Syaikh Abu Mariyah Al-Qahthani menyampaikan bukti nyata akan bodohnya orang-orang yang ghuluw. Beliau menjelaskan keadaan di mana langkanya para ulama yang berkecimpung dalam dunia jihad, sementara perang terus mengikis jumlah para ulama dan penuntut ilmu.
Beliau juga menyampaikan bahwa sikap ghuluw akan muncul setelah sebelumnya tertimbun, bangkit setelah sebelumnya terlelap, dan laris-manis setelah sebelumnya dicampakkan.
Berikut terjemahan penjelasan Syaikh Al-Qahthani tersebut, yang dipublikasikan oleh Muqawamah Media pada Rabu (7/1/20105).
BUKTI NYATA AKAN BODOHNYA ORANG-ORANG YANG GHULUW
(Bagian Pertama)
Oleh : Syaikh Abu Mariyah Al-Qahthani
بسم الله الرحمن الرحيم
Segala puji bagi Allah rabb semesta alam, shalawat serta salam semoga tetap tercurahkan kepada sang penutup para nabi dan rasul, Nabi kita Muhammad beserta keluarga dan para sahabat beliau, amma ba’du:
Di zaman absennya Negara Islam, langkanya para ulama yang berkecimpung dalam dunia jihad, sedangkan perang terus mengikis jumlah para ulama dan penuntut ilmu, maka orang-orang bodohlah yang akan mendominasi, mereka akan menuntun para bawahan mereka kepada kesesatan, dan sikap ghuluw akan muncul setelah sebelumnya tertimbun, bangkit setelah sebelumnya terlelap, dan laris-manis setelah sebelumnya dicampakkan. Lalu para pengikutnya berhasil meraih kekuatan serta kekuasaan, dan para penyeru kepada pintu-pintu jahannam-nya pun semakin banyak, mereka mendakwahkan kesesatan mereka kepada manusia, menutupi agama mereka dan memerangi ahlus sunnah demi ideologi mereka itu.
Saya ingin menyoroti beberapa pemikiran mereka, dan menjelaskan sikap para ulama terhadap sikap mereka yang ghuluw dalam mengkafirkan, serta peringatan para ulama tersebut terhadap sikap ghuluw dan gambaran-gambarannya, semoga Allah senantiasa membimbing saya.
Tujuan saya menyusun tulisan ini adalah untuk membantah pemikiran para ghulat zaman ini yang mengkafirkan jamaah-jamaah jihad yang berjuang demi menegakkan kalimat Laa Ilaaha Illa Allah. Terkadang jamaah-jamaah tersebut dikafirkan karena mereka mendapatkan senjata dari orang-orang kafir dan terkadang karena mereka melakukan perundingan dengan orang-orang kafir, serta dakwaan-dakwaan bathil lainnya. Padahal kelompok-kelompok tersebut tidak melakukan perbuatan kufur sehingga ia layak mereka kafirkan, akan tetapi tudingan kafir tersebut bersumber dari fatwa-fatwa buta dan prinsip-prinsip yang diciptakan terhadap kondisi lapangan di bumi Syam tanpa ada pemahaman mendalam mengenai seluk-beluknya. Fatwa dan prinsip tersebut dipegang erat oleh orang-orang yang tidak pernah berkecimpung dalam dunia keilmuan dan jihad.
Di sini saya bukan ingin membela kelompok-kelompok sekuler yang mengumumkan panji demokrasinya, bukan pula berpura-pura tidak tahu dengan tujuan utama jihad Syam pada hari ini, dimana musuh terbesar saat ini adalah kaum Nushairiyah yang menjajah kaum muslimin, mereka berperang mewakili Yahudi, Nahsrani dan thaghut internasional yang menguasai negeri-negeri kaum muslimin, sehingga mempertahankan diri dari serangan Nushairiyyah harus didahulukan dari segala sesuatu; karena setiap harinya mereka membunuh ratusan kaum muslimin dengan bom-bom barel, dan aksi bombardir mereka. Ketika kondisi kita seperti ini, para ghulat justru memberikan sumbangsih yang besar dalam menggagalkan perang defensif melawan agresor yang bejat ini, serta memperkuat tampuk kekuasaan Basyar dan melanggengkan dirinya beserta kroni-kroninya yang durjana, dan ini diakui oleh setiap orang yang bersikap netral dalam mengikuti perkembangan Suriah.
Sebelumnya Provinsi Aleppo (khususnya Kota Aleppo) dipenuhi dengan kelompok-kelompok Islam serta berbagai kelompok lainnya yang masih dikategorikan Islam, baik itu yang baik maupun yang buruk, jasa mereka dalam memerangi rezim kafir dikenal dengan baik dan luas, meskipun di antara mereka ada yang fasiq dan tukang maksiat, akan tetapi mereka bagaikan tembok yang menghadang serangan rezim. Di antara kelompok Islam yang namanya berkibar di Aleppo adalah Liwa’ Tauhid, pasukan mereka menangani 19 front pertempuran di Aleppo, ia berperan aktif di wilayah-wiilayah pesisir Aleppo dan tidak pernah absen dalam menyertai Jabhah Nushrah serta Harakah Ahrar Syam.
Pada awalnya semuanya berjalan dengan baik, tak ada celah yang bisa dimanfaatkan oleh musuh untuk menyerang, sampai suatu ketika ghuluw mulai angkat bicara, kemudian memberontak terhadap mujahidin dengan mengeluarkan fatwa sesat dan menghunuskan pedang kejahatan yang ia tujukan kepada para mujahidin dan leher para murabith, bukan kepada orang-orang kafir dan murtad, lalu ia membuka front pertempuran untuk melawan mujahidin, ia menuding kelompok ini sebagai pembangkang – sebagaimana yang ditudingkan kepada Jabhah Nushrah sebelum mereka mengkafirkannya – kelompok itu sebagai murtad dan shahawat, sebagian orang-orang tolol yang mereka angkat sebagai penanggung jawab syariat menuduh Syaikh Ayman Azh Zhawahiri telah kafir, mereka mengkafirkan Syaikh Al Jaulani dan hamba yang fakir ini (penulis – red.). Apalagi Zahran Alush, Al Hamawi dan orang-orang kalangan mereka, mereka semua telah lebih dahulu dituding sebagai orang kafir dan dedengkot shahawat yang murtad oleh para penganut sikap ghuluw tersebut, hanya Allah lah tempat kita memohon pertolongan.
Semua itu merupakan vonis kafir yang tidak ada batasan dan kekangan, vonis kafir yang motifnya permusuhan, vonis kafir yang bermuatan politik, dan dilakukan sesuai dengan kehendak hawa nafsu dan kepentingan pelakunya, dan didasarkan pada asas praduga dan prasangka.
Semoga Allah merahmati Asy Syaukani yang telah berkata:
“Di sinilah air mata ditumpahkan Islam beserta pemeluknya diratapi, karena adanya aniaya fanatisme agama terhadap mayoritas kaum muslimin, berupa saling menuduh kafir tanpa landasan Sunnah, Qur’an, atau pernyataan dari Allah, ataupun penjelasan. Namun tatkala fanatisme agama ini melampaui batas dan syaithan yang terlaknat telah mampu memecah belah persatuan kaum muslimin, maka ia akan mendiktekan keharusan sebagian mereka terhadap sebagian yang lain dengan suatu yang serupa dengan debu di udara dan fatamorgana di padang pasir.
Ya Allah, tolonglah kaum muslimin dari kenistaan yang tergolong sebagai kenistaan terbesar dalam agama ini dan kehinaan yang belum pernah mengotori jalan orang-orang yang beriman dengan dengan kotoran yang semisalnya. Jika pada dirimu masih tersisa secercah akal dan rasa taqarrub kepada Azza wa Jalla, dan secuil semangat keIslaman, tentu engkau dan setiap orang yang memahami agama ini akan tahu bahwa ketika Nabi Shallallahu alaihi wa sallam ditanya tentang Islam, beliau menjawab dengan menjelaskan hakekatnya dan menjabarkan pemahamannya:
“bahwa ia (Islam) adalah mendirikan shalat, menunaikan zakat, haji ke Baitullah, puasa Ramadhan dan syahadat laa ilaaha illallah.” dan hadits-hadits yang semakna dengan ini adalah mutawatir. Barangsiapa melaksanakan kelima rukun ini dan merealisasikannya dengan sungguh-sungguh, maka ia adalah orang Islam, meskipun ia ditolak oleh orang yang menolak, siapa pun orangnya. Karena siapa saja yang datang kepadamu dengan sesuatu yang menyelisihi ini berupa ucapan rendahan dan ilmu yang palsu, bahkan justru kebodohan, maka lemparkan saja itu di wajahnya dan katakan kepadanya: Igauanmu ini telah melampaui dalil Muhammad bin Abdillah.
Tinggalkan setiap ucapan di samping ucapan Muhammad
Tidaklah orang aman dalam diennya seperti orang yang mempertaruhkannya” [Sail Al Jarar: 4/548]
Yang lebih mengherankan lagi adalah, Jamaah Daulah mengkafirkan faksi-faksi lain kemudian menghalalkan darah dan harta mereka, kemudian ketika ia telah melakukan itu semua dan mengkafirkan setiap personal mereka, maka ia akan menggunakan seluruh cara untuk menghabisi mereka, ia juga menjadikan vonis kafir terhadap faksi-faksi tersebut sebagai pintu untuk mengkafirkan Jabhah Nushrah, karena Jabhah Nushrah tidak mengkafirkan faksi-faksi tersebut dan ia ikut berperang bersama mereka. Dan ketika Jabhah Nushrah mempertahankan diri dari serangan Jamaah Daulah, dan Jabhah Nushrah menggandeng Harakah Ahrar Syam dan Jabhah Islamiyah, Jamaah Daulah pun merasa bangga dengan keyakinan rusaknya, mulailah ia mempromosikan ketetapan bathilnya, yaitu Jabhah Nushrah kafir karena ia bersikap loyal kepada orang kafir, kemudian ia menipu para anggotanya dan mengirimkan mereka sebagai pelaku serangan berani mati, pelaku bom bunuh diri, pelaku bom sabuk dan granat, maka mereka pun meledakkan diri mereka di markas-markas paraa mujahidin di Deir Ezzour, Aleppo, Idlib, Raqqah dan provinsi lainnya.
Kami tidak heran dengan hal ini, karena kami sudah tahu bahwa sebelumnya mereka telah mengkafirkan saudara-saudara kami di Jabhah Nushrah dan Harakah Ahrar Syam di Raqqah, dan membunuh para anggota kedua kelompok tersebut yang terluka di rumah sakit, membunuh mereka yang tertawan, mengirimkan bom-bom mobil ke markas-markas Jabhah Nushrah dan Harakah Ahrar Syam disertai dengan restu dari Turki Al Bin’ali dan Abu Ja’far Al Hithab At Tunisi. Sungguh benar perkataan Syaikh Al Hadusyi ketika beliau berkata: “Sesungguhnya tidaklah Al Hithab memasuki suatu medan perang, kecuali ia akan merusaknya.”
Lihatlah derita Aljazair, seakan-akan ia terulang kembali, maka dari itu saya nasehatkan kepada para pendukung Jamaah Daulah di Syam beserta para anggota mereka, hendaknya mereka kembali kepada apa yang dituliskan oleh Syaikh Abu Mush’ab As Suri di dalam kesaksian beliau yang tertuang di dalam “At Tajarrubah Al Jazairiyyah“, karena mereka (para pejuang Aljazair) harus mundur jauh ke belakang, sedangkan apa yang dilakukan oleh Jamaah Daulah tidak jauh berbeda dengan apa yang terjadi di Aljazair, bahkan setiap detailnya sangat serupa, hal ini tampak sangat jelas bagi siapa saja yang berfikir secara ikhlas dan terlepas dari belenggu hawa nafsu, karena setiap jiwa pasti mempunyai hawa nafsu, anda bisa menyaksikan tidak ada satupun ulama mu’tabar yang mendukung Daulah, dan tidak ada satupun komandan jihad yang mendukung mereka kecuali mereka yang memang satu pemikiran dan ideologi dengan Daulah. Bahkan seluruh ulama, para da’i, orang-orang baik dan para komandan jihad tidak ada yang senang dengan apa yang diperbuat oleh Daulah, sehingga fakta ini menjadikan pimpinan pusat Tanzhim Qaidatul Jihad mengeluarkan pernyataan berlepas diri dari Jamaah Daulah beserta perbuatannya setelah mereka menaruh harapan yang besar dan kesabaran yang panjang terhadapnya.
Pergolakan ini sudah ada sejak dahulu, namun baru sekarang sikap berlepas diri ini diambil, alasan yang diberikan oleh Jamaah Qaidatul Jihad sangat jelas, yaitu kita semua tahu bahwa ada banyak hal yang sebelumnya tidak mereka ketahui namun pada hari-hari ini sudah mereka ketahui dengan jelas, keterbukaan dunia media menyingkap banyak kebingungan yang selama ini dialami oleh umat dan mujahidin di medan perang lain.
Oleh karena itu kami ingin menasehati saudara-saudara kami di Iraq yang masih bergabung bersama Jamaah Daulah, yang masih kami anggap mempunyai tujuan yang baik – nahsubuhum wa Allah haibuhum – hendaknya mereka meninjau kembali perjalanan mereka, kemana mereka pergi, kemanakah jamaah yang dibangun di atas potongan tubuh dan genangan darah itu berjalan. Jangan sampai pengorbanan bertahun-tahun hilang secara sia-sia. Mereka harus melihat siapakah yang duduk di tampuk kepemimpinan Jamaah Daulah yang tidak membiarkan sesama kalangannya selamat, akan tetapi seluruh manusia pun ingin ia binasakan. Hendaknya mereka mengkaji ulang pidato-pidato jubir mereka yaitu Al Adnani yang sebagaimana telah diketahui oleh mayoritas ikhwah siapa dia sebenarnya? Apa ideologinya dan apa yang terkandung dalam kata-katanya? Singkatnya ia menganggap semua orang sebagai shahawat, ia berkata bahwa minuman para anggota Daulah adalah darah, dan santapan mereka adalah potongan tubuh, dan lain-lainnya yang itu semua bertentangan dengan fitrah normal seorang manusia, bahkan sebelum itu ia pernah menyatakan bahwa Ikhwanul Muslimin lebih buruk daripada kaum sekuler!
Maka di sini kami ingin mengajukan satu pertanyaan: apakah menurutmu (Al Adnani) para anggota Ikhwanul Muslimin yang awam dihukumi sama dengan kaum sekuler dari kalangan awam? Apakah jauhnya jarak Ikhwanul Muslimin dari syariat sama dengan jauhnya jarak kaum sekuler darinya? Apakah orang yang menuntut penegakan syariat kemudian ia disalahkan oleh syariat, sama dengan orang yang mencampakkan agama dan sombong terhadap Rabb semesta alam? Sesungguhnya ini hanyalah ucapan orang-orang yang ceroboh, yang tidak menunjukkan bahwa ia adalah seorang yang berakal apalagi orang yang lurus di atas syariat.
Syaikh Abu Muhammad Al Maqdisi – semoga Allah segera membebaskan beliau – telah membantah pendapat yang sembrono ini di dalam tulisan beliau yang berjudul; “Keadilan Adalah Jubah Bagi Orang-Orang Yang Terhormat”:
“Apakah perkataan sejumlah orang pasca musibah yang menimpa Ikhwanul Muslimin di Mesir berikut ini: “Ikhwanul Muslimin lebih buruk dari pada kaum sekuler dan murtad” adalah perkataan yang adil!? Apakah orang yang mengucapkan perkataan seperti ini – jika ia tidak takut kepada Allah dan menjaga dirinya – mampu untuk bersikap adil kepada manusia dan menghukumi mereka secara adil ketika seandainya mereka berkuasa? Serta berlaku adil terhadap orang-orang awam, tukang maksiat, orang-orang yang salah langkah, para pelanggar, orang-orang fasiq dan orang-orang lain yang lebih buruk daripada Ikhwanul Muslimin?!
Sesungguhnya siapa saja yang mengamati apa yang kalangan sekuler Mesir perbuat terhadap Ikhwanul Muslimin – baik itu pria maupun wanita dan tua maupun muda – serta menyaksikan permusuhan mereka terhadap Islam yang bahkan namanya pun turut dimusuhi, dan tindakan mereka yang memerangi syariat yang bahkan tulisannya pun turut diperangi, tentu ia akan tahu bahwa ucapan dan pernyataan panas seperti ini adalah pernyataan yang zhalim, orang yang mengucapkannya tidak mempertimbangkan kehormatan dan hak kaum muslimin tersebut, ia juga tidak merasa simpati terhadap cobaan dan bencana yang menimpa mereka, ia menyamakan antara orang yang memerangi agama Allah, tidak memelihara hubungan kekerabatan terhadap orang yang beriman dan tidak mengindahkan perjanjian, dengan orang Islam baik itu yang taat beragama maupun yang suka bermaksiat. Jadi ucapan seperti ini tidak menunjukkan sikap yang adil dan berimbang yang mana langit dan bumi dibangun di atas asas tersebut.
Seluruh dunia harus tahu bahwa kita tidak mengkafirkan Ikhwanul Muslimin, di mata kami mereka adalah kaum muslimin meskipun mereka banyak berseberangan dengan kita dalam berbagai masalah, yang sebagiannya dalam masalah manhaj dan masalah pokok, mereka beserta para pengikut mereka, pendukung mereka, dan ribuan simpatisan mereka memiliki kelas yang berbeda-beda, di antara mereka adalah yang faham, ada pula yang tidak, ada yang taat beragama, ada juga yang gemar bermaksiat, ada yang terpelajar, ada pula yang buta huruf, di antara mereka ada yang terjerumus ke dalam perbuatan-perbuatan yang membatalkan keIslaman seperti berhukum selain dengan apa yang diturunkan oleh Allah atau ikut serta dalam membuat undang-undang, atau bersumpah untuk menghormati konstitusi kufur, atau memuji-muji UU buatan manusia, para jaksanya dan lembaga-lembaga peradilannya, namun di antara mereka ada juga yang tidak mendekati perbuatan-perbuatan itu sama sekali.
Jadi setiap orang harus diperlakukan dengan selayaknya, dan kita tidak boleh melanggar batasan Allah terhadap mereka dengan memperlakukan mereka semua dengan perlakuan terhadap orang-orang yang telah terjerumus ke dalam sebagian perbuatan yang membatalkan keIslaman, sehingga kita memusuhi orang yang terbebas dari perbuatan tersebut persis seperti kita memusuhi orang yang terjerumus ke dalam perbuatan tersebut, maka ini sama sekali bukanlah sikap yang adil, apalagi mereka bukanlah kelompok yang mengangkat senjata dan memberontak dengan kekuatan, akan tetapi mereka adalah kelompok yang diperangi karena keIslaman dan agama yang mereka yakini.
Jadi kita tidak boleh bermaksiat kepada Allah dalam memperlakukan mereka, meskipun mereka bermaksiat kepada-Nya dalam memperlakukan kita, dan janganlah kita memusuhi mereka meskipun sebagian mereka memusuhi kita dan menzhalimi kita dengan mencap kita sebagai kelompok teroris atau takfiri. Jadi kita tidak boleh menzhalimi mereka meskipun mereka menzhalimi kita, akan tetapi kita harus mentaati Allah dalam memperlakukan mereka meskipun mereka bermaksiat kepada Allah dalam memperlakukan kita, kita harus bertaqwa kepada-Nya dengan cara bersikap adil terhadap mereka meskipun sebagian dari mereka menzhalimi kita dan tidak bertaqwa kepada Allah dalam memperlakukan kita.
Inilah karakter yang harus dipegang erat oleh aliran kita, dan inilah yang harus dijadikan pola pikir para kader dan sikap para komandan, masyayikh, dan sosok-sosok panutannya, karena mereka adalah orang-orang yang paling berhak untuk berlaku adil karena manusia senantiasa menzhalimi mereka, dan mereka adalah orang-orang yang paling berhak untuk bersikap adil karena manusia selalu memusuhi mereka, karena orang yang menimpakan kezhaliman pasti ia adalah orang yang paling benci dengan keadilan dan karakternya paling jauh dari keadilan, sedangkan orang yang merasakan pahitnya fitnah terhadap dirinya dan panasnya hujatan dari musuh yang zhalim dan pemerintah kafir yang suka menfitnah, maka ia harus menjadi orang yang paling jauh dari karakter suka menfitnah dan menghujat, paling membenci perbuatan tersebut, dan paling berambisi untuk bersikap adil.
Seperti inilah agama kita, dan inilah karakter kita, kita memperlakukan manusia dengan karakter kita, bukan dengan karakter mereka. Sungguh tidak etis dan tidak jantan apabila kita merasa gembira ketika ada di antara kaum muslimin yang menentang kita terkena musibah, musuh-musuh Allah menguasai mereka dan merampas kehormatan mereka, karena kaum yang memusuhi mereka karena keIslaman mereka, yang olehnya dicap sebagai kalangan moderat, permusuhannya terhadap kita dan keIslaman kita lebih dahsyat, yang mana olehnya kita dicap sebagai kalangan ekstrimis, militan dan teroris, para kader aliran kita yang tertangkap oleh musuh tahu betul apa yang saya katakan ini.
Sesungguhnya di antara ikatan iman yang paling kokoh yang pernah kami pelajari dan selama ini kami ajarkan dan serukan adalah: seluruh kaum muslimin harus diberikan loyalitas sesuai dengan kadarnya, yaitu sesuai dengan kedekatannya kepada agama serta ketaatannya, kita juga harus membedakan antara orang Islam dengan orang yang berdosa, dan kita harus membedakan antara pemeluk Islam dengan musuh Islam, bahkan tukang maksiat dan orang-orang yang fajir yang masih beragama Islam tidak boleh kita zhalimi atau kita perlakukan dengan perlakuan yang melanggar batasan Allah. Orang yang fasiq pun masih mempunyai hak untuk kita berikan loyalitas dan pembelaan.” Sampai di sini perkataan Syaikh Al Maqdisi.
Kepada para pendukung Jamaah Daulah, hendaknya mereka tidak menganggap suci kelompok mereka sedangkan kelompok lainnya sesat, dan hendaknya mereka menilai pidato-pidato, fatwa-fatwa dan pernyataan para komandan Al Qaeda, kemudian membandingkannya dengan kondisi Jamaah Daulah serta perbuatan dan pernyataan mereka, pasti mereka akan menemukan perbedaan besar di antara keduanya. Di mata orang yang mengkaji manhaj Syaikh Athiyatullah, Abu Yahya dan Amir mereka yaitu Usamah, yang mana manhaj mereka tersebar di dalam pandangan mereka, tulisan-tulisan mereka dan pidato-pidato mereka, manhaj mereka tidak sama dengan manhaj Jamaah Daulah. Akan tetapi kita diuji dengan kecintaan secara menyeluruh kepada Al Qaeda, sehingga kita tidak sempat mengkaji manhajnya dan detail-detailnya yang lain, karena itulah banyak orang menganggap bahwa Al Qaeda pada hari ini telah menyimpang, padahal sedikitpun ia tidak menyimpang dari manhaj para pendahulunya.
Mereka juga wajib untuk tidak mematuhi pemimpin mereka secara buta, karena patuh kepada makhluk tidak diperbolehkan jika di dalamnya terdapat kemaksiatan kepada Sang Khaliq, apalagi mematuhi orang yang memerintahkan dirimu untuk membunuh mujahidin dan meledakkan markas mereka dengan bom-bom mobil. Katakan kepadaku, demi Rabbmu: siapakah yang pernah berbuat seperti perbuatan Jamaah Daulah yang berani meledakkan markas para mujahidin dan menyerangnya dengan bom-bom mobil? Sungguh kelakuan dan kebejatan Jamaah Daulah terhadap penentangnya sudah melampaui apa yang dilakukan oleh Antar Az Zawabiri dan Abu Abdurrahman Amin di Aljazair.
Kini sejarah menyaksikan bahwa tidak ada yang pernah mengebom markas Al Qaeda kecuali Amerika terlaknat dan Jamaah Daulah. Perbuatan dan kejahatan Jamaah Daulah serupa dengan apa yang diperbuat oleh orang-orang kafir terhadap kaum muslimin, yaitu menyerang para komandan mujahidin serta markas-markas mereka, bahkan rumah-rumah mereka. Pernah suatu kali mereka mengirimkan 3 orang pelaku bom bunuh diri ke rumah Amir Jabhah Nushrah di Provinsi Hasakah, kemudian salah seorang dari mereka meledakkan dirinya sehingga 4 orang ikhwah pilihan terbunuh, setelah itu 2 pelaku lainnya menyerahkan dirinya kemudian keduanya menceritakan kisahnya di hadapan kamera, kedua pelaku tersebut menyerahkan diri setelah mendengar teriakan wanita dan anak-anak, padahal komandan mereka memberitahukan bahwa di dalam bangunan tersebut tidak ada anak-anak ataupun wanita, atau pun orang awam. Kejahatan seperti ini banyak sekali terjadi dan masuk ke dalam daftar panjang kejahatan Jamaah Daulah, maka sesungguhnya kita adalah milik Allah dan kepada-Nya lah kita kembali.
Sungguh kami bertanya-tanya; bagaimana bisa mereka – yaitu orang-orang yang mematuhi Jamaah Daulah secara buta, serta melakukan apa saja yang diperintahkan oleh komandan mereka, termasuk membunuh para mujahidin dan meledakkan rumah mereka – mengira bahwa mereka akan bertemu Rabb mereka dan Ia akan ridha terhadap mereka? Bagaimana mungkin Allah ridha terhadap mereka? Mereka membatalkan perjanjian-perjanjian yang penting, mereka berani menumpahkan darah kaum muslimin dan para mujahidin dan mengikat perjanjian untuk membela jamaah mereka saja tanpa berdasarkan petunjuk, ia hanya loyal kepada orang yang loyal kepada jamaah mereka dan memusuhi orang yang memusuhi jamaah mereka, dan mereka tidak memandang kedudukannya dan kedudukan orang yang menentang jamaahnya sesuai dengan tinjauan yang benar.
Syaikh Islam Ibnu Taimiyyah Rahimahullah berkata ketika menjelaskan permasalahan perjanjian, sumpah dan loyalitas:
“Barangsiapa yang meminta seseorang agar bersumpah untuk memberikan loyalitas kepada siapa saja yang ia berikan loyalitas, dan memusuhi siapa saja yang ia musuhi, maka ia sejenis dengan kaum Tartar yang berjihad di jalan setan, dan yang seperti ini bukanlah mujahidin yang berjuang di jalan Allah Ta’ala, bukan pula tentara kaum muslimin, orang-orang seperti itu tidak boleh menjadi tentara kaum muslimin, karena mereka adalah tentara setan. Seharusnya ia berkata kepada muridnya: Engkau harus bersumpah untuk berwala’ kepada siapa saja yang berwala’ kepada Allah dan Rasul-Nya, memusuhi siapa saja yang memusuhi Allah dan Rasul-Nya, saling bekerjasama dalam hal kebaikan dan ketaqwaan dan tidak bekerjasama dalam keburukan dan permusuhan, apabila kebenaran bersamaku maka engkau harus membela kebenaran, dan apabila aku berada di atas kebathilan, maka janganlah engkau membela kebathilan. Maka siapa saja yang memegang teguh ini semua, ia adalah mujahidin yang berjuang di jalan Allah Ta’ala, yang ingin agar agama semuanya untuk Allah dan menjadikan kalimat Allah menjulang tinggi.” [Majmu’ Fatawa: 28/12-19]
Renungkanlah perkataan Syaikh Islam Rahimahullah di atas agar kalian tahu atas hal apa kalian berbai’at, kapan engkau patuh dan kapan engkau enggan untuk taat. Bertaqwalah kepada Allah wahai saudaraku mujahid, dan janganlah menjadi pembela orang-orang yang zhalim.
Bagaimana bisa kalian mengkafirkan seorang mujahid yang berangkat berperang demi membela agama hanya karena prasangka yang salah atau sesuatu yang masih diragukan kebenarannya? Bukankah hal seperti ini hampir sama dengan mentaati para rabi yahudi dan para rahib nasrani dalam urusan menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal? Hukum-hukum wadh’i disamakan dengan hukum-hukum taklifi. Padahal vonis kafir itu adalah hak Allah Ta’ala, tidak ada seorang pun dikafirkan kecuali orang yang dikafirkan oleh Allah secara yakin. Penuntut ilmu yang masih muda apalagi orang awam tidak boleh dijadikan panutan dalam hal ini, ia juga tidak boleh dilakukan tanpa ada keterangan, bukti dan menghilangkan syubhat, bagaimana bisa jamaah-jamaah jihad dikafirkan! Di antara anggota faksi-faksi yang dikafirkan oleh Jamaah Daulah itu, ada orang-orang yang menafsirkan nash dan mengamalkan beberapa pendapat serta berijtihad di dalamnya dengan mengambil senjata dan harta, maka demi Rabbmu, jawablah pertanyaanku ini: dimanakah unsur kekufuran dan keriddahan yang terkandung di dalam tindakan itu? Bagaimana mereka bisa kafir? bagaimana bisa vonis kafir mereka hanya didasarkan pada vonis kafir berantai dengan alasan yang lemah, dan sama sekali tidak memenuhi syarat-syarat syari dari vonis kafir.
Syaikh Abu Umar Abdul Hakim Hassan berkata:
“Sesungguhnya di antara permasalahan penting yang besar dan diharamkan oleh agama Allah Ta’ala adalah menuding seorang muslim sebagai kafir padahal ia tidak layak (disebut kafir), karena darah seorang muslim, kehormatannya dan hartanya adalah haram, sebagaimana yang disabdakan oleh Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam:
كُلُّ الْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ حَرَامٌ دَمُهُ وَمَالُهُ وَعِرْضُهُ
“..Muslim yang satu dengan yang Iainnya haram darahnya. hartanya, dan kehormatannya..” [HR. Muslim No.4650].
Hal ini jelas, sebagaimana yang juga disabdakan oleh beliau Shallallahu alaihi wa sallam:
فَإِنَّ دِمَاءَكُمْ وَأَمْوَالَكُمْ عَلَيْكُمْ حَرَامٌ
“Sesungguhnya darah kalian, harta-harta kalian haram atas kalian..” [HR. Bukhari No.1625].
Nabi Shallallahu alaihi wa sallam juga telah menjelaskan bahaya besar dalam mengkafirkan seorang muslim di dalam sabda beliau:
وَلَعْنُ الْمُؤْمِنِ كَقَتْلِهِ وَمَنْ رَمَى مُؤْمِنًا بِكُفْرٍ فَهُوَ كَقَتْلِهِ
“..melaknat seorang mukmin bagaikan membunuhnya, dan barangsiapa menuduh seorang mukmin dengan kekafiran, maka dia seperti membunuhnya.” [HR. Bukhari No.6161].
Diriwayatkan secara marfu’ dari Abdullah bin Mas’ud, ia berkata:
مَا مِنْ مُسْلِمَيْنِ إِلا وَبَيْنَهُمَا سِتْرٌ مِنَ اللَّهِ ، فَإِنْ قَالَ أَحَدُهُمَا لأَخِيهِ كَلِمَةَ هَجْرٍ ، خَرَقَ سِتْرَ اللَّهِ الَّذِي بَيْنَهُمَا ، وَلا قَالَ أَحَدُهُمَا لأَخِيهِ أَنْتَ كَافِرٌ إِلا كَفَرَ أَحَدُهُمَا
“Tidak ada dua orang Islam, kecuali di antara keduanya terdapat tabir dari Allah, apabila salah satu dari keduanya berkata kepada saudaranya perkataan hajr, maka Allah akan mengoyak tabir tersebut, dan apabila ia berkata; ‘wahai kafir!’, maka salah satu dari keduanya telah kafir.”
Beliau (Syaikh Abu Umar Abdul Hakim Hassan) melanjutkan:
“Orang yang nekad mengkafirkan seorang muslim namun ia tidak menguasai hal itu, maka ia mendapatkan banyak peringatan bahaya, sehingga bagi orang yang menginginkan keselamatan, seharusnya ia menghindarinya. Di antara bahayanya adalah: berkata atas nama Allah tanpa berdasarkan ilmu, karena pada dasarnya seseorang tidak boleh berbicara dalam urusan syariat kecuali dengan disertai ilmu dan sifat adil. Sesungguhnya hal ini walaupun diperintahkan secara mutlak tapi dalam bab ini ia menjadi lebih wajib, sebagaimana seseorang tidak boleh membuktikan suatu hal kecuali dengan menggunakan ilmu, ia juga tidak boleh menafikan sesuatu kecuali juga dengan ilmu, Allah Tabaaraka wa Ta’ala tellah berfirman:
قُلۡ إِنَّمَا حَرَّمَ رَبِّيَ ٱلۡفَوَٰحِشَ مَا ظَهَرَ مِنۡهَا وَمَا بَطَنَ وَٱلۡإِثۡمَ وَٱلۡبَغۡيَ بِغَيۡرِ ٱلۡحَقِّ وَأَن تُشۡرِكُواْ بِٱللَّهِ مَا لَمۡ يُنَزِّلۡ بِهِۦ سُلۡطَٰنٗا وَأَن تَقُولُواْ عَلَى ٱللَّهِ مَا لَا تَعۡلَمُونَ ٣٣
“Katakanlah: “Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak ataupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui.”.” [Al A’raf: 33]
Allah Ta’ala juga berfirman:
وَلَا تَقۡفُ مَا لَيۡسَ لَكَ بِهِۦ عِلۡمٌۚ إِنَّ ٱلسَّمۡعَ وَٱلۡبَصَرَ وَٱلۡفُؤَادَ كُلُّ أُوْلَٰٓئِكَ كَانَ عَنۡهُ مَسُۡٔولٗا ٣٦
“dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.” [Al Isra': 36]
Itu karena vonis kafir merupakan hak prerogatif Allah Ta’ala, seseorang tidak boleh lancang terhadapnya kecuali ia memiliki dalil syari dari Allah Ta’ala, tak ada seorang pun yang boleh berlaku lancang terhadapnya kecuali dengan seizin Allah Ta’ala, para ulama kita yang mulia telah memperkuat apa yang kami sampaikan ini.” [dipetik secara ringkas dari buku beliau: ‘Azhmu Al Kalami Fie Al Masaili Al Imani wa Al Kufri. Kami akan mencantumkan nash-nash para ulama mengenai permasalahan vonis kafir yang tercantum di dalam buku beliau ini.]
Abu Muhammad Ibnu Hazm Rahimahullah berkata:
“Kita tidak boleh menamai suatu hal yang berkaitan dengan syariat kecuali Allah Ta’ala memerintahkan kita untuk menamakannya atau membolehkan kita di dalam nash-Nya untuk menamakannya, karena kita tidak tahu apa yang diinginkan Allah Azza wa Jalla dari kita kecuali apa yang Ia sebutkan di dalam wahyu-Nya kepada kita. Seiring dengan itu, Allah Azza wa Jalla berfirman sembari mengingkari orang yang menamai suatu hal yang berkaitan dengan syariat tanpa seizin-Nya Azza wa Jalla:
إِنۡ هِيَ إِلَّآ أَسۡمَآءٞ سَمَّيۡتُمُوهَآ أَنتُمۡ وَءَابَآؤُكُم مَّآ أَنزَلَ ٱللَّهُ بِهَا مِن سُلۡطَٰنٍۚ إِن يَتَّبِعُونَ إِلَّا ٱلظَّنَّ وَمَا تَهۡوَى ٱلۡأَنفُسُۖ وَلَقَدۡ جَآءَهُم مِّن رَّبِّهِمُ ٱلۡهُدَىٰٓ ٢٣ أَمۡ لِلۡإِنسَٰنِ مَا تَمَنَّىٰ ٢٤
“itu tidak lain hanyalah Nama-nama yang kamu dan bapak-bapak kamu mengadakannya; Allah tidak menurunkan suatu keteranganpun untuk (menyembah) nya. mereka tidak lain hanyalah mengikuti sangkaan-sangkaan, dan apa yang diingini oleh hawa nafsu mereka dan Sesungguhnya telah datang petunjuk kepada mereka dari Tuhan mereka. [23] atau Apakah manusia akan mendapat segala yang dicita-citakannya? [24]”[An Najm: 23-24]
Allah Ta’ala juga befirman:
وَعَلَّمَ ءَادَمَ ٱلۡأَسۡمَآءَ كُلَّهَا ثُمَّ عَرَضَهُمۡ عَلَى ٱلۡمَلَٰٓئِكَةِ فَقَالَ أَنۢبُِٔونِي بِأَسۡمَآءِ هَٰٓؤُلَآءِ إِن كُنتُمۡ صَٰدِقِينَ ٣١ قَالُواْ سُبۡحَٰنَكَ لَا عِلۡمَ لَنَآ إِلَّا مَا عَلَّمۡتَنَآۖ
“dan Dia mengajarkan kepada Adam Nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada Para Malaikat lalu berfirman: “Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu memang benar orang-orang yang benar!” mereka menjawab: “Maha suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami..” [Al Baqarah: 31-32]
Jadi benar tidak boleh ada julukan bagi seorang raja atau seorang manusia tanpa izin Allah Ta’ala, barangsiapa menyelisihi hal ini, maka ia telah mengada-adakan suatu kebohongan dengan mengatasnamakan Allah Azza wa Jalla, serta menyelisihi Al-Quran. Sehingga kami tidak akan menamakan seseorang sebagai seorang yang beriman kecuali orang itu dinamakan oleh Allah Azza wa Jalla sebagai orang yang beriman, dan kami tidak akan menggugurkan keimanan seseorang setelah keimanannya berlaku, kecuali keimanannya digugurkan oleh Allah Azza wa Jalla.” [Al Fashl Fie Al Milal wa Al Ahwa’ wa An Nahl: 3/191]
Qadhi Iyadh Rahimahullah menukil hasil penelitian yang dilakukan oleh para ulama muhaqqiq terhadap pendapat yang mengkafirkan orang-orang yang dianggap harus diperangi atau dihukumi kafir (Muta-awwalun), para ulama muhaqqiq itu berkata:
“Harus ada pencegahan terhadap tindakan menghukumi ahli ta’wil sebagai orang kafir, karena menghalalkan darah orang-orang yang mendirikan shalat dan orang-orang yang bertauhid adalah tindakan berbahaya. Kesalahan dalam membiarkan 1000 orang kafir hidup lebih remeh dari pada kesalahan dalam menumpahkan satu sedotan bekam darah seorang muslim.” [Asy Syifa Fie Huquq Al Mushthafa: 2/277]
Di dalam kitab Faishal At Tafarruqah, Al Ghazali Rahimahullah mengatakan sesuatu yang hampir sama dengan ucapan di atas:
“Yang harus dilakukan adalah mengambil tindakan pencegahan terhadap setiap kesempatan bagi timbulnya vonis kafir, karena menghalalkan darah orang-orang yang menunaikan shalat serta mengucapkan kalimat tauhid adalah tindakan yang salah, dan kesalahan karena membiarkan 1000 orang kafir hidup lebih remeh dari pada kesalahan karena menumpahkan darah seorang muslim.”
Al Hafizh Ibnu Hajar Rahimahullah menukil perkataan Al Qurthubi yang tercantum di dalam Al Mafham: “Bab menghukumi kafir merupakan pembahasan yang urgen, kita tidak akan selamat darinya.” [Fathul Baari: 12/301]
Setelah Ibnu Az Zuwair Rahimahullah menyebutkan beberapa hadits mengenai larangan mengkafirkan orang Islam, beliau berkata:
“Semua hadits di atas menegaskan akan adanya peringatan keras untuk tidak mengkafirkan orang yang beriman dan mengeluarkannya dari Islam padahal ia sudah mengakui tauhid dan kenabian, apalagi ia mengerjakan rukun-rukun Islam dan menjauhi perbuatan-perbuatan kabair, menampakkan tanda-tanda ketulusannya dalam mempercayai Islam oleh sebab kesalahannya dalam bid’ah, semoga saja orang yang berpikir terhindar dari hal semisal itu atau yang dekat dengan itu. Sesungguuhnya merasa diri sempurna dan selalu berbaik sangka pada diri sendiri akan mencelakakan akal dan syara’, karena mayoritas ahli bid’ah sangat kagum dengan diri mereka sendiri dan senantiasa memuji-muji kebid’ahannya.” [Ar Raudh Al Basim Fie Adz Dzib ‘An Sunnati Abi Al Qasim: hal. 425 dan seterusnya.]
Qadhi Iyadh Rahimahullah berkata:
“Ketahuilah, sesungguhnya meneliti pembahasan ini dan menyingkap tabirnya harus bersumber dari syariat, tidak ada tempat bagi akal di dalamnya.” [Asy Syifa: 2/282]
Ibnu Taimiyyah Rahimahullah berkata:
“(menghukumi) kufur itu adalah hukum syar’i yang diperuntukkan bagi orang yang memahami syariat, akal itu bisa saja memahami benar atau salahnya perkataan, namun segala sesuatu yang salah menurut akal belum tentu dihukumi kufur menurut syariat, sebagaimana segala sesuatu yang benar menurut akal serta merta menjadi wajib untuk diketahui menurut pandangan syariat..” [Dar-u Ta’arudh Al Aql wa An Naql: 1/242]
Ibnu Taimiyyah Rahimahullah juga berkata:
“Barangsiapa yang keIslamannya telah dibuktikan dengan yakin, maka ia tidak akan hilang darinya hanya karena sebuah keraguan. Bahkan tidak hilang kecuali setelah hujjah ditegakkan kepadanya dan syubhat dihilangkan darinya. Bila hal itu sudah jelas, maka ketahuilah bahwa permasalahan menghukumi kafir dan menvonis fasiq adalah tergolong permasalah nama-nama dan hukum-hukum yang berkaitan dengan janji dan ancaman di akhirat, dan juga berkaitan dengan loyalitas, permusuhan, pembunuhan, keterjagaan, dan hal lainnya di dunia. Karena Allah telah mewajibkan surga bagi orang-orang yang beriman dan mengharamkan surga bagi orang-orang kafir, dan ini adalah salah satu dari hukum universal yang terus berlaku sampai kapanpun dan dimanapun.” [Majmu’ Fatawa: 12/468]
Ibnu Taimiyyah juga berkata:
“Sesungguhnya salah dalam masalah iman tidak sebagaimana salah dalam masalah bid’ah. Sebab hukum-hukum dunia dan akhirat tergantung pada nama iman dan Islam, kufur dan nifak..” [Majmu’ Fatawa: 7/395, lihat juga juz 13, hal. 58]
Muhammad bin Ibrahim Ibnu Az Zuwair Rahimahullah berkata:
“Sesungguhnya vonis kafir adalah murni bersumber dari pendengaran yang tidak ada campur tangan akal di dalamnya, dan sesungguhnya dalil yang menunjukkan akan kekafiran tidak akan terbukti, kecuali melalui pendengaran yang terbukti dan tidak ada perselisihan di dalam hal itu..” [dinukil secara ringkas dari Al Awashim wa Al Qawashim 4/178-179]
Syaikh Islam Ibnu Taimiyyah Rahimahullah juga berkata:
“Kelompok sempalan khawarij memvonis kafir ahlussunnah demikian pula dengan mu’tazilah, mereka mengkafirkan orang yang menyelisihi mereka. Demikian pula dengan golongan rafidhah. Dan siapa yang tidak mereka kafirkan maka mereka memvonisnya dengan kefasikan. Adapun ahlussunnah maka mereka mengikuti kebenaran yang datang dari Rabb mereka yang telah dibawa oleh Rasulullah shollahu ‘alaihi wasallam. (Namun) mereka tidak mengkafirkan orang yang menyelisihi mereka dalam perkara tersebut. Justru mereka lebih mengetahui tentang kebenaran dan lebih menyayangi seluruh makhluk, sebagaimana Allah mensifati kaum muslimin di dalam firman-Nya:
كُنتُمۡ خَيۡرَ أُمَّةٍ أُخۡرِجَتۡ لِلنَّاسِ
“kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia..” [Ali Imran: 110]
Abu Hurairah berkata:
“kalian adalah manusia terbaik yang dilahirkan untuk manusia.”” [Minhaj As Sunnah: 5/158]
Ibnu Qayyim Rahimahullah menyebutkan arti dari perkataan Ibnu Taimiyyah di atas di dalam Nuniyyah beliau, beliau berkata:
“(menghukumi) kufur itu adalah hak Allah kemudian Rasul-Nya
dibuktikan dengan nash bukan dengan perkataan si fulan
Barangsiapa yang Allah dan Rasul-Nya
telah mengkafirkannya maka dialah orang kafir”
[Asy Syafiyyah Al Kafiyah Fie Al Intishar Li Al Firqah An Najiyyah: 243]
Imam Wahhab bin Munabbih Rahimahullah berkata:
“Demi Allah, tidaklah Khawarij memiliki jamaah kecuali Allah cerai-beraikan mereka di atas seburuk-buruk keadaan mereka, dan tidaklah seseorang di antara Khawarij itu memproklamirkan pendapatnya kecuali Allah penggal lehernya. Tidak akan pernah umat ini bergabung di bawah kepemimpinan seorang dari Khawarij. Seandainya Allah memberikan kekuatan kepada Khawarij untuk menjalankan pemikiran mereka, niscaya rusaklah dunia ini, jalan-jalan akan terputus, dan ibadah haji ke baitullah pun akan terhenti. Kemudian kondisi Islam akan kembali seperti zaman jahiliyah, manusia akan kembali meminta pertolongan kepada puncak-puncak gunung sebagaimana ketika mereka jahiliyah dahulu, dan dengan demikian, ada belasan atau dua puluh orang dari mereka yang masing-masing pernah menyatakan bahwa dirinya adalah khalifah, yang pada masing orang tersebut ada lebih dari 10.000 orang pengikut yang akan berperang satu sama lain dan mengkafirkan satu sama lain, sehingga seseorang yang beriman akan merasa khawatir terhadap diri, agama, darah, keluarga dan hartanya, ia tidak tahu kemana harus melangkah atau bersama siapa ia bergabung. Namun dengan kebijaksanaan, pengetahuan dan rahmat-Nya, Allah memandang umat ini, kemudian Ia membaguskan kesan pandangannya bagi mereka, maka Allah pun mengumpulkan mereka dan menyatukan hati mereka di bawah pimpinan seorang lelaki yang bukan dari golongan khawarij..” [Risalah Munashahah Wahhab bin Munabbih Li Rajulin Ta-atstsara Bi Manhaj Al Khawarij: 17]
Al Allamah Asy Syaikh Sulaiman bin Sahman berkata:
“Di antara tanda-tanda pengikut kebid’ahan adalah: keras, kaku dan berlebih-lebihan dalam urusan agama, serta melampaui batas dalam menjalankan perintah dan menjauhi larangan, menuntut sesuatu yang memberatkan umat, menyengsarakan mereka dan mempersempit ruang gerak mereka dalam urusan agama, serta mengkafirkan mereka disebabkan dosa dan maksiat, serta tanda-tanda lain yang menjadi ciri khas ahli bid’ah..” [Minhaj Ahlul Haqqi wa Al Ittiba’ Fie Mukhalafati Ahli Al Jahli wa Al Ibtida’i: 26]
Shadiq Hassan Khan Rahimahullah berkata:
“Imam Asy Syaukani berkata di dalam Sail Al Jarar: ketahuilah, bahwa menghukumi seorang lelaki muslim telah keluar dari agama Islam dan masuk ke dalam kekafiran, seyogyanya tidak dilakukan oleh seorang muslim yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir, kecuali jika ada bukti yang lebih terang dari pada matahari di siang hari..” [Ar Raudhah An Nadiyyah, Syarh Ad Durar Al Bahiyyah: 291, naskah tersebut dapat dibaca secara lengkap di dalam Sail Al Jarar: 4/578]
Ibnu Hazm Rahimahullah berkata:
“Barangsiapa yang merupakan seorang pemeluk Islam men-ta’wil kemudian ia keliru, namun hujjah belum ditegakkan kepadanya dan kebenaran belum dijelaskan kepadanya, maka ia dimaafkan dan mendapatkan satu pahala karena niat dan tujuannya adalah mencari kebenaran. Dan kesalahannya diampuni apabila ia tidak sengaja, Allah Ta’ala berfirman:
وَلَيۡسَ عَلَيۡكُمۡ جُنَاحٞ فِيمَآ أَخۡطَأۡتُم بِهِۦ وَلَٰكِن مَّا تَعَمَّدَتۡ قُلُوبُكُمۡۚ
“..dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf padanya, tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu..” [Al Ahzab: 5]..”
Hingga perkataan beliau:
“apabila ia melawan kebenaran dan menentang Allah Ta’ala serta Rasul-Nya Shallallahu alaihi wa sallam, maka ia kafir lagi murtad, darah dan hartanya halal, tidak ada perbedaan dalam ketentuan ini, baik itu kekeliruan dalam hal keyakinan atau dalam hal apapun yang berkaitan dengan syariat, maupun kekeliruan dalam urusan berfatwa dalam hal apapun seperti yang telah kami jelaskan tadi..” [Al Fashl Fie Al Milal wa An Nihal: 4/24, silahkan rujuk Al Fashl 4/25, 105 dan Al Ihkam 5/117-118]
Ketika Abu Al Ma’ali diminta agar beliau membuat suatu sikap dalam menanggapi masalah vonis kafir, beliau mengambil sikap berhati-hati, karena salah kaprah dalam urusan itu akan menimbulkan kesusahan, selain itu, memasukkan orang kafir ke dalam agama (Islam) atau mengeluarkan seorang muslim darinya merupakan persoalan besar di dalam agama, hal ini seperti yang dituturkan oleh Al Qadhi Iyadh, beliau berkata:
“Para ulama muhaqqiqin selain keduanya (maksudnya Al Asy’ari dan Al Juwaini) berkata; yang wajib dilakukan adalah menghindari mengkafirkan para pengikut hawa nafsu, karena menghalalkan darah orang yang masih bertauhid adalah bahaya, dan kesalahan dalam membiarkan 1000 orang kafir hidup lebih remeh dari pada kesalahan dalam menumpahkan satu sedotan bekam darah seorang muslim. Nabi Shallallahu alaihi wa sallam telah bersabda:
فَإِذَا قَالُوهَا عَصَمُوا مِنِّي دِمَاءَهُمْ وَأَمْوَالَهُمْ إِلَّا بِحَقِّهَا وَحِسَابُهُمْ عَلَى اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ
“Aku diperintahkan untuk memerangi manusia sampai mereka mengucapkan ‘Laa Ilaaha Illa Allah’. Jika mereka telah mengucapkannya, maka telah terjaga dariku darah dan harta mereka, kecuali dengan haknya. Dan hisab mereka hanya di tentukan oleh Allah Azza wa Jalla.” [HR. Ibnu Majah No.3917].
Jadi perlindungan (terhadap darah dan harta) itu akan tetap ada seiring dengan adanya syahadat, dan ia tidak akan sirna serta pelakunya tidak boleh dihalalkan (darah dan hartanya) kecuali dengan dalil.” [Syarh Asy Syifa Lil Qadhi Iyadh: 2/500-501]
Ibnu Taimiyyah Rahimahullah berkata:
“Sesungguhnya muta’awwil yang bermaksud mengikuti Rasul Shallallahu alaihi wa sallam tidak dikafirkan tidak pula dianggap fasiq apabila ia salah dalam berijtihad, dan ini sudah masyhur di kalangan orang-orang dalam masalah-masalah amaliyah, adapun dalam masalah aqidah kebanyakan orang mengkafirkan orang yang salah (dalam ta’wilnya), namun pendapat ini tidak pernah dikenal dari para shahabat dan tabi’in seorang pun, tidak pula dari para imam kaum muslimin, ia hanyalah berasal dari ahli bid’ah yang membuat-buat bid’ah dan mengkafirkan orang yang menyelisihinya seperti firqah khawarij, mu’tazilah dan jahmiyyah, dan sebagian pengikut madzhab Malik, Syafi’I, Ahmad dan selain mereka.” [Minhaj As Sunnah An Nabawiyyah: 5/239-240]
Abdul Lathif bin Abdurrahman Alu Asy Syaikh Rahimahullah berkata:
“Bertindak lancang dalam mengkafirkan orang yang zhahirnya Islam tanpa disertai penguat syar’i dan keterangan yang benar, menyelisihi apa yang ada pada para Imam ahlus sunnah wal jamaah, dan cara seperti itu merupakan cara ahli bid’ah dan sesat..” [Ar Rasail Al Mufidah: 33, silahkan rujuk perkataan Syaikh Abdullah bin Muhammad bin Abdul Wahhab Rahimahullah di dalam Ad Durar As Saniyyah: 8/217]
Abdullah Aba Bathin Rahimahullah berkata:
“Ringkas kata, wajib bagi orang yang ingin mengintrospeksi dirinya agar tidak membahas persoalan ini kecuali dengan disertai ilmu dan keterangan dari Allah, berhatilah-hatilah terhadap tindakan mengeluarkan seseorang dari Islam hanya karena pemahamannya dan pengedepanannya terhadap akal, karena mengeluarkan seseorang dari Islam atau memasukkan seseorang ke dalamnya merupakan salah satu perkara agama yang paling besar, cukup bagi kita penjelasan masalah ini sebagaimana masalah lainnya, bahkan hukumnya secara umum termasuk hukum-hukum agama yang paling jelas. Yang wajib kita lakukan adalah mengikuti (sunnah) dan meninggalkan bid’ah, sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Mas’ud Radhiyallahu Anhu: “Mengikutilah dan jangan mengada-ada, karena sesungguhnya kalian telah dicukupkan”.
Juga apa yang diperselisihkan oleh para ulama tentang statusnya bahwa itu kekufuran, maka sebagai kehati-hatian bagi dien ini adalah bersikat tawaqquf dan tidak memberanikan diri selama dalam masalah ini tidak ada nash yang jelas dari Al Ma’shum shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Sungguh syaithan telah menggelincirkan mayoritas manusia dalam masalah ini, di mana syaithan membuat taqshirsatu kelompok sehingga mereka menghukumi keIslaman orang yang mana nash-nash Al Kitab dan As Sunnah serta ijma telah menunjukan kekafirannya.
Dan dia telah membuat kelompok lain melampui batas, di mana mereka mengkafirkan orang yang padahal Al Kitab, As Sunnah dan ijma telah menghukumi bahwa dia itu muslim.
Anehnya sesungguhnya seseorang dari mereka bila ditanya tentang masalah dalam hal thaharah atau jual beli atau yang lainya, dia tidak berfatwa dengan sekedar pemahamannya dan anggapan baik akalnya, akan tetapi dia mencari perkataan ulama dan memfatwakan dengan apa yang mereka katakan, maka bagaimana ia berpatokan dalam hal besar ini yang merupakan urusan dien terbesar dan paling berbahaya terhadap sekedar pemahamannya dan anggapan baiknya.
Oh.. Musibah Islam dari dua kelompok ini, dan ujiannya dari dua bencana ini.
Kami meminta kepada Engkau Ya Allah agar menunjukkan kami ke jalan yang lurus yaitu jalan orang-orang yang telah Engkau beri mereka nikmat kepada mereka, bukan (jalan) orang-orang yang dimurkai dan bukan (pula jalan) orang-orang yang sesat. Wa shalallaahu ‘ala Muhammad..” [Ad Durar As Saniyyah: 8/217]
Mulla Ali Al Qari Rahimahullah berkata:
“Para ulama kita telah berkata: apabila ada 99 pendapat yang mengkafirkan seorang muslim, dan satu pendapat yang menyatakan bahwa si muslim tadi tetap Islam, maka mufti dan qadhi harus berpegang pada satu pendapat tadi, pernyataan ini berdasarkan sabda Nabi Shallallahu alaihi wa sallam berikut ini:
ادْرَءُوا الْحُدُودَ عَنْ الْمُسْلِمِينَ مَا اسْتَطَعْتُمْ فَإِنْ كَانَ لَهُ مَخْرَجٌ فَخَلُّوا سَبِيلَهُ فَإِنَّ الْإِمَامَ أَنْ يُخْطِئَ فِي الْعَفْوِ خَيْرٌ مِنْ أَنْ يُخْطِئَ فِي الْعُقُوبَةِ
“Hindarilah hukuman had dari kaum muslimin semampu kalian, jika ia mempunyai jalan keluar maka lepaskanlah ia. Karena sesungguhnya seorang imam salah dalam memaafkan lebih baik daripada salah dalam menjatuhi hukuman.” [HR. Tirmidzi dan lainnya, hadits ini di-shahihkan oleh Al Hakim]..” [Syarh Asy Syifa Li Mulla Ali Al Qari: 2/502]
Bersambung ke bagian 2 in syaa Allah…
(aliakram/arrahmah.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar