Wilayah tajribiy itu urusan yang kaitannya dengan sarana prasarana atau penunjang kehidupan (wasa-ilul hayah). Pembolehannya dalam berkreasi terbuka, luas dan lapang tentu dengan pembatasan selama tidak diharamkan. Dan tentunya luasnya pembolehan wilayah tajribiy ini perlu diimbangi pula dalam penggunaan hujjah 'aqliyah yg mengiringi pembatasan dalil naqli yg ada. Karena pengharaman yang disebutkan di dalam dalil naqli ada kalanya perlu diekplorasi secara aqli karena sifatnya umum.
Sebagaimana kaidah umum dalam QS. Al-A'raf (7) : 157
.. يَأۡمُرُهُم بِٱلۡمَعۡرُوفِ وَيَنۡهَىٰهُمۡ عَنِ ٱلۡمُنكَرِ وَيُحِلُّ لَهُمُ ٱلطَّيِّبَٰتِ وَيُحَرِّمُ عَلَيۡهِمُ ٱلۡخَبَٰٓئِثَ ...
[Surat Al-A'raf: 157]
yang menyuruh mereka berbuat yang makruf dan mencegah dari yang mungkar, dan yang menghalalkan segala yang baik bagi mereka dan mengharamkan segala yang buruk bagi mereka
Sehingga "azas manfaat" yg menjadi salah satu dipakainya aspek tajribiy itu menjadi ruang terbuka untuk terus diperhatikan dengan ketelitian yang baik dalam menggali dari berbagai aspeknya sehingga apakah kuat diprediksi dan bahkan betul-betul terbukti aman dalam memanfaatkannya atau sebaliknya.
Sebagaimana dunia kedokteran (baca: thibbiyyah) dan iptek pada umumnya jg demikian.
Saat sesuatu yang sebelumnya dianggap bermanfaat di satu sisi namun ternyata merugikan disisi lainnya maka perlu dipertimbangkan mana yang lebih dominan, mudharatnya ataukah manfaatnya.
Juga sebagaimana saat tahapan pengharaman khamr dan judi "belum" final ditegaskan, maka saat itu diberikan isyarat di dalam QS. Al-Baqarah (2) : 219 yang mengajak ruang nalar untuk ikut mempertimbangkannya.
يَسۡـَٔلُونَكَ عَنِ ٱلۡخَمۡرِ وَٱلۡمَيۡسِرِۖ قُلۡ فِيهِمَآ إِثۡمٞ كَبِيرٞ وَمَنَٰفِعُ لِلنَّاسِ وَإِثۡمُهُمَآ أَكۡبَرُ مِن نَّفۡعِهِمَاۗ وَيَسۡـَٔلُونَكَ مَاذَا يُنفِقُونَۖ قُلِ ٱلۡعَفۡوَۗ كَذَٰلِكَ يُبَيِّنُ ٱللَّهُ لَكُمُ ٱلۡأٓيَٰتِ لَعَلَّكُمۡ تَتَفَكَّرُونَ
[Surat Al-Baqarah: 219]
Mereka menanyakan kepadamu (Muhammad) tentang khamar dan judi. Katakanlah, "Pada keduanya terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia. Tetapi dosanya lebih besar dari manfaatnya." Dan mereka menanyakan kepadamu (tentang) apa yang (harus) mereka infakkan. Katakanlah, "Kelebihan (dari apa yang diperlukan)." Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu agar kamu memikirkan.
_______
Kemanfaatan obat tidak hanya terkait dengan kemampuannya menghilangkan simtoma (gejala/keluhan) yg dirasakan penderita. Tetapi juga perlu terbukti betul-betul minim efek samping (efek buruk) yg ditimbulkannya.
Jika ternyata efek buruknya lebih besar dari manfaatnya menghilangkan simtoma, apalagi efeknya ternyata menyebabkan munculnya gangguan pada aspek-aspek lain yang di luar simtoma yang dikeluhkan maka jelas hal tersebut tidak layak mendapatkan rekomendasi untuk dipakai atau dilanjutkan.
Pada saat uji laboratorium terhadap suatu obat sakit kepala - yang diklaim produsennya sebagai obat halal, aman dan mujarab menghilangkan sakit kepala - ternyata jelas mengandung zat yg diharamkan, maka perlu rekomendasi yg tegas bahwa obat tersebut tidak boleh dipakai.
Kaidah yang disebutkan dlm hadits sangat jelas,
RasuluLLaah shallaLLaahu ‘alaihi wasallam bersabda,
عبادَ اللهِ، تداوَوا، ولا تداووا بحرامٍ
Wahai hamba ALLaah, berobatlah kalian, dan jangan berobat dengan yang haram (HR. Abu Dawud).
إنَّ اللَّهَ لم يجعل شفاءَكُم فيما حرَّمَ عليكُم
Sesungguhnya ALLaah tidaklah menjadikan obat dari yang diharamkan bagi kalian. (HR. Bukhari).
Pada saat seorang lelaki bertanya kepada RasuluLLaah shallaLLaahu ‘alaihi wasallam tentang khamr yang digunakan untuk pengobatan. Baginda Nabi shallaLLaahu ‘alaihi wasallam menjawab,
إنَّها ليسَت بدواءٍ ولَكنَّها داءٌ
Sesungguhnya khamr itu bukanlah obat, melainkan penyakit. (HR. Tirmidzi, shahih).
Dan jika obat sakit kepala yang diklaim itu ternyata pada banyak penggunanya terbukti menimbulkan efek tidak baik baik organ tubuh lainnya, pada sistem kekebalan, berpotensi menimbulkan tumor/kanker dsb.. maka wajib dihentikan dan ditarik dari peredaran.
Penggunaan hasil iptek juga demikian. Seringnya mobil yg ditarik dari peredaran karena terbukti beberapa kasus lemah di sistem safety -nya.
Maka, saat dimunculkannya "kebenaran" kaidah bahwa Ruqyah adalah termasuk kategori wilayah muamalah tajribiyah sebagaimana umumnya urusan pengobatan lainnya dan bukan wilayah tawqifiyah, maka tidak perlu membuat kita menjadi resah gelisah dan khawatir bahwa urusan akan menjadi serampangan dan ngawur.
Tetap semua ada kaidahnya, ada batasannya.
Urusan yang aslinya terbuka dan meluas, tidak boleh kita persempit. Sebagaimana urusan yg pembatasannya jelas maka tidak boleh diada-adakan. Semuanya ada kaidahnya dan kita tetap perlu adil dalam menempatkannya. Tinggal bagaimana kita menggunakan kaidah² itu dengan baik dan cermat.
Semoga bermanfaat.
WaLLaahu a'lam bish showwab.
Ustadz Riyadh Rosyadi
(Founder FTQ)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar