, bahkan pada kondisi tertentu yang tampak hanyalah dua mata sang pemakai, sehingga ujung yang terbuka seolah segaris dengan mata pemakainya.
Kenapa perempuan bugis menutupi tubuhnya sedemikian rupa?
Kondisi ini tidak terlepas pada ajaran kearifan lokal bugis yang menganggap perempuan sebagai sebuah kehormatan yang harus dijaga dengan takaran darah dan nyawa. Inilah alasan kenapa perempuan bugis selalu memiliki tau masiri, pria yang menjadi penjaga kehormatannya, pria yang wajib berkorban membela, mempertahankan dan mengembalikan kehormatan perempuan yang dijaganya, perempuan yang menjadi to risirisi-nya. Ketika perempuan tersebut berada ditempat umum dengan menampakkan bagian terlarang dari tubuhnya, maka sang tomasiri-lah yang malu berat, ia akan menegur sang perempuan. Jika ia tak mampu lagi menegurnya, pilihan terbaiknya adalah sang pria harus meninggalkan kampung halamannya, merantau agar ia tak menjadi sasaran hinaan masyarakat setempat. Sementara bagi sang perempuan yang “tak mau diatur”, maka ia akan dikurung dalam rumah atau ia di pali,diungsikan ketempat lain yang jauh dari kampungnya.
Tradisi memakai hijab ini sudah dikenal masyarakat bugis jauh sebelum agama islam masuk ke tanah Bugis itu sendiri. Makin membudaya kala ajaran agama islam telah diterima di tanah bugis pada kisaran abad XVI-XVII. Hal yang menunjukkan ajaran adat (pangadereng) bugis sejalan dengan hukum syariah (syaraq) islam, minimal dalam urusan menutup aurat.  Hijab sarung ini mulai berlaku pada kisaran abad IX-X. Sayang hijab dengan sarung ini mulai pudar sejak adanya baju bodo yang kala itu masih tipis dan transparan, diperparah lagi dengan kebijakan pemerintah pusat kala itu  “memaksakan” baju kebaya (Bugis:Kobaja) menjadi busana nasional.
Jika dulu perempuan bugis yang berhijab sarung mendapat pujian niganaro anaq dara iyaro? Malebbimani, namoha ille matanna dettona taulle mita (siapa gerangan dara itu, sungguh anggun dan santun, bahkan sekedar melihat garis matanyapun kita tak mampu). Kini pujaan itu berganti cibiran nigana anaq dara iyaro? Demanagaga sirina, namoha wille pelli-pellinna wedding toni irita” (siapa gerangan dara itu, tak kenal malu, hingga belahan pantatnyapun dengan mudah kita lihat).  Sungguh ironis! ( Sumber : Suryadin Laoddang)

25 Juni 2015

Sepenggal Kisah Dibawah Langit Turki

Di dalam buku hariannya Sultan Murad IV mengisahkan, bahwa suatu malam dia merasakan keresahan yang sangat dalam, ia ingin tahu apa penyebabnya. Maka ia memanggil kepala pengawalnya dan memberitahu apa yang dirasakannya.

Sultan berkata kepada kepada kepala pengawal: “Mari kita keluar sejenak.

Diantara kebiasaan sang Sultan adalah melakukan tabiat dimalam hari dengan cara menyamar.

Mereka pun pergi, hingga tibalah mereka disebuah lorong yang sempit. Tiba-tiba, mereka menemukan seorang laki-laki terdampar di atas tanah. Sang Sultan menggerak-gerakkan lelaki itu, ternyata ia telah meninggal. Namun orang-orang yang lalu lalang di sekitarnya tak sedikitpun mempedulikannya.

Sultanpun memanggil mereka, mereka tak menyadari kalau orang tersebut adalah Sultan. Mereka bertanya: “Apa yang kau inginkan?.

Sultan menjawab: “Mengapa orang ini meninggal tapi tidak ada satu pun diantara kalian yang mau mengangkat jenazahnya? Siapa dia? Dimana keluarganya?”

Mereka berkata: “Orang ini Zindiq, suka minum minuman keras dan berzina”.

Sultan menjawap: “Tapi . . bukankah ia termasuk umat Muhammad shallallahu alaihi wasallam? Ayo angkat jenazahnya, kita bawa ke rumahnya”.

Mereka pun membawa jenazah laki-laki itu ke rumahnya.

Melihat suaminya meninggal, sang istripun pun menangis. Orang-orang yang membawa jenazahnya langsung pergi, tinggallah sang Sultan dan kepala pengawalnya.

Dalam tangisnya sang istri berucap: Semoga Allah merahmatimu wahai wali Allah.. Aku bersaksi bahwa engkau termasuk orang yang sholeh”

Mendengar ucapan itu Sultan Murad terkejut.. Bagaimana mungkin dia termasuk wali Allah sementara orang-orang mengatakan tentang dia begini dan begitu, sampai-sampai mereka tidak peduli dengan kematiannya”.

Sang istri menjawab:
“Sudah kuduga pasti akan begini…
Setiap malam suamiku keluar rumah pergi ke kedai minuman keras, dia membeli minuman keras dari para penjual sejauh yang ia mampu. Kemudian minuman-minuman itu di bawa ke rumah lalu ditumpahkannya ke dalam toilet, sambil berkata: “Aku telah meringankan dosa kaum muslimin”.

Dia juga selalu pergi menemui para pelacur, memberi mereka wang dan berkata: “Malam ini kalian sudah dalam bayaranku, jadi tutup pintu rumahmu sampai pagi”.

Kemudian ia pulang ke rumah, dan berkata kepadaku: “Alhamdulillah, malam ini aku telah meringankan dosa para pelacur itu dan pemuda-pemuda Islam”.

Orang-orangpun hanya menyaksikan bahwa ia selalu membeli khamar dan menemui pelacur, lalu mereka menuduhnya dengan berbagai tuduhan dan menjadikannya buah bibir.

Suatu kali aku pernah berkata kepada suamiku: “Kalau kamu mati nanti, tidak akan ada kaum muslimin yang mau memandikan jenazahmu, mensholatimu dan menguburkan jenazahmu”.

Ia hanya tertawa, dan berkata: “Jangan takut, bila aku mati, aku akan disholati oleh Sultannya kaum muslimin, para Ulama dan para Auliya”.

Maka, Sultan Murad pun menangis, dan berkata: “Benar! Demi Allah, akulah Sultan Murad, dan besok pagi kita akan memandikannya, mensholatkannya dan menguburkannya”.

Demikianlah, akhirnya urusan penyelenggaraan jenazah laki-laki itu dihadiri oleh Sultan, para ulama, para masyaikh dan seluruh masyarakat.

(Kisah ini diceritakan kembali oleh Syaikh Al Musnid Hamid Akram Al Bukhory dari Mudzakkiraat Sultan Murad IV)

Wallahu a’lam

Catatan:

Jangan suka menilai orang lain dari sisi lahiriahnya saja.
Atau menilainya berdasarkan ucapan orang lain.
Terlalu banyak yang tidak kita ketahui..
Apalagi soal yang tersimpan di tepian paling jauh di hatinya.
Kedepankan prasangka baik terhadap saudaramu.
Boleh jadi orang yang selama ini kita anggap sebagai penduduk Jahannam, ternyata penghuni Firdaus yang masih melangkah di bumi.
Ingat…
Diantara hal yang paling banyak membuat orang diseret masuk kedalam neraka adalah karena ulah lisannya.

Walloohua'laam bishowwab
Semoga bermanfaat

16 Juni 2015

Keakraban Para Ulama dengan Al-Qur'an

Bagaimanakah keakraban para ulama dengan Al-Qur’an di bulan Ramadhan?

Disunnahkan untuk memperbanyak membaca Al-Qur’an di bulan Ramadhan dan bersemangat untuk mengkhatamkannya. Walaupun hal ini tidaklah wajib. Artinya, jika tidak mengkhatamkan Al-Qur’an, maka tidak berdosa. Namun sayang, saat itu ia akan luput dari pahala yang besar.

Apa dalil kita mesti perhatian pada Al-Qur’an di bulan Ramadhan? Lihatlah Nabi kitashallallahu ‘alaihi wa sallam berusaha untuk mengkhatamkan Al-Qur’an di hadapan Jibril‘alaihis salam sebanyak sekali setiap tahunnya. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,

كَانَ يَعْرِضُ عَلَى النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – الْقُرْآنَ كُلَّ عَامٍ مَرَّةً ، فَعَرَضَ عَلَيْهِ مَرَّتَيْنِ فِى الْعَامِ الَّذِى قُبِضَ ، وَكَانَ يَعْتَكِفُ كُلَّ عَامٍ عَشْرًا فَاعْتَكَفَ عِشْرِينَ فِى الْعَامِ الَّذِى قُبِضَ فِيهِ

Jibril itu (saling) belajar Al-Qur’an dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam setiap tahun sekali (khatam). Ketika di tahun beliau akan meninggal dunia dua kali khatam. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa pula beri’tikaf setiap tahunnya selama sepuluh hari. Namun di tahun saat beliau akan meninggal dunia, beliau beri’tikaf selama dua puluh hari.” (HR. Bukhari no. 4998).

Ibnul Atsir menyatakan dalam Al-Jami’ fii Gharib Al-Hadits (4: 64) bahwa Jibril saling mengajarkan seluruh Al-Qur’an yang telah diturunkan dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Dari situ, para ulama –semoga Allah merahmati mereka- begitu semangat mengkhatamkan Al-Qur’an di bulan Ramadhan karena mencontoh Nabishallallahu ‘alaihi wa salam.

Beberapa contoh disebutkan di bawah ini.

Contoh pertama dari seorang ulama yang bernama Al-Aswad bin Yazid rahimahullah –seorang ulama besar tabi’in yang meninggal dunia tahun 74 atau 75 Hijriyah di Kufah- bisa mengkhatamkan Al-Qur’an di bulan Ramadhan setiap dua malam. Dari Ibrahim An-Nakha’i, ia berkata,

كَانَ الأَسْوَدُ يَخْتِمُ القُرْآنَ فِي رَمَضَانَ فِي كُلِّ لَيْلَتَيْنِ

“Al-Aswad biasa mengkhatamkan Al-Qur’an di bulan Ramadhan setiap dua malam.” (Siyar A’lam An-Nubala, 4: 51). Subhanallah … Yang ada, kita hanya jadi orang yang lalai dari Al-Qur’an di bulan Ramadhan.

Disebutkan dalam kitab yang sama, di luar bulan Ramadhan, Al-Aswad biasa mengkhatamkan Al-Qur’an dalam enam malam. Dan patut diketahui bahwa ternyata waktu istirahat beliau untuk tidur hanya antara Maghrib dan Isya. (Siyar A’lam An-Nubala, 4: 51)

Contoh kedua dari seorang ulama di kalangan tabi’in yang bernama Qatadah bin Da’amah rahimahullah yang meninggal dunia tahun 60 atau 61 Hijriyah. Beliau adalah salah seorang murid dari Anas bin Malikradhiyallahu anhu. Beliau ini disanjung oleh Imam Ahmad bin Hambal sebagai ulama pakar tafsir dan paham akan perselisihan ulama dalam masalah tafsir. Sampai-sampai Sufyan Ats-Tsaury mengatakan bahwa tidak ada di muka bumi ini yang semisal Qatadah. Salam bin Abu Muthi’ pernah mengatakan tentang semangat Qatadah dalam berinteraksi dengan Al-Qur’an,

كَانَ قَتَادَة يَخْتِمُ القُرْآنَ فِي سَبْعٍ، وَإِذَا جَاءَ رَمَضَانُ خَتَمَ فِي كُلِّ ثَلاَثٍ، فَإِذَا جَاءَ العَشْرُ خَتَمَ كُلَّ لَيْلَةٍ

“Qatadah biasanya mengkhatamkan Al-Qur’an dalam tujuh hari. Namun jika datang bulan Ramadhan, ia mengkhatamkannya setiap tiga hari. Bahkan ketika datang sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadhan, ia mengkhatamkannya setiap malam.” (Siyar A’lam An-Nubala’, 5: 276)

Contoh ketiga adalah dari Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i rahimahullah yang kita kenal dengan Imam Syafi’I, salah satu ulama madzhab terkemuka. Disebutkan oleh muridnya, Ar-Rabi’ bin Sulaiman,

كَانَ الشَّافِعِيُّ يَخْتِمُ القُرْآنَ فِي شَهْرِ رَمَضَانَ سِتِّيْنَ خَتْمَةً

“Imam Syafi’i biasa mengkhatamkan Al-Qur’an di bulan Ramadhan sebanyak 60 kali.” Ditambahkan oleh Ibnu Abi Hatim bahwa khataman tersebut dilakukan dalam shalat. (Siyar A’lam An-Nubala’, 10: 36). Bayangkan, Imam Syafi’i berarti mengkhatamkan Al-Qur’an dalam sehari sebanyak dua kali.Subhanallah …

Contoh terakhir adalah dari Ibnu ‘Asakir yang merupakan ulama pakar hadits dari negeri Syam, yang terkenal dengan karyanya Tarikh Dimasyq. Anaknya yang bernama Al-Qasim mengatakan mengenai bapaknya,

وَكَانَ مُوَاظِبًا عَلَى صَلاَةِ الجَمَاعَةِ وَتِلاَوَةِ القُرْآنِ، يَخْتِمُ كُلَّ جُمُعَةٍ، وَيَخْتِمُ فِي رَمَضَانَ كُلَّ يَوْمٍ، وَيَعْتَكِفُ فِي المنَارَةِ الشَّرْقِيَّةِ، وَكَانَ كَثِيْرَ النَّوَافِلِ وَالاَذْكَارِ

“Ibnu ‘Asakir adalah orang yang biasa merutinkan shalat jama’ah dan tilawah Al-Qur’an. Beliau biasa mengkhatamkan Al-Qur’an setiap pekannya. Lebih luar biasanya di bulan Ramadhan, beliau mengkhatamkan Al-Qur’an setiap hari. Beliau biasa beri’tikaf di Al-Manarah Asy-Syaqiyyah. Beliau adalah orang yang sangat gemar melakukan amalan sunnah dan rajin berdzikir.” (Siyar A’lam An-Nubala’, 20: 562)

Apakah Mengkhatamkan Al-Qur’an itu Wajib?

Imam Nawawi rahimahullah menyebutkan bahwa seperti itu berbeda tergantung pada kemampuan orang masing-masing. Orang yang sibuk pikirannya, ia tetap berusaha sebisa mungkin sesuai kemampuan pemahamannya. Begitu pula orang yang sibuk dalam menyebarkan ilmu atau sibuk mengurus urusan agama atau urusan khalayak ramai, berusahalah untuk mengkhatamkannya sesuai kemampuan. Sedangkan selain mereka yang disebut tadi (yang tidak penuh kesibukan), hendaknya bisa memperbanyak membaca Al-Qur’an. Jangan sampai menjadi orang yang lalai. Lihat At-Tibyan, hlm. 72.

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaiminrahimahullah ditanya, “Apakah orang yang berpuasa wajib mengkhatamkan Al-Qur’an di bulan Ramadhan?”

Jawab beliau rahimahullah bahwa mengkhatamkan Al-Qur’an di bulan Ramadhan bagi orang yang berpuasa tidaklah wajib. Akan tetapi sudah sepatutnya setiap muslim di bulan Ramadhan untuk memperbanyak membaca Al-Qur’an. Hal ini merupakan sunnah dari Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam. Setiap bulan Ramadhan, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallambiasa saling mengkaji Al-Qur’an bersama Jibril. (Majmu’ Fatawa Ibnu ‘Utsaimin 20: 516, Dinukil dari Fatawa Al-Islam Sual wa Jawab no. 65754)

Padahal Ada Hadits yang Melarang Mengkhatamkan Al-Qur’an Kurang dari Tiga Hari

Dari ‘Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata,

يَا رَسُولَ اللَّهِ فِى كَمْ أَقْرَأُ الْقُرْآنَ قَالَ « فِى شَهْرٍ ». قَالَ إِنِّى أَقْوَى مِنْ ذَلِكَ وَتَنَاقَصَهُ حَتَّى قَالَ « اقْرَأْهُ فِى سَبْعٍ ». قَالَ إِنِّى أَقْوَى مِنْ ذَلِكَ. قَالَ « لاَ يَفْقَهُ مَنْ قَرَأَهُ فِى أَقَلَّ مِنْ ثَلاَثٍ »

“Wahai Rasulullah dalam berapa hari aku boleh mengkhatamkan Al-Qur’an. Beliau menjawab, “Dalam satu bulan.” ‘Abdullah menjawab, “Aku masih lebih kuat dari itu.” Lantas hal itu dikurangi hingga Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam menyatakan, “Khatamkanlah dalam waktu seminggu.” ‘Abdullah masih menjawab, “Aku masih lebih kuat dari itu.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas bersabda, “Tidaklah bisa memahami jika ada yang mengkhatamkan Al-Qur’an kurang dari tiga hari.” (HR. Abu Daud no. 1390 dan Ahmad 2: 195. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa hadits ini shahih).

Al-‘Azhim Abadi rahimahullah menyatakan bahwa hadits di atas adalah dalil tegas yang menyatakan bahwa tidak boleh mengkhatamkan Al-Qur’an kurang dari tiga hari. (‘Aun Al-Ma’bud, 4: 212)

Para ulama menjelaskan bahwa yang ternafikan dalam hadits adalah ketidakpahaman, bukan pahalanya. Artinya, hadits tersebut tidaklah menunjukkan tidak boleh mengkhatamkan Al-Qur’an kurang dari tiga hari. Yang dimaksudkan dalam hadits adalah jika mengkhatamkan kurang dari tiga hari sulit untuk memahami. Berarti kalau dilakukan oleh orang yang memahami Al-Qur’an seperti contoh para ulama yang disebutkan di atas, maka tidaklah masalah.

Dalam Lathaif Al-Ma’arif (hlm. 306) disebutkan oleh Ibnu Rajab Al-Hambali, “Larangan mengkhatamkan Al-Qur’an kurang dari tiga hari itu ada jika dilakukan terus menerus. Sedangkan jika sesekali dilakukan apalagi di waktu utama seperti bulan Ramadhan, lebih-lebih lagi pada malam yang dinanti yaitu Lailatul Qadar atau di tempat yang mulia seperti di Mekkah bagi yang mendatanginya dan ia bukan penduduk Mekkah, maka disunnahkan untuk memperbanyak tilawah untuk mendapatkan pahala melimpah pada waktu dan zaman yang istimewa. Inilah pendapat dari Imam Ahmad dan Ishaq serta ulama besar lainnya. Inilah yang diamalkan oleh para ulama sebagaimana telah disebutkan.”

Wallahu waliyyut taufiq was sadaad. Semoga kita dimudahkan menghidupkan hari-hari kita dengan mengkaji Al-Qur’an diSyahrul Qur’an, bulan Ramadhan.

Pagi hari, 12 Sya’ban 1436 H @ Darush Sholihin, Panggang, Gunungkidul

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel Muslim.Or.Id

Inilah Hikmah dan Keistimewaan Ibadah Puasa

Syaikh Shalih bin Fauzan Al Fauzan

Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Alhamdulillahi Rabbil ‘alamin. Salawat dan salam semoga tercurah kepada nabi kita Muhammad, keluarga, dan segenap sahabatnya.Amma ba’du.

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Wahai orang-orang yang beriman, telah diwajibkan kepada kalian puasa sebagaimana telah diwajibkan kepada orang-orang sebelum kalian, mudah-mudahan kalian bertakwa”. Allah menujukan ayat ini kepada hamba-hamba-Nya yang beriman diantara umat ini, bahwasanya Allah telah mewajibkan kepada mereka puasa, sebagaimana Allah telah mewajibkan puasa kepada umat-umat sebelumnya. Sehingga, kewajiban puasa ini adalah kewajiban yang sudah ada sejak dulu kala kepada umat-umat.

Hal itu dikarenakan besarnya keutamaan puasa dan juga kebutuhan orang-orang beriman terhadapnya. Allah mengabarkan kepada umat ini bahwa puasa itu juga telah diwajibkan kepada umat-umat sebelum mereka, yaitu dalam rangka menghibur hati mereka. Tatkala mereka mengetahui bahwa puasa juga sudah diwajibkan kepada umat-umat selain mereka maka niscaya puasa itu akan terasa ringan bagi mereka. Jadi, ini merupakan salah satu cara untuk menghibur mereka.

Kemudian Allah menjelaskan hikmah yang tersimpan di balik syari’at puasa yang Allah tetapkan. Bukanlah yang menjadi tujuan utama puasa adalah melarang dari makan, minum, atau kesenangan-kesenangan yang mubah. Bukan hal ini maksud utama darinya, akan tetapi sesungguhnya yang dituju adalah buah dari puasa itu dalam diri hamba. Oleh sebab itu Allah berfirman, “Mudah-mudahan kalian bertakwa”.

Hal ini menunjukkan bahwa puasa merupakan sebab menuju ketakwaan kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Dan ini merupakan faidah yang terbesar dari ibadah puasa. Yaitu bahwasanya puasa akan menumbuhkan ketakwaan, sementara takwa adalah maqam/tingkatan ibadah yang paling tinggi. Takwa adalah kalimat yang mencakup segala kebaikan. Karena dengan puasa, seorang hamba akan menjauhi maksiat dan keburukan, menjauh darinya, dan bertaubat dari dosa yang telah lalu.

Hal itu dikarenakan dia menyadari bahwa maksiat akan merusak puasa bahkan bisa menyebabkan lenyapnya semua pahala puasa. Sehingga dia akan letih dan capek tanpa mendapatkan faidah apa-apa. Oleh sebab itu, seorang yang sedang puasa akan berusaha menjauhi maksiat. Dan hal ini adalah suatu hal yang bisa dirasakan dan dilihat.

Orang yang berpuasa berbeda dengan orang yang tidak puasa. Orang yang puasa akan membatasi dan meminimalisir maksiat dari segala indera yang dia miliki. Karena puasa akan membatasi dirinya dari hal itu. Berbeda dengan kondisi orang yang tidak puasa, karena kekuatan badan dan syahwatnya akan membawa dirinya untuk cenderung mengikuti keinginan syahwat dan hawa nafsu. Lain dengan orang yang puasa, maka puasa itu akan membentenginya dari maksiat-maksiat ini dan membuahkan ketakwaan kepada Allah di dalam dirinya.

Kalau begitu, puasa yang tidak memberikan buah dan bekas positif pada pelakunya maka sebenarnya ini bukanlah puasa yang sebenarnya. Maka hendaknya setiap muslim melihat pada dirinya sendiri; apabila puasa itu bisa menghalangi dirinya dari maksiat dan melembutkan hatinya dengan ketaatan, membuatnya membenci kemaksiatan, dan menggerakkan ketaatan, maka itu berarti puasanya benar dan menghasilkan manfaat. Adapun apabila sebaliknya maka itu berarti puasanya tidak bermanfaat.

Oleh sebab itulah Allah mengatakan, “Mudah-mudahan kalian bertakwa”. Sehingga puasa yang tidak membuahkan ketakwaan adalah tidak mengandung faidah di dalamnya. Inilah salah satu faidah puasa -yaitu membentengi dari maksiat-. Kemudian, diantara keutamaan puasa yang sangat agung adalah Allah mengistimewakan puasa ini dari seluruh bentuk amalan untuk diri-Nya. Allah mengatakan, “Puasa adalah untuk-Ku, dan Aku sendiri yang akan membalasnya.” Hal itu dikarenakan puasa adalah niat yang ada dari seorang hamba untuk Rabbnya; tidak ada yang mengetahuinya kecuali Allahsubhanahu wa ta’ala.

Anda, apabila melihat diantara orang-orang itu, maka tidak ada bedanya antara orang yang puasa dan yang selainnya. Tidak tampak perbedaan diantara mereka. Berbeda halnya dengan bentuk ibadah-ibadah lain; sholat bisa dilihat, sedekah tampak, jihad juga tampak,tasbih, tahlil, dan takbir juga tampak jelas dan bisa dilihat orang dan mereka bisa mendengarnya.

Berbeda halnya dengan puasa, maka puasa itu sesuatu yang rahasia. Rahasia antara hamba dengan Rabbnya. Karena di dalam hatinya dia berniat dengan puasanya untuk mendekatkan diri kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Dan hal ini adalah suatu perkara yang tidak diketahui secara persis kecuali oleh Allah. Puasa itu tidak bisa dilihat pada fisiknya; sama saja. Dia sama seperti orang lain. Dia juga berjalan, bergerak, -sama dengan orang lain- sehingga tidak tampak puasa itu pada fisiknya. Hanya Allah lah yang mengetahui bahwa dia memang sedang puasa.

Jadi karena puasa ini menjadi rahasia antara hamba dengan Rabbnya maka Allah pun mengistimewakan amalan ini untuk diri-Nya sendiri. Dimana Allah menyatakan, “Puasa itu adalah untuk-Ku.” Padahal suatu perkara yang dimaklumi bahwa semua ibadah adalah untuk Allah, adapun ibadah yang tidak diperuntukkan kepada Allah maka tidaklah bisa membuahkan manfaat bagi orang yang puasa/melakukan amal itu alias sia-sia. Akan tetapi puasa ini memiliki kekhususan; dimana ia merupakan rahasia paling besar diantara sekian banyak ibadah yang lain.

Kemudian Allah mengatakan, “Dan Aku lah yang akan membalasnya”. Balasan pahala itu langsung berasal dari sisi Allah ‘azza wa jalla. Artinya tidak ada yang mengetahui besarnya kadar balasan puasa kecuali Allah. Adapun ibadah-ibadah yang lain akan diberikan ganjaran sesuai dengan niat pelakunya dimana satu kebaikan akan dibalas dengan sepuluh kali lipatnya hingga tujuh ratus kali lipat dan bahkan banyak sekali kelipatannya, kecuali untuk puasa. Karena besarnya pahala puasa tidak bisa diukur dengan jumlah atau bilangan tertentu.

Karena puasa adalah bentuk kesabaran. Dia bersabar dalam meninggalkan makanan, minuman, haus, dan lapar. Sementara Allah berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya akan disempurnakan pahala/balasan bagi orang-orang yang sabar itu tanpa ada perhitungan”. Adapun amal-amal yang lain pahala dan balasannya ditentukan dengan perhitungan/hisab. Bisa jadi banyak, dan bisa jadi sedikit. Adapun puasa, maka tidak ada yang mengetahui kadar pahalanya selain Allah semata. Maka ini pun menunjukkan kepada keutamaan puasa. Yaitu tidak ada yang bisa mengetahui besar dan ukuran balasan yang diberikan untuknya kecuali Allah subhanahu wa ta’ala. “Puasa itu untuk-Ku dan Aku lah yang akan langsung membalasnya”.

Selain itu, pada ibadah-ibadah lain bisa dengan mudah dimasuki syirik. Doa, ia pun dimasuki syirik. Dimana seorang itu berdoa kepada selain Allah. Demikian juga sedekah, ia bisa disusupi oleh riya’. Sholat juga bisa disusupi oleh riya’. Akan tetapi puasa, maka ia tidak disusupi oleh riya’. Karena puasa adalah sesuatu yang bersifat rahasia antara hamba dengan Rabbnya. Puasa tidak bisa tampak pada pelakunya sebagaimana halnya keadaan amal-amal lainnya yang dengan itu akan bisa membuka pintu riya’. Puasa adalah amalan yang rahasia antara hamba dengan Rabbnya, sehingga tidak bisa dimasuki riya’.

Demikian pula, orang-orang musyrik biasa mendekatkan diri kepada berhala-berhala dengan sembelihan dan nadzar, doa, istighotsah, mereka mempersekutukan Allah dalam segala bentuk amalan, adapun puasa maka ia tidak tersusupi dan tidak dimasuki oleh syirik. Oleh sebab itulah Allah menyatakan, “Puasa itu untuk-Ku dan Aku lah yang membalasnya”. Ini artinya puasa tidak bisa disusupi oleh syirik. Inilah salah satu keistimewaan yang ada dalam ibadah puasa.

Tidak ada ceritanya orang-orang musyrik dahulu berpuasa untuk berhala-berhala mereka. Tidak ada kisahnya para pemuja kubur melakukan puasa untuk kubur; mendekatkan diri kepadanya dengan puasa. Sementara di saat yang sama mereka suka mendekatkan diri kepada sesembahan-sesembahan mereka itu dengan berdoa, mempersembahkan sembelihan, nadzar, dan lain sebagainya. Ini merupakan bukti keistimewaan puasa dibandingkan seluruh amal. Sehingga Allah mengatakan, “Puasa adalah untuk-Ku dan Aku lah yang akan membalasnya”.

Kemudian Allah menjelaskan mengapa orang yang berpuasa itu rela meninggalkan makanan, minuman, dan syahwatnya, yaitu, “Karena Aku”. Artinya puasa itu dilakukan semata-mata karena Allah. Ini adalah niat yang samar. Tiada yang mengetahui hal itu kecuali Allah subhanahu wa ta’ala. Semoga Allah memberikan taufik kepada kita semuanya guna menggapai apa yang dicintai dan diridhai-Nya.

Shalawat dan salam semoga tercurah kepada Nabi kita Muhammad, keluarga, dan segenap sahabatnya.

***

Sumber : http://alfawzan.af.org.sa/node/14903

Penerjemah: Ari Wahyudi

Artikel Muslim.or.id

13 Juni 2015

Hukum Membuka Warung di Siang Hari Pada Bulan Ramadhan

Kita akan menyebutkan beberapa ayat, yang bisa dijadikan acuan untuk membahas acara makan di siang hari ramadhan.

Pertama, Allah melarang kita untuk ta’awun (tolong-menolong) dalam dosa dan maksiat.

Allah berfirman,

وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ

Janganlah kalian tolong menolong dalam dosa dan maksiat.” (QS. al-Maidah: 2).

Sekalipun anda tidak melakukan maksiat, tapi anda tidak boleh membantu orang lain untuk melakukan maksiat. Maksiat, musuh kita bersama, sehingga harus ditekan, bukan malah dibantu.

Tidak berpuasa di siang hari ramadhan tanpa udzur, jelas itu perbuatan maksiat. Bahkan dosa besar. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah diperlihatkan siksaan untuk orang semacam ini

“Dia digantung dengan mata kakinya (terjungkir), pipinya sobek, dan mengalirkan darah.” (HR. Ibnu Hibban, 7491; dishahihkan Al-A’dzami)

Siapapun pelakunya, tidak boleh didukung. Sampaipun orang kafir. Karena pendapat yang benar, orang kafir juga mendapatkan beban kewajiban syariat. Sekalipun andai dia beramal, amalnya tidak diterima, sampai dia masuk islam.

An-Nawawi mengatakan,

والمذهب الصحيح الذي عليه المحققون والأكثرون : أن الكفار مخاطبون بفروع الشرع ، فيحرم عليهم الحرير ، كما يحرم على المسلمين

Pendapat yang benar, yang diikuti oleh para ulama ahli tahqiq (peneliti) dan mayoritas ulama, bahwa orang kafir mendapatkan beban dengan syariat-syariat islam. Sehingga mereka juga diharamkan memakai sutera, sebagaimana itu diharamkan bagi kaum muslimin. (Syarh Shahih Muslim, 14/39).

Diantara dalil bahwa orang kafir juga dihukum karena meninggakan syariat-syariat islam, adalah firman Allah ketika menceritakan dialog penduduk surga dengan penduduk neraka,

إِلَّا أَصْحَابَ الْيَمِينِ ( ) فِي جَنَّاتٍ يَتَسَاءَلُونَ ( ) عَنِ الْمُجْرِمِينَ ( ) مَا سَلَكَكُمْ فِي سَقَرَ ( ) قَالُوا لَمْ نَكُ مِنَ الْمُصَلِّينَ ( ) وَلَمْ نَكُ نُطْعِمُ الْمِسْكِينَ

Kecuali golongan kanan ( ) berada di dalam syurga, mereka tanya menanya ( )

tentang (keadaan) orang-orang kafir ( ) Apakah yang memasukkan kamu ke dalam Saqar (neraka)?”  ( )

Mereka menjawab: “Kami dahulu tidak termasuk orang-orang yang mengerjakan shalat ( )

dan kami tidak (pula) memberi makan orang miskin. (QS. al-Muddatsir: 39 – 44)

Dalam obrolan pada ayat di atas, Allah menceritakan pertanyaan penduduk surga kepada penduduk neraka, ‘Apa yang menyebabkan kalian masuk neraka?’

Jawab mereka: “Karena kami tidak shalat dan tidak berinfak.”

Padahal jika mereka shalat atau infak, amal mereka tidak diterima.

Inilah yang menjadi landasan fatwa para ulama yang melarang menjual makanan kepada orang kafir ketika ramadhan. Karena dengan begitu, berarti kita mendukungnya untuk semakin berbuat maksiat.

Dalam Hasyiah Syarh Manhaj at-Thullab dinyatakan,

ومن ثم أفتى شيخنا محمد بن الشهاب الرملي بأنه يحرم على المسلم أن يسقي الذمي في رمضان بعوض أو غيره، لأن في ذلك إعانة على معصيته

Dari sinilah, guru kami Muhammad bin Syihab ar-Ramli, mengharamkan setiap muslim untuk memberi minum kafir dzimmi di bulan ramadhan, baik melalui cara

(Hasyiah al-Jamal ‘ala Syarh Manhaj at-Thullab, 10/310)

Kedua, Allah memerintahkan kita untuk mengagungkan semua syiar islam

ذَلِكَ وَمَنْ يُعَظِّمْ شَعَائِرَ اللَّهِ فَإِنَّهَا مِنْ تَقْوَى الْقُلُوبِ

Demikianlah (perintah Allah). Dan barangsiapa mengagungkan syi’ar-syi’ar Allah, maka sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan hati (QS. al-Hajj: 32)

Bulan ramadhan, termasuk syiar islam. Di saat itulah, kaum muslimin sedunia, serempak melakukan puasa. Karena itu, menjalankan puasa bagian dari mengagungkan ramadhan. Hingga orang yang tidak berpuasa, dia tidak boleh secara terang-terangan makan-minum di depan umum, disaksikan oleh masyarakat lainnya. Tindakan semacam ini, dianggap tidak mengagungkan kehormatan ramadhan.

Dulu para sahabat, mengajak anak-anak mereka yang masih kecil, untuk turut berpuasa. Sehingga mereka tidak makan minum di saat semua orang puasa.

Sahabat Rubayi’ bintu Mu’awidz menceritakan bahwa pada pagi hari Asyura, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus beberapa sahabat ke berbagai kampung di sekitar Madinah, memerintahkan mereka untuk puasa.

فَكُنَّا بَعْدَ ذَلِكَ نَصُومُهُ وَنُصَوِّمُ صِبْيَانَنَا الصِّغَارَ مِنْهُمْ

Kemudian kami melakukan puasa setelah itu dan kami mengajak anak-anak kami untuk turut berpuasa.

Rubayi’ melanjutkan,

فَنَجْعَلُ لَهُمُ اللُّعْبَةَ مِنَ الْعِهْنِ فَإِذَا بَكَى أَحَدُهُمْ عَلَى الطَّعَامِ أَعْطَيْنَاهَا إِيَّاهُ عِنْدَ الإِفْطَارِ

Kami buatkan untuk mereka mainan dari kapas. Jika mereka menangis minta makan, kami berikan boneka itu ketika waktu berbuka. (HR. Muslim no. 2725).

Kita bisa tiru model pembelajaran yang diajarkan para sahabat. Sampai anak-anak yang masih suka main boneka, diajak untuk berpuasa. Karena menghormati kemuliaan ramadhan.

Orang yang udzur, yang tidak wajib puasa, jelas boleh makan minum ketika ramdhan. Tapi bukan berarti boleh terang-terangan makan minum di luar. Sementara membuka rumah makan di siang ramadhan, lebih parah dibandingkan sebatas makan di tempat umum.

Karena alasan inilah, para ulama memfatwakan untuk menutup rumah makan selama ramadhan.

Dalam fatwa Syabakah Islamiyah dinyatakan,

وقد أفتى جماعة من أهل العلم بوجوب إغلاق المطاعم في نهار رمضان ، والله أعلم .

Para ulama memfatwakan, wajibnya menutup warung makan di siang hari ramadhan. Allahu a’lam.

(Fatawa Syabakah Islamiyah, no. 2097)

Allahu a’lam

10 Juni 2015

Beberapa Kesalahan dalam Menyambut Bulan Ramadhan

Berikut adalah beberapa kesalahan yang dilakukan dalam menyambut bulan Ramadhan yang tersebar luas di tengah-tengah kaum muslimin. Semoga dengan mengetahui hal ini, kita dapat membetulkan kekeliruan yang selama ini terjadi.

Pertama: Nyekar (Ziarah Kubur)

Ziarah kubur (Nyekar: bahasa Jawa) adalah sebuah amalan yang mulia di dalam Islam, karena dengan ziarah kubur, manusia akan diingatkan dengan kematian dan akhirat sehingga manusia tidak terlena dengan gemerlapnya kehidupan dunia. Di samping itu, ziarah kubur bisa melembutkan hati yang keras.

Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda (artinya), “Dulu aku pernah melarang kalian untuk berziarah-kubur. Namun sekarang ketahuilah, hendaknya kalian berziarah kubur. Karena ia dapat melembutkan hati, membuat air mata berlinang, dan mengingatkan kalian akan akhirat namun jangan kalian mengatakan perkataan yang tidak layak (qaulul hujr), ketika berziarah” (HR. Al Hakim no.1393, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Al Jaami’, 7584)

Ziarah kubur ini dianjurkan kapanpun, tidak terikat dengan waktu. Tidak boleh bagi seorangpun yang mengikat ziarah kubur dengan waktu tertentu. Salah satu bentuk pengikatan ziarah kubur dengan waktu tertentu adalah mengkhususkan ziarah kubur pada setiap menjelang datangnya bulan Ramadhan atau bulan-bulan lainnya.

Jika anda ingin berziarah kubur, maka berziarahlah kapanpun waktunya, tidak usah mengkhususkan waktu tertentu untuk berziarah.

Kedua: Saling Bermaaf-Maafan

Sama halnya dengan ziarah kubur, meminta maaf juga merupakan sebuah amalan yang mulia di dalam Islam. Jika kita melakukan sebuah kesalahan atau dosa yang berhubungan dengan hak-hak manusia, maka salah satu syarat untuk memohon ampun kepada Allah adalah meminta maaf kepada manusia yang bersangkutan agar dia memaafkan kita, sekaligus kita harus mengembalikan haknya jika ada hak yang telah direnggut.

Meminta maaf juga dianjurkan untuk dilakukan kapanpun selama kita memiliki kesalahan. Caranya adalah dengan menyebutkan kesalahan kita dan kemudian kita minta maaf kepada orang yang bersangkutan atas kesalahan yang kita lakukan. Itulah yang benar.

Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda (artinya), “Orang yang pernah menzhalimi saudaranya dalam hal apapun, maka hari ini ia wajib meminta perbuatannya tersebut dihalalkan oleh saudaranya, sebelum datang hari dimana tidak ada ada dinar dan dirham. Karena jika orang tersebut memiliki amal shalih, amalnya tersebut akan dikurangi untuk melunasi kezhalimannya. Namun jika ia tidak memiliki amal shalih, maka ditambahkan kepadanya dosa-dosa dari orang yang ia zhalimi” (HR. Bukhari no.2449)

Namun, di masyarakat kita muncul sebuah tradisi saling meminta maaf menjelang datangnya Ramadhan dan Idul Fitri. Setiap tahunnya menjelang datangnya bulan Ramadhan atau ketika Idul Fitri, kita mendapati sebagian kaum muslimin saling bermaaf-maafan. Anehnya, tidak disebutkan kesalahan apa yang telah diperbuat sehingga mereka meminta maaf.

Dalam hadits di atas, Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam memerintahkan kita untuk segera meminta maaf jika kita berbuat kesalahan kepada orang lain. Hal itu dikarenakan kita tidak tahu kapan ajal akan menjemput kita. Jika kita meninggal sebelum meminta maaf atas kesalahan kita, maka kesalahan kita tersebut akan kita bawa ke akhirat. Adapun meminta maaf kepada orang lain tanpa tahu sebab kesalahan apa dia meminta maaf, maka ini tidak dianjurkan dalam Islam.

Mungkin ada yang berkata, “Kan mungkin saja ada kesalahan yang tidak kita sadari?”. Maka kita menjawab bahwa memang benar pernyataan tersebut, akan tetapi meminta maaf tanpa sebab itu tidak diajarkan oleh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam dan para shahabat beliau radhiyallaahu ‘anhum.

Di samping itu, kesalahan yang kita lakukan tanpa kita sadari tidaklah terhitung sebagai dosa. Rasulullaah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda (artinya), ““Sesungguhnya Allah telah memaafkan umatku yang berbuat salah karena tidak sengaja (tidak disadari –red), atau karena lupa, atau karena dipaksa” (HR. Ibnu Majah, 1675, Al Baihaqi, 7/356, Ibnu Hazm dalam Al-Muhalla, 4/4, di shahihkan Al Albani dalam Shahih Ibnu Majah)

Waspadalah!!!

Menjelang Ramadhan, biasanya tersebar pesan-pesan singkat yang bunyinya kira-kira seperti ini,

“Do’a Malaikat Jibril menjelang Ramadhan “Ya Allah tolong abaikan puasa ummat Muhammad, apabila sebelum memasuki bulan Ramadhan dia tidak melakukan hal-hal yang berikut:

Tidak memohon maaf terlebih dahulu kepada kedua orang tuanya (jika masih ada);

Tidak berma’afan terlebih dahulu antara suami istri;
Tidak bermaafan terlebih dahulu dengan orang-orang sekitarnya”

Maka Rasulullah pun mengatakan Amiin sebanyak 3 kali. Dapatkah kita bayangkan, yang berdo’a adalah Malaikat dan yang mengaminkan adalah Rasullullah dan para sahabat, dan dilakukan pada hari Jum’at”.

Doa ini tidak tercantum dalam hadits-hadits Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam, dan nampaknya dijadikan sandaran untuk amalan minta maaf menjelang Ramadhan.

Yang ada adalah hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anhu, bahwasanya Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam naik mimbar lalu bersabda, ‘Amin, Amin, Amin’. Para sahabat bertanya, “Kenapa engkau berkata demikian, wahai Rasulullah?” Kemudian beliau bersabda, “Baru saja Jibril berkata kepadaku: ‘Allah melaknat seorang hamba yang melewati Ramadhan tanpa mendapatkan ampunan’, maka kukatakan, ‘Amin’, kemudian Jibril berkata lagi, ‘Allah melaknat seorang hamba yang mengetahui kedua orang tuanya masih hidup, namun tidak membuatnya masuk Jannah (karena tidak berbakti kepada mereka berdua)’, maka aku berkata: ‘Amin’. Kemudian Jibril berkata lagi. ‘Allah melaknat seorang hambar yang tidak bershalawat ketika disebut namamu’, maka kukatakan, ‘Amin”.” (HR. Ibnu Khuzaimah dalam Shahih Ibnu Khuzaimah (3/192) dan Imam Ahmad dalam kitab Musnad Imam Ahmad (2/246, 254). Hadits ini dishahihkan oleh Al Mundziri di At Targhib Wat Tarhib (2/114, 406, 407, 3/295), juga oleh Adz Dzahabi dalam Al Madzhab (4/1682), dihasankan oleh Al Haitsami dalam Majma’ Az Zawaid (8/142), juga oleh Ibnu Hajar Al Asqalani dalam Al Qaulul Badi‘ (212), juga oleh Al Albani di Shahih At Targhib (1679))

Coba cermati makna dua lafazh hadits di atas! Sungguh keduanya amat jauh berbeda. Entah bagaimana asalnya sehingga tersebar lafazh hadits sebagaimana yang banyak tersebar melalui sms-sms.

Sebagai umat Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam, hendaknya kita berhati-hati dalam menyebarkan sesuatu yang mengatasnamakan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam. Hendaknya yang kita sebarkan mengenai beliau adalah sesuatu yang shahih, benar dan bisa dipertanggungjawabkan kebenarannya. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam mengancam orang-orang yang berdusta atas nama beliau, yakni orang-orang yang menyebarkan hadits atau riwayat yang tidak benar atau palsu dari beliau. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda (artinya), ““Barang siapa yang sengaja berdusta atas namaku maka hendaklah ia mengambil tempat tinggalnya di neraka.” (HR. Bukhari-Muslim)

Ketiga: Padusan (Jawa) atau Balimau (Sumatera Barat)

Padusan adalah tradisi yang tersebar di beberapa daerah di Jawa. Padusan adalah upacara berendam atau mandi di sumur-sumur, atau sumber mata air yang di anggap keramat. Upacara ini dinamakan padusan yang bermakna penyucian jiwa dan raga seseorang yang akan melakukan ibadah puasa. Selain itu, padusan bermakna sebagai pembersihan diri dari kesalahan dan dosa yang telah dilakukan.

Di samping padusan, kita juga mengenal tradisi balimau. Tradisi balimau ini hampir mirip dengan tradisi padusan, yakni berendam atau mandi bersama-sama, bercampur baur antara laki-laki-perempuan di sungai-sungai atau tempat-tempat pemandian. Tradisi balimau ini berasal dari Sumatera Barat. Tradisi ini biasanya dilakukan beberapa hari menjelang Ramadhan dan Idul Fitri. Dimulai dari matahari terbit hingga matahari terbenam. Ada juga yang memulainya menjelang terbenam matahari hingga malam. Mirip dengan padusan, balimau juga bermakna pembersihan diri secara lahir dan batin agar siap menjalankan ibadah puasa.

Itulah gambaran sekilas dari tradisi Padusan dan Balimau yang ada di masyarakat kita. Maka nampaklah bagaimana pelanggaran terhadap hukum-hukum Allah di dalamnya. Kaum muslimin yang melakukan tradisi ini, mereka bercampur baur antara laki-laki dan perempuan, para wanita yang membuka aurat-aurat mereka sehingga ditonton oleh kaum lelaki dengan seenaknya.

Sungguh, Islam adalah agama yang memerintahkan untuk tidak bercampur baur antara laki-laki dan perempuan jika tidak ada hajat yang mendesak. Islam juga agama yang memerintahkan laki-laki dan perempuan untuk menjaga aurat masing-masing. Kita telah berada di zaman dimana aurat bukanlah sesuatu yang sangat berharga sehingga dengan mudahnya dipertontonkan kepada siapapun. Begitulah Islam menjaga aurat, terutama bagi wanita sampai-sampai Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam melarang kaum wanita memasuki tempat pemandian umum.

Aisyah radhiyallaahu ‘anhaa pernah berkata kepada para wanita yang biasa masuk ke pemandian umum. Beliau berkata (artinya), “Apakah kalian ini yang biasa membiarkan wanita-wanita kalian masuk ke tempat pemandian (umum)? Aku pernah mendengar Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda (artinya), ‘Tidak ada seorang wanita pun yang melepas pakaiannya (tanpa busana) di selain rumah suaminya melainkan ia telah mengoyak penutup antara dia dan Rabbnya” (HR. Ahmad, Abu Dawud, At-Tirmidzi, Ibnu Majah, Al-Hakim, dan ia menshahihkannya di atas syarat Syaikhain (Al-Bukhari dan Muslim) dan Adz-Dzahabi menyepakatinya)

Inilah cara yang salah untuk menyucikan diri menjelang Ramadhan. Mereka yang melaksanakan tradisi ini mengklaim bahwa dengan melaksanakan tradisi ini, maka jiwa dan raga bisa disucikan. Padahal sesungguhnya mereka justru mengotori jiwa-jiwa mereka dengan dosa dan maksiat dan mereka telah menodai kehormatan bulan Ramadhan. Na’udzubillaahi min dzalik.

Keempat: Menyalakan Petasan

Hampir di setiap daerah ada tradisi menyalakan petasan. Tradisi ini biasanya dimulai dari menjelang Ramadhan hingga pada puncaknya nanti pada hari Idul Fitri sehingga bisa kita lihat para pedagang yang menawarkan komoditi dagang berupa petasan berjajar di pinggir-pinggir jalan, demikian juga di sebagian toko pun ada yang menawarkan barang yang serupa. Sehingga hari-hari Ramadhan yang seharusnya dilewati dengan suasana khusyuk berubah menjadi suasana “mencekam” lantaran suara ledakan petasan.

Ramadhan adalah bulan yang harusnya kita lalui dengan suasana dan kondisi nyaman yang bisa mendukung kita untuk khusyuk beribadah kepada Allah. Kita hendaknya bisa menjaga kenyamanan selama bulan Ramadhan. Perbuatan yang mengganggu kenyamanan publik adalah perbuatan yang tercela dalam agama kita. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam menggambarkan sifat seorang muslim. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda (artinya), “Sebaik-baik (kualitas) keislaman kaum mukminin adalah orang yang kaum muslimin merasa aman dari (kejahatan) lisan dan tangannya.” (HR. Ath-Thabrani)

Dalam hadits di atas, Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam menjelaskan tentang sifat seorang muslim, yakni muslim yang bisa membawa dan menjaga keamanan dan kenyamanan. Keamanan dan kenyamanan bisa kita jaga jika kita bisa mengendalikan tangan dan lisan kita dari menyakiti orang lain. Dan menyalakan petasan itu merupakan perbuatan yang bisa mengganggu keamanan dan kenyamanan orang lain. Banyak kita dengar keluhan demi keluhan yang keluar dari lisan kaum muslimin terhadap petasan-petasan yang disulut yang mengeluarkan suara-suara yang menggelegar. Hal tersebut sangat mengganggu kenyamanan. Ketika manusia akan istirahat pada malam harinya, ternyata mereka tidak bisa beristirahat dengan tenang karena suara ledakan petasan yang dinyalakan.

Di samping itu, petasan juga membahayakan diri sendiri dan orang lain. Betapa seringnya kita mendengar dan melihat orang-orang yang celaka akibat petasan ini. Di antara mereka ada yang terluka, cacat bahkan mati lantaran ledakan petasan. Di samping kerusakan jiwa petasan juga menyebabkan kerusakan material, misal kebakaran.

Di antara kita mungkin ada yang berkata, “Kami menyalakan petasan yang tidak membahayakan jiwa dan material kok. Kami hanya menyulut kembang api kecil atau petasan-petasan kecil yang tidak membahayakan”, maka kami jawab bahwa baik petasan yang membahayakan ataupun tidak tetaplah membawa mudharat. Keduanya sama-sama merupakan pemborosan atau mubadzir terhadap harta. Dan Allah telah melarang kita untuk berperilaku mubadzir.

Allah berfirman (artinya), “Berikanlah kerabat dekat, orang miskin dan ibnu sabil hak mereka. dan jangan sekali-sekali bersikap tabdzir, sesungguhnya orang yang suka bersikap tabdzir adalah teman setan.” (QS. al-Isra’: 26 – 27)

Itu adalah lima contoh dari tradisi yang salah kaprah dalam menyambut Ramadhan. Saya tidaklah membatasi pada lima tradisi yang tersebut di atas karena masih begitu banyak tradisi yang tersebar di masyarakat di daerah yang berbeda-beda. Lima tradisi di atas hanyalah contoh dari tradisi-tradisi yang ada di masyarakat dalam menyambut bulan Ramadhan.

Hendaklah kita menyambut datangnya bulan Ramadhan sesuai dengan tuntunan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam dan sebagaimana yang telah dipraktekkan oleh para shahabat beliau radhiyallaahu ‘anhum.

Keutamaan Bulan Ramadhan

Alhamdulillah, wa shalaatu wa salaamu ‘ala Rosulillah wa ‘ala aalihi wa shohbihi ajma’in.

Sebentar lagi kita akan menginjak bulan Ramadhan. Sudah saatnya kita mempersiapkan ilmu untuk menyongsong bulan tersebut. Insya Allah, kesempatan kali ini dan selanjutnya, muslim.or.id mulai menampilkan artikel-artikel seputar puasa Ramadhan. Semoga dengan persiapan ilmu ini, ibadah Ramadhan kita semakin lebih baik dari sebelumnya.

Ramadhan adalah Bulan Diturunkannya Al Qur’an

Bulan ramadhan adalah bulan yang mulia. Bulan ini dipilih  sebagai bulan untuk berpuasa dan pada bulan ini pula Al Qur’an diturunkan. Sebagaimana Allah Ta’alaberfirman,

شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآَنُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ

“(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu.” (QS. Al Baqarah: 185)

Ibnu Katsir rahimahullah tatkala menafsirkan ayat yang mulia ini mengatakan, ”(Dalam ayat ini) Allah Ta’ala memuji bulan puasa –yaitu bulan Ramadhan- dari bulan-bulan lainnya. Allah memuji demikian karena bulan ini telah Allah pilih sebagai bulan diturunkannya Al Qur’an dari bulan-bulan lainnya. Sebagaimana pula pada bulan Ramadhan ini Allah telah menurunkan kitab ilahiyah lainnya pada para Nabi ’alaihimus salam.”[1]

Setan-setan Dibelenggu, Pintu-pintu Neraka Ditutup dan Pintu-pintu Surga Dibuka Ketika Ramadhan Tiba

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda,

إِذَا جَاءَ رَمَضَانُ فُتِّحَتْ أَبْوَابُ الْجَنَّةِ وَغُلِّقَتْ أَبْوَابُ النَّارِ وَصُفِّدَتِ الشَّيَاطِينُ

Apabila Ramadhan tiba, pintu surga dibuka, pintu neraka ditutup, dan setan pun dibelenggu.”[2]

Al Qodhi ‘Iyadh mengatakan, “Hadits di atas dapat bermakna, terbukanya pintu surga dan tertutupnya pintu Jahannam dan terbelenggunya setan-setan sebagai tanda masuknya bulan Ramadhan dan mulianya bulan tersebut.” Lanjut Al Qodhi ‘Iyadh, “Juga dapat bermakna terbukanya pintu surga karena Allah memudahkan berbagai ketaatan pada hamba-Nya di bulan Ramadhan seperti puasa dan shalat malam. Hal ini berbeda dengan bulan-bulan lainnya. Di bulan Ramadhan, orang akan lebih sibuk melakukan kebaikan daripada melakukan hal maksiat. Inilah sebab mereka dapat memasuki surga dan pintunya. Sedangkan tertutupnya pintu neraka dan terbelenggunya setan, inilah yang mengakibatkan seseorang mudah menjauhi maksiat ketika itu.” [3]

Terdapat Malam yang Penuh Kemuliaan dan Keberkahan

Pada bulan ramadhan terdapat suatu malam yang lebih baik dari seribu bulan yaitu lailatul qadar (malam kemuliaan). Pada malam inilah –yaitu 10 hari terakhir di bulan Ramadhan- saat diturunkannya Al Qur’anul Karim.

Allah Ta’ala berfirman,

إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ (1) وَمَا أَدْرَاكَ مَا لَيْلَةُ الْقَدْرِ (2) لَيْلَةُ الْقَدْرِ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ (3

Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al Quran) pada lailatul qadar (malam kemuliaan). Dan tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu? Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan.” (QS. Al Qadr: 1-3).

Dan Allah Ta’ala juga berfirman,

إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةٍ مُبَارَكَةٍ إِنَّا كُنَّا مُنْذِرِينَ

Sesungguhnya Kami menurunkannya pada suatu malam yang diberkahi dan sesungguhnya Kami-lah yang memberi peringatan.” (QS. Ad Dukhan: 3). Yang dimaksud malam yang diberkahi di sini adalah malam lailatul qadr. Inilah pendapat yang dikuatkan oleh Ibnu Jarir Ath Thobarirahimahullah[4]. Inilah yang menjadi pendapat mayoritas ulama di antaranya Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma.[5]

Bulan Ramadhan adalah Salah Satu Waktu Dikabulkannya Do’a

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda,

إِنَّ لِلّهِ فِى كُلِّ يَوْمٍ عِتْقَاءَ مِنَ النَّارِ فِى شَهْرِ رَمَضَانَ ,وَإِنَّ لِكُلِّ مُسْلِمٍ دَعْوَةً يَدْعُوْ بِهَا فَيَسْتَجِيْبُ لَهُ

Sesungguhnya Allah membebaskan beberapa orang dari api neraka pada setiap hari di bulan Ramadhan,dan setiap muslim apabila dia memanjatkan do’a maka pasti dikabulkan.”[6]

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ثَلاَثَةٌ لاَ تُرَدُّ دَعْوَتُهُمُ الصَّائِمُ حَتَّى يُفْطِرَ وَالإِمَامُ الْعَادِلُ وَدَعْوَةُ الْمَظْلُومِ

Tiga orang yang do’anya tidak tertolak: orang yang berpuasa sampai ia berbuka, pemimpin yang adil, dan do’a orang yang dizholimi”.[7]An Nawawi rahimahullah menjelaskan, “Hadits ini menunjukkan bahwa disunnahkan bagi orang yang berpuasa untuk berdo’a dari awal ia berpuasa hingga akhirnya karena ia dinamakan orang yang berpuasa ketika itu.”[8] An Nawawi rahimahullah mengatakan pula, “Disunnahkan bagi orang yang berpuasa ketika ia dalam keadaan berpuasa untuk berdo’a demi keperluan akhirat dan dunianya, juga pada perkara yang ia sukai serta jangan lupa pula untuk mendoakan kaum muslimin lainnya.”[9]

Raihlah berbagai keutamaan di bulan tersebut, wahai Saudaraku!

Semoga Allah memudahkan kita untuk semakin meningkatkan amalan sholih di bulan Ramadhan.

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

BACA JUGA

KESURUPAN DALAM TINJAUAN AKIDAH ISLAM

  Oleh Ustadz DR. Ali Musri Semjan Putra, MA Para pembaca yang dirahmati Allâh Azza wa Jalla Semoga Allâh Azza wa Jalla senantiasa menjadika...