PENCARIAN

17 Juni 2014

Ingat Akan Kematian

Sebagai seorang muslim kita seharusnya selalu ingat akan kematian. Oleh karena itu di antara hal yang dapat mengobati jiwa adalah mengingat kematian yang notabene merupakan konsekuensi dari kesadaran akan keniscayaan keputusan Ilahi, dan pendek angan-angan yang merupakan dampak dari mengingat kematian. Janganlah ada yang menyangka bahwa pendek angan-angan akan menghambat pemakmuran dunia. Persoalannya tidak demikian, bahkan memakmurkan dunia disertai pendek angan-angan justeru akan lebih dekat kepada ibadah, jika bukan ibadah yang murni.

Rasulullah saw bersabda:

الْكَيِّسُ مَنْ دَانَ نَفْسَهُ وَعَمِلَ لِمَا بَعْدَ الْمَوْتِ

“Orang yang cerdas ialah orang yang mengendalikan dirinya dan bekerja untuk kehidupan setelah kematian.” (HR Tirmidzi)

Persiapan untuk menghadapi sesuatu tidak akan terwujud kecuali dengan selalu mengingatnya di dalam hati, sedangkan untuk selalu mengingat di dalam hati tidak akan terwujud kecuali dengan selalu mendangarkan hal-hal yang mengingatkannya dan memperhatikan peringatan-peringatannya sehingga hal itu menjadi dorongan untuk mempersiapkan diri. Kepergian untuk menyambut kehidupan setelah kematian telah dekat masanya sementara umur yang tersisa sangat sedikit dan manusiapun melalaikannya.

اقْتَرَبَ لِلنَّاسِ حِسَابُهُمْ وَهُمْ فِي غَفْلَةٍ مُعْرِضُونَ

“Telah dekat kepada manusia hari menghisab segala amalan mereka, sedang mereka berada dalam kelalaian lagi berpaling (daripadanya).” (QS Al-Anbiya 1)

Orang yang tenggelam dengan dunia, gandrung kepada tipu-dayanya dan mencintai syahwatnya tak ayal lagi adalah orang yang hatinya lalai dari mengingat kematian; ia tidak mengingatnya bahkan apabila diingatkan ia tak suka dan menghindarinya. Mereka itulah yang disebutkan Allah di dalam firman-Nya:

قُلْ إِنَّ الْمَوْتَ الَّذِي تَفِرُّونَ مِنْهُ فَإِنَّهُ مُلَاقِيكُمْ ثُمَّ تُرَدُّونَ إِلَى عَالِمِ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ فَيُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ

“Katakanlah, “Sesungguhnya kematian yang kamu lari daripadanya, maka sesungguhnya kematian itu akan menemui kamu, kemudian kamu akan dikembalikan kepada (Allah), yang mengetahui yang ghaib dan yang nyata, lalu Dia beritakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.” (QS Al-Jumu’ah 8)

Kemudian manusia ada yang tenggelam ke dalam dunia, ada pula yang bertaubat dan ada pula yang arif.

Pertama: adapun orang yang tenggelam ke dalam dunia, ia tidak mengingat kematian sama sekali. Jika diingatkan ia mengingat semata-mata untuk menyesali dunianya dan sibuk mencelanya. Baginya, mengingat kematian hanya membuat dirinya semakin jauh dari Allah.

Kedua: Adapun orang yang bertaubat, ia banyak mengingat kematian untuk membangkitkan rasa takut dan khawatir pada hatinya lalu ia menyempurnakan taubat dan kadang-kadang tidak menyukai kematian karena takut disergap sebelum terwujud kesempurnaan taubat dan memperbaiki bekal. Dalam hal ini ia dimaafkan dan tidak tergolong ke dalam sabda Nabi saw:

مَنْ كَرِهَ لِقَاءَ اللَّهِ كَرِهَ اللَّهُ لِقَاءَهُ

“Barangsiapa membenci pertemuan dengan Allah, maka Allah membenci pertemuan dengannya.” (HR Bukhari dan Muslim)

Karena sesungguhnya ia tidak membenci kematian dan perjumpaan dengan Allah, tetapi hanya takut tidak dapat berjumpa dengan Allah karena berbagai kekurangan dan keteledorannya. Ia seperti orang yang memperlambat pertemuan dengan kekasihnya karena sibuk mempersiapkan diri untuk menemuinya dalam keadaan yang diridhainya sehingga tidak dianggap membenci pertemuan. Sebagai buktinya ia selalu siap untuk menemuinya dan tidak ada kesibukan selainnya. Jika tidak demikian maka ia termasuk orang yang tenggelam ke dalam dunia.

Ketiga: Sedangkan orang yang ‘arif, ia selalu ingat kematian karena kematian adalah janji pertemuannya dengan kekasihnya. Pecinta tidak akan pernah lupa sama sekali akan janji pertemuan dengan kekasihnya. Pada ghalibnya orang ini menganggap lambat datangnya kematian dan mencintai kedatangannya untuk membebaskan diri dari kampung orang-orang yang bermaksiat dan segera berpindah ke sisi Tuhan alam semesta. Sebagaimana diriwayatkan dari Hudzaifah bahwa ketika menghadapi kematian, ia berkata:

“Kekasih datang dalam kemiskinan, semoga tidak berbahagia orang yang menyesal. Ya Allah, jika Engkau mengetahui bahwa kemiskinan lebih aku cintai dari kekayaan, sakit lebih aku cintai dari kesehatan, dan kematian lebih aku cintai dari kehidupan, maka permudahlah kematian atas diriku agar segera dapat berjumpa dengan-Mu”

Jadi, orang yang bertaubat dimaafkan dari sikap tidak menyukai kematian sedangkan orang yang ‘arif dimaafkan dari tindakan mencintai dan mengharapkan kematian. Tingkatan yang lebih tinggi dari keduanya ialah orang yang menyerahkan urusannya kepada Allah sehingga ia tidak memilih kematian atau kehidupan untuk dirinya. Apa yang paling dicintai adalah apa yang paling dicintai kekasihnya. Orang ini melalui cinta dan wala’ yang mendalam berhasil mencapai maqam taslim dan ridha, yang merupakan puncak tujuan. Tetapi bagaimanapun, mengingat kematian tetap memberikan pahala dan keutamaan. Karena orang yang tenggelam ke dalam dunia juga bisa memanfaatkan dzikrul maut untuk mengambil jarak dari dunia sebab dzikrul maut itu membuat dirinya kurang berselera kepada kehidupan dunia dan mengeruhkan kemurnian kelezatannya. Setiap hal yang dapat mengeruhkan kelezatan dan syahwat manusia adalah termasuk sebab keselamatan. Rasulullah saw bersabda:

أَكْثِرُوا ذِكْرَ هَاذِمِ اللَّذَّاتِ يَعْنِي الْمَوْتَ

“Perbanyaklah mengingat penghancur berbagai kelezatan, yaitu kematian.”

(HR Tirmidzi, Nasaa’I dan Ibnu Majah)

Artinya, kurangilah berbagai kelezatan dengan mengingat kematian sehingga kegandrungan kamu kepada berbagai kelezatanterputus lalu kamu berkonsentrasi kepada Allah, karena mengingat kematian dapat menghindarkan diri dari kampung tipudaya dan menggiatkan persiapan untuk kehidupan akhirat, sedangkan lalai akan kematian mangakibatkan tenggelam dalam syahwat dunia, sabda Nabi saw:

تحفة المؤمن الموت

“Hadiah orang mu’min adalah kematian.” (HR Thabrani dan al-Hakim)

Nabi saw menegaskan hal ini karena dunia adalah penjara orang mu’min, sebab ia senantiasa berada di dunia dalam keadaan susah mengendalikan dirinya, menempa syahwatnya dan melawan syetannya. Dengan demikian, kematian baginya adalah pembebasan dari siksa ini, dan pembebasan tersebut merupakan hadiah bagi dirinya. Nabi saw bersabda:

الموت كفارة لكل مسلم

“Kematian adalah kafarat bagi setiap muslim.” (HR al-Baihaqi)

Yang dimaksudnya adalah orang muslim sejati yang orang-orang muslim lainnya selamat dari gangguan lidah dan tangannya, yang merealisasikan akhlaq orang-orang mu’min, tidak terkotori oleh berbagai kemaksiatan kecuali beberapa dosa kecil, sebab kematian akan membersihkannya dari dosa-dosa kecil tersebut setelah ia menjauhi dosa-dosa besar dan menunaikan berbagai kewajiban. Sebagian kaum bijak bestari menulis surat kepada salah seorang kawannya:

“Wahai saudaraku hati-hatilah terhadap kematian di kampung ini sebelum kamu berada di sebuah kampung di mana kamu berharap kematian tetapi tidak akan mendapatkannya.”

04 Juni 2014

karena sabar itu tiada berbatas

Selalu ada ruang untuk bersabar karena sabar itu tiada berbatas
Seringkali kita mendengar sebagian orang mengatakan bahwa sabar itu ada batasnya. Dari yang saya fahami tidaklah demikian, sabar itu akan selalu bisa kita usahakan. Memang berat kadang untuk mencapai kedudukan orang-orang yang bersabar. Namun demikian, bukan tidak ada jalan menuju kesana. Jalan menuju kesabaran adalah ilmu, tiada iman tanpa ilmu, dan tiada kesabaran tanpa keimanan. Saat kita merasa berat, Itulah ujian yang mesti kita lewati dengan sebaik-baiknya. Pastikan diri selalu merasa bersama Allah dan malaikat-Nya. Bukankah kita tidak mau bila malaikat yang kita harapkan melimpahi berkah dari-Nya untuk kita tidak sudi lagi bersama dengan kita karena kita tidak bersabar [marah, misalnya] sehingga yang datang adalah yang lain yaitu musuh yang nyata. Justru saat terasa berat kita perlu merenungi firman-Nya, "Jadikanlah sabar dan sholatmu, sebagai penolongmu, Dan sesungguhnya hal itu amat berat kecuali bagi Orang-orang yang khusyuk'" (Al-Baqarah: 45).

Dalam menjalani kehidupan yang sesungguhnya merupakan ujian ini, sebaik-baik tindakan adalah yang penuh dengan kesabaran dan kesabaran yang dimaksud adalah kesabaran yang baik. Allah pun berfirman, "Maka bersabarlah kamu dangan sabar yang baik" (Al-Ma'arij : 5). Apabila kita telah mengarungi kesabaran dengan segenap energi, seterusnya adalah memasrahkannya kepada Allah, karena Dia yang maha memberi sebaik-baik pembalasan. "Apa yang di sisimu akan lenyap, dan apa yang ada disisi Allah adalah kekal. dan sesungguhnya kami akan memberi balasan kepada orang-orang yang sabar dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan" (an-Nahl ; 96). "Mereka itu diberi pahala dua kali ganda di sebabkan kesabaran mereka....." (al-Qashash: 54). "Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas." (az-Zumar : 10).

Wallahu a’lam.

Urgensi Tarbiyah Islamiyah

Tarbiyah Islamiyah yang dibawa oleh Rosul dan Islam adalah untuk memperbaiki manusia. Keadaan jahiliyah yang dikenal dengan ummat jahiliyah di zaman Rosul mempunyai ciri-ciri bodoh, hina, lemah, miskin, dan berpecah-belah. Keadaan ini berlaku pada saat ini dan juga mungkin terdapat di kalangan muslim sendiri. Kejahiliyahan ini membawa kita kepada kesesatan yang nyata. Allah SWT melalui RasulNya memberikan tarbiyah dan Islam adalah tarbiyah kepada manusia.

Al Qur’an menjelaskan berbagai marhalah dan metode tarbiyah. Tarbiyah memiliki tiga marhalah yaitu tilawah, tazkiyah, mengajarkan dan mempelajari kitab dan hikmah. Di antara pentingnya kita mengikuti tarbiyah adalah karena Al Qur’an dan hadits menyuruh kita untuk belajar, berilmu, dan mengikuti pendidikan seumur hidup dan juga karena banyaknya keuntungan yang diperoleh dari tarbiyah ini. Beberapa keuntungan tarbiyah yang kita rasakan adalah mendapat petunjuk dari Allah SWT untuk memperoleh pengetahuan, harga diri (izzah), kekuatan, dan persatuan. Keseluruhannya akan membentuk khairu ummah.

 

Ummat Jahiliyah

Ummat jahiliyah adalah ummat yang ada di zaman sebelum nabi Muhammad SAW. Walaupun demikian ciri-ciri jahiliyah ini juga didapati pada masyarakat saat ini. Keadaan masyarakat jahiliyah adalah keadaan yang menggambarkan kerusakan dan kebodohan. Mereka secara pendidikan, teknologi, dan kemahiran termasuk tinggi tetapi peradaban, budaya, serta tingkah laku yang tercermin pada budaya, seperti binatang. Memperturutkan hawa nafsu adalah ciri kehidupan jahiliyah dan inilah yang menjadikannya sama dengan binatang, serta kehidupan seksual yang dimotivasi oleh faham hedonisme dan sebagainya.

Masyarakat jahiliyah mempunyai berbagai ciri, diantara ciri-cirinya adalah bodoh. Mereka bodoh karena tidak menerima hidayah. Abu Jahal (Bapak Kebodohan) yang diberi gelar oleh ummat Islam bukan karena dia bodoh ilmu, tetapi bodoh hidayah, sedangkan ia diberi gelar oleh kaumnya dengan julukan abu hakam (Bapak Pengadil). Tingkah laku yang mencerminkan kebodohan tidak menyadari bahwa tingkah lakunya menghancurkan dirinya. Pribadi jahiliyah tidak menyadari hakikat hidupnya, ia melihat kebaikan padahal merupakan keburukan dan sebaliknya. Keadaaan jahiliyah akan menghancurkan peradaban dan kebudayaan.

Ummat jahiliyah dengan kebodohannya akan menjadikan dirinya hina. Kehinaan yang menimpa dirinya adalah karena ia sendiri yang menjadikan dirinya hina. Hina tidak terhormat karena kebanggaan yang diciptakannya melekat di status, di kereta, di rumah, di jawatan, dan sebagainya. Kehormatan yang bersifat materi ini sementara dan kebanggaan jahiliyah akan menjauhkan ia menuju ke derajat yang lebih rendah. Kehinaan terjadi apabila mereka tidak menghargai dirinya sebagai manusia yang mulia. Tindakan bodoh akan menjadikannya hina, walaupun tindakan tersebut dihiasi dengan berbagai kebanggaan, tetapi pada hakikatnya menipu.

Lemah sebagai akibat kejahiliahan. Kelemahan karena masa dihabiskan untuk hawa nafsu dan kepakaran digunakan untuk sementara dan kerusakan. Kelemahan ini terjadi karena individu jahiliyah tidak dapat menghargai dirinya sehingga ia tidak boleh mengaktualkan potensinya. Tidak adanya iman atau jahiliyah menjadikan dirinya tidak ada dukungan dan tidak mempunyai energi.

Berpecah belah adalah ciri umat jahiliyah dimana pegangan mereka tidak jelas dan pegangan tersebut hanyalah hawa nafsu. Hawa nafsu tidak mempunyai kekuatan, ia senantiasa bergerak mengikuti angin dan hawa nafsu pun tidak ada muara sehingga hawa nafsu senantiasa berubah dan tidak mempunyai arah. Pegangan hawa nafsu akan menjadikan kita tidak mempunyai panduan yang jelas bahkan akan menyesatkan. Perpecahan muncul karena tidak ada yang dapat dipegang, kesepakatan atau perjanjian akan mudah berubah sesuai dengan ciri hawa nafsunya.

 

Dalil Naqli

39:64 ; Katakanlah (wahai Muhammad kepada orang-orang musyrik itu setelah jelas dalil-dalil Allah yang demikian), patutkah kamu menyuruhku menyembah atau memuja selain daripada Allah, hai orang-orang yang jahil?”

25:63 ; Dan hamba-hamba Ar Rahman (yang diridhoiNya), ialah mereka yang berjalan di muka bumi dengan rendah hati, dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata yang baik.

33:72 ; Sesungguhnya kami telah mengemukakan amanah kepada langit, bumi, dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanah itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanah itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat dholim dan amat bodoh.

95:4-5 ; Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk sebaik-baiknya.  Kemudian Kami kembalikan ke tempat yang serendah-rendahnya (neraka).

4:28 ; Allah hendak memberikan keringanan kepadamu, dan manusia dijadikannya lemah.

35:14 ; Jika kamu menyeru mereka, mereka tiada mendengar seruanmu dan kalau kamu mereka mendengar, mereka tidak dapat memperkenankan permintaanmu. Dan di hari kiamat mereka akan mengingkari kemusyrikanmu dan tidak ada yang dapat memberikan keterangan kepadamu sebagai yang diberikan oleh Yang Maha  Mengetahui.

3:103 ; Dan berpegang teguhlah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah dan janganlah kamu bercerai-berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah orang-orang bersaudara, dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu daripadanya. Demikianlah Allah menerangkan kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk.

 

Berada di dalam kesesatan yang nyata

Allah SWT menyebutkan bahwa mereka sebelum kedatangan Rosul dalam kondisi jahiliyah (kesesatan yang nyata). Kesesatan ini mempunyai berbagai ciri dan akibat yang jelas. Kesesatan berarti dipengaruhi oleh syetan dan menjadikan syetan sebagai kawan serta bertingkah laku yang berlawanan dengan nilai Islam. Kesesatan juga berarti mengamalkan sesuatu yang dilarang. Akibat kejahiliyahan itulah sehingga mereka berada dalam kesesatan yang nyata.

 

Dalil Naqli

62:2 ; Dialah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul di antara mereka, yang membacakan ayat-ayatNya kepada mereka, mensucikan mereka, dan mengajarkan kepada mereka Kitab dan Hikmah (As Sunnah). Dan sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata.

 

Allah SWT melalui rasulnya memberikan tarbiyah

Turunnya Islam dengan kedatangan rasul adalah cara untuk mengatasi dan menyelesaikan masalah masyarakat jahiliyah. Allah SWT menurunkan ayatNya dan diterima rasul yang kemudian disampaikan kepada manusia melalui tarbiyah yang merupakan gerakan penyelamatan atas kerusakan yang disebabkan oleh masyarakat jahiliyah di masa itu. Namun demikian peranan tarbiyah di saat itu masih sangat diutamakan mengingat keadaan jahiliyah terdapat kesamaan.

 

Dalil Naqli

2:151 ; Sebagaimana (Kami telah menyempurnakan nikmat Kami kepadamu) Kami telah mengutus kepadamu Rasul di antara kamu yang membacakan ayat-ayat Kami kepada kamu dan mensucikan kamu dan mengajarkan kepadamu Al Kitab dan Al Hikmah (As Sunnah), serta mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui.

3:164 ; Sesungguhnya Allah telah memberikan karunia kepada orang-orang yang beriman ketika Allah mengutus di antara mereka seorang rasul dari golongan mereka sendiri, yang membacakan di antara mereka ayat-ayat Allah, membersihkan (jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada mereka Al Kitab dan Al Hikmah. Dan sesungguhnya sebelum (kedatangan rasul) itu, mereka adalah benar-benar dalam kesesatan yang nyata. 

62:2 ; Dialah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul di antara mereka, yang membacakan ayat-ayatNya kepada mereka, mensucikan mereka, dan mengajarkan kepada mereka Kitab dan Hikmah (As Sunnah). Dan sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata.

 

Tarbiyah

Nabi Muhammad SAW memperbaiki ummat jahiliyah dengan melaksanakan tarbiyah. Tarbiyah memuat ayat-ayat Allah sehingga dengan tarbiyah ini akan menghasilkan masyarakat yang sadar dan menjadikan Allah sebagai ilah. Tarbiyah yang dilakukan rasul adalah tarbiyah Qur’aniyah, yaitu tarbiyah dengan melakukan pendekatan Qur’an. Tarbiyah Imaniyah juga tumpuan utama tarbiyah rasul.

Beberapa cara rasul SAW melakukan tarbiyah adalah dengan cara tilawah, tazkiyah, mengajarkan Al Kitab dan Al Hikmah (minhaj).

 

Dalil Naqli

96:1 ; Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang Menciptakan. 

2:121 ; Orang-orang yang telah Kami berikan Al Kitab kepadanya, mereka membacanya dengan bacaan yang sebenarnya, mereka itu beriman kepadanya. Dan barangsiapa yang ingkar kepadanya, maka mereka itulah orang-orang yang rugi. 

91:7-10 ; Dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya). Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya. Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu. Dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.

92:17-21 ; Dan kelak akan dijauhkan orang yang paling takwa dari neraka itu. Dan menafkahkan hartanya (di jalan Allah) untuk membersihkannya. Padahal tidak ada seorangpun memberikan suatu nikmat kepadanya yang harus dibalasnya. Tetapi (dia memberikan itu semata-mata)  karena mencari keridhoan Tuhannya Yang Maha Tinggi. Dan kelak dia benar-benar mendapat kepuasan.

3.79 ; Tidak wajar bagi seorang manusia yang Allah berikan kepadanya Al Kitab, hikmah, dan kenabian, lalu dia berkata kepada manusia,”Hendaklah kamu menjadi penyembah-penyembahku bukan enyembah Allah.” Akan tetapi (dia berkata): “Hendaklah kamu menjadi orang-orang Rabbani, karena kamu selalu mengajarkan Al Kitab dan disebabkan kamu tetap mempelajarinya.

2:269 ; Allah menganugerahkan al hikmah (kefahaman yang dalam tentang Al Qur’an dan As Sunnah) kepada siapa yang  Dia kehendaki. Dan baeangsiapa yang dianugerahi al hikmah itu, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak. Dan hanya orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran (dari firman Allah).

 

Kenikmatan yang besar

Individu dan masyarakat yang mengikuti tarbiyah dirinya akan dibimbing, dibangun, dan dipelihara oleh nilai-nilai Islam yang mulia. Dirinya akan jauh dari kejahiliyahan. Bebas dari jahiliyah maka ia akan mengikatkan dirinya kepada Allah SWT sehingga ikatan ini akan meninggikan status dari derajatnya di sisi Allah. Kehidupan mereka akan selamat di dunia dan juga di akhirat.

Hasil tarbiyah adalah kenikmatan yang besar yaitu berupa pengetahuan, harga diri,  kekuatan, dan persatuan. Dengan ilmu yang benar yang kita dapati melalui tarbiyah boleh menjadikan kita manusia yang berilmu dan sadar atas tingkah laku yang kita lakukan. Mempunyai ‘izzah Islam berarti mengembalikan dirinya hanya kepada Allah, bukan kepada benda-benda yang tidak bernilai. Dengan ‘izzah ini juga terdapat kekuatan Islam karena semangat yang ditumbuhkan melalui tarbiyah dapat membangkitkan suasana kecintaan dan perjuangan. Akhirnya melalui tarbiyah kita dapat disatukan dengan fikrah dan amal.

Banyak kenikmatan yang diperoleh melalui tarbiyah, selain tarbiyah ini adalah sunnah nabi ataupun arahan dari Allah, maka tarbiyah ini mengandung banyak manfaat bagi diri, keluarga, masyarakat dan juga bangsa. Dengan tarbiyah pribadi manusia menjadi jauh dari kebodohan yang kemudian ia dapat menaikkan harga dirinya kepada derajat mulia dan iapun boleh mendapatkan kebahagiaan dunia dan akhirat.

Tanpa tarbiyah maka syetan senantiasa mengganggu dan menjadikan kita sesat. Tanpa tarbiyah kita akan mudah sesat dan kita akan dijauhkan dari Islam. Dengan tarbiyah maka tawasau bil haq dan bish shobr akan berjalan sehingga dengan tarbiyah akan tercegah kemungkinan syetan membawa kita kepada kesesatan.

Suatu kerugian apabila kita meninggalkan tarbiyah. Tanpa tarbiyah kita tidak mendapat kejayaan. Hadirnya tarbiyah untuk menyelamatkan ummat jahiliyah adalah suatu hal yang beriringan dengan turunnya Islam.

Tarbiyah yang tidak dapat membentuk kenikmatan ini bukan tarbiyahnya yang tidak benar, tarbiyah sebagai wasilah rabbaniyah yang benar dan perlu diamalkan tetapi kemungkinan manusia yang membawanya ke arah yang benar atau tidak mengikuti minhaj sehingga tarbiyah tidak berkesan.

 

Dalil Naqli

93:7 ; Dan dia mendapatimu sebagai orang yang bingung, lalu Dia memberikan petunjuk.

49:17 ;Mereka merasa telah memberi nikmat kepadamu dengan keimanan mereka. Katakanlah,”Jangan kamu merasa telah memberi nikmat kepadaku dengan keislamanmu, sebenarnya Allah, Dialah yang memberikan nikmat kepadamu dengan menunjuki kamu kepada keimanan jika kamu adalah orang-orang yang benar.”

96:5 ; Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.

93:8 ; Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang kekurangan, lalu Dia memberikan kecukupan.

21:90 ; Maka Kami memperkenankan doanya, dan kami anugerahkan kepadanya Yahya dan Kami jadikan istrinya dapat mengandung. Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang selalu bersegera dalam (mengerjakan) perbuatan-perbuatan yang baik dan mereka berdoa kepada Kami dengan harap dan cemas. Dan mereka adalah orang-orang yang khusyu’ kepada Kami.

 

Khairu Ummah

Ummat jahiliyah berubah menjadi ummat Islam. Ummat Islam yang berdakwah dan senantiasa peduli dengan keadaan sosial, ummat, dan agamanya, maka ia disebut ummat yang baik. Ummat yang baik adalah ummat yang menjalankan amar ma’ruf dan nahyi munkar.

 

Dalil Naqli

3:104 ; Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar. Mereka itulah orang yang beruntung.

Kriteria Pemimpin yang Baik dalam Islam

Bagaimana kriteria pemimpin yang baik menurut islam?. Sebentar lagi kan pemilu, biar kita gak salah pilih.

Jawab:

Bismillah was shalatu was salamu ‘ala rasulillah, amma ba’du,

Terdapat keterangan yang bagus yang dijelaskan Syaikhul Islam dalam karyanya as-Siyasah as-Syar’iyah tentang kriteria pemimpin yang baik. Beliau menjelaskan,

وينبغي أن يعرف الأصلح في كل منصب فإن الولاية لها ركنان : القوة والأمانة
”Selayaknya untuk diketahui siapakah orang yang paling layak untuk posisi setiap jabatan. Karena kepemimpinan yang ideal, itu memilikidua sifat dasar: kuat (mampu) dan amanah.”

Kemudian beliau menyitir beberapa firman Allah,

إِنَّ خَيْرَ مَنِ اسْتَأْجَرْتَ الْقَوِيُّ الْأَمِينُ
“Sesungguhnya manusia terbaik yang anda tunjuk untuk bekerja adalah orang yang kuat dan amanah.” (QS. Al-Qashas: 26).

Dalil lainnya, pujian yang diberikan oleh penguasa Mesir kepada Nabi Yusuf,

إِنَّكَ الْيَوْمَ لَدَيْنَا مَكِينٌ أَمِينٌ
“Sesungguhnya kamu (mulai) hari ini menjadi seorang yang berkedudukan tinggi (kuat secara posisi) lagi dipercayai pada sisi kami”. (QS. Yusuf: 54).

Demikian pula karakter Jibril yang Allah amanahi menyampaikan wahyu kepada para rasul-Nya, karakter Jibril yang Allah puji dalam al-Quran,

إِنَّهُ لَقَوْلُ رَسُولٍ كَرِيمٍ ( ) ذِي قُوَّةٍ عِنْدَ ذِي الْعَرْشِ مَكِينٍ ( ) مُطَاعٍ ثَمَّ أَمِينٍ
Sesungguhnya Al Qur’aan itu benar-benar firman (Allah yang dibawa oleh) utusan yang mulia (Jibril), ( ) yang mempunyai kekuatan, yang mempunyai kedudukan tinggi di sisi Allah yang mempunyai ‘Arsy, ( ) yang ditaati di sana (di alam malaikat) lagi amanah. (QS. At-Takwir: 19 – 21).

Demikianlah kriteria pemimpin ideal yang Allah sebutkan dalam al-Quran. Kuat dalam arti mampu secara profesional dan amanah.

Kemudian, Syaikhul Islam menjelaskan batasan kuat (mampu) dan batasan amanah,

والقوة في كل ولاية بحسبها فالقوة في إمارة الحرب ترجع إلى شجاعة القلب وإلى الخبرة بالحروب والمخادعة فيها فإن الحرب خدعة وإلى القدرة على أنواع القتال… والقوة في الحكم بين الناس ترجع إلى العلم بالعدل الذي دل عليه الكتاب والسنة وإلى القدرة على تنفيذ الأحكام
Sifat ‘kuat’ (profesional) untuk setiap pemimpin, tergantung dari medannya. Kuat dalam memimpin perang kembali kepada keberanian jiwa dan kelihaian dalam berperang dan mengatur strategi. Karena inti perang adalah strategi. Demikian pula kembali kepada kemampuan dalam menggunakan senjata perang…

Sementara kuat dalam menetapkan hukum di tengah masyarakat kembali kepada tingkat keilmuannya memahami keadaan yang diajarkan al-Quran dan sunah, sekaligus kemampuan untuk menerapkan hukum itu.

Selanjutnya, beliau menjelaskan kriteria amanah

والأمانة ترجع إلى خشية الله، وألا يشتري بآياته ثمنا قليلا، وترك خشية الناس؛ وهذه الخصال الثلاث التي أخذها الله على كل من حكم على الناس
Sifat amanah, itu kembali kepada kesungguhan orang untuk takut kepada Allah, tidak memperjual belikan ayat Allah untuk kepentingan dunia, dan tidak takut dengan ancaman manusia. Tiga kriteria inilah yang Allah jadikan standar bagi setiap orang yang menjadi penentu hukum bagi masyarakat.

Kemudian beliau mengutip firman Allah,

فَلَا تَخْشَوُا النَّاسَ وَاخْشَوْنِ وَلَا تَشْتَرُوا بِآيَاتِي ثَمَنًا قَلِيلًا وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ
Karena itu janganlah kamu takut kepada manusia, (tetapi) takutlah kepada-Ku. dan janganlah kamu menukar ayat-ayat-Ku dengan harga yang sedikit. Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir. (QS. Al-Maidah: 44)

Mampu (Profesional) dan Amanah, Mana Prioritas?

Anda semua tentu menyadari, untuk mendapatkan pemimpin yang memiliki dua kriteria ini sekaligus, sangat sulit untuk ditemukan. Hingga Syaikhul Islam di halaman lain dalam buku itu menyatakan,

اجتماع القوة والأمانة في الناس قليل، ولهذا كان عمر بن الخطاب -رضي الله عنه- يقول: اللهم أشكو إليك جلد الفاجر، وعجز الثقة
Kemampuan dan amanah jarang bersatu pada diri seseorang. Karena itu, Umar bin Khatab radhiyallahu ‘anhu pernah mengadu kepada Allah, ”Ya Allah, aku mengadu kepada-Mu: orang fasik yang kuat (mampu) dan orang amanah yang lemah.”

Di sinilah Syaikhul Islam menyarankan untuk menerapkan skala prioritas. Mana karakter yang lebih dibutuhkan masyarakat, itulah yang dikedepankan.

Dalam posisi tertentu, sifat amanah lebih dikedepankan. Namun di posisi lain, sifat mampu dan profesional lebih dikedepankan.

Syaikhul Islam membawakan riwayat dari Imam Ahmad, ketika beliau ditanya,

’Jika ada dua calon pemimpin untuk memimpin perang, yang satu profesional tapi fasik, dan yang satu soleh tapi lemah. Mana yang lebih layak dipilih?’

Jawab Imam Ahmad,

أما الفاجر القوي، فقوته للمسلمين، وفجوره على نفسه؛ وأما الصالح الضعيف فصلاحه لنفسه وضعفه على المسلمين. فيغزي مع القوي الفاجر
Orang fasik yang profesional, maka kemampuannya menguntungkan kaum muslimin. Sementara sifat fasiknya merugikan dirinya sendiri. Sedangkan orang soleh yang tidak profesional, maka kesolehannya hanya untuk dirinya, sementara ketidak mampuannya merugikan kaum muslimin. Dipilih perang bersama pemimpin yang profesional meskipun fasik.

Sebaliknya, jika dalam posisi jabatan itu lebih membutuhkan sifat amanah, maka didahulukan yang lebih amanah, sekalipun kurang profesional. Syaikhul Islam menyebutkan,

وإذا كانت الحاجة في الولاية إلى الأمانة أشد، قدم الأمين؛ مثل حفظ الأموال ونحوها
Jika dalam kepemimpinan itu lebih membutuhkan sifat amanah, maka didahulukan yang memiliki sifat amanah, seperti bendahara atau semacamnya.

Kemudian, beliau memberikan kesimpulan dalam menentukan pemimpin,

قدم أنفعهما لتلك الولاية وأقلهما ضررا فيها
Diutamakan yang lebih menguntungkan untuk jabatan itu, dan yang lebih sedikit dampak buruknya.

Demikian…

Disimpulkan dari as-Siyasah as-Syar’iyah, Syaikhul Islam, cet. Kementrian Agama Saudi, th. 1418 H. hlm. 13 – 17.

Nasehat Pemilu

Anda yang akan menyalurkan hak pilihnya, saat ini kita lebih membutuhkan amanah dan profesional. Ingatlah bahwa hak pilih kita termasuk amanah, dan persaksian di hadapan Allah. Yang semua itu nantinya akan kita pertanggung jawabkan di hadapan-Nya. Jangan digunakan sembarangan dan jangan mengedepankan hawa nafsu. Allah mengingatkan kita,

وَاتَّقُوا يَوْمًا تُرْجَعُونَ فِيهِ إِلَى اللَّهِ ثُمَّ تُوَفَّى كُلُّ نَفْسٍ مَا كَسَبَتْ وَهُمْ لَا يُظْلَمُونَ
Takutlah kalian terhadap hari yang pada waktu itu kamu semua dikembalikan kepada Allah. kemudian masing-masing diri diberi Balasan yang sempurna terhadap apa yang telah dikerjakannya, sedang mereka sedikitpun tidak didzalimi. (QS. Al-Baqarah: 281).

Allahu a’lam

Dijawab oleh ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina KonsultasiSyariah.com

PETUNJUK AL-QURAN DALAM MEMILIH PEMIMPIN

Oleh: Agus Saputera

Pada zaman sekarang semakin ramai orang berlomba-lomba mengejar jabatan, berebut kedudukan sehingga menjadikannya sebagai sebuah obsesi hidup. Menurut mereka yang menganut paham atau prinsip ini, tidak lengkap rasanya selagi hayat dikandung badan, kalau tidak pernah (meski sekali) menjadi orang penting, dihormati dan dihargai masyarakat.

Jabatan baik formal maupun informal di negeri kita Indonesia dipandang sebagai sebuah "aset", karena ia baik langsung maupun tidak langsung berkonsekwensi kepada keuntungan, kelebihan, kemudahan, kesenangan, dan setumpuk keistimewaan lainnya. Maka tidaklah heran menjadi kepala daerah, gubernur, bupati, walikota, anggota dewan, direktur dan sebagainya merupakan impian dan obsesi semua orang. Mulai dari kalangan politikus, purnawirawan, birokrat, saudagar, tokoh masyarakat, bahkan sampai kepada artis.

Mereka berebut mengejar jabatan tanpa mengetahui siapa sebenarnya dirinya, bagaimana kemampuannya, dan layakkah dirinya memegang jabatan (kepemimpinan) tersebut. Parahnya lagi, mereka kurang (tidak) memiliki pemahaman yang benar tentang hakikat kepemimpinan itu sendiri. Karena menganggap jabatan adalah keistimewaan, fasilitas, kewenangan tanpa batas, kebanggaan dan popularitas. Padahal jabatan adalah tanggung jawab, pengorbanan, pelayanan, dan keteladanan yang dilihat dan dinilai banyak orang.

Hakikat kepemimpinan
Al-Quran dan Hadits sebagai pedoman hidup umat Islam sudah mengatur sejak awal bagaimana seharusnya kita memilih dan menjadi seorang pemimpin. Menurut Shihab (2002) ada dua hal yang harus dipahami tentang hakikat kepemimpinan. Pertama, kepemimpinan dalam pandangan Al-Quran bukan sekedar kontrak sosial antara sang pemimpin dengan masyarakatnya, tetapi merupakan ikatan perjanjian antara dia dengan Allah swt. Lihat Q. S. Al-Baqarah (2): 124, "Dan ingatlah ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat perintah dan larangan (amanat), lalu Ibrahim melaksanakannya dengan baik. Allah berfirman: Sesungguhnya Aku akan menjadikan engkau pemimpin bagi manusia. Ibrahim bertanya: Dan dari keturunanku juga (dijadikan pemimpin)? Allah swt menjawab: Janji (amanat)Ku ini tidak (berhak) diperoleh orang zalim".

Kepemimpinan adalah amanah, titipan Allah swt, bukan sesuatu yang diminta apalagi dikejar dan diperebutkan. Sebab kepemimpinan melahirkan kekuasaan dan wewenang yang gunanya semata-mata untuk memudahkan dalam menjalankan tanggung jawab melayani rakyat. Semakin tinggi kekuasaan seseorang, hendaknya semakin meningkatkan pelayanan kepada masyarakat. Bukan sebaliknya, digunakan sebagai peluang untuk memperkaya diri, bertindak zalim dan sewenang-wenang. Balasan dan upah seorang pemimpin sesungguhnya hanya dari Allah swt di akhirat kelak, bukan kekayaan dan kemewahan di dunia.

Karena itu pula, ketika sahabat Nabi SAW, Abu Dzarr, meminta suatu jabatan, Nabi saw bersabda: "Kamu lemah, dan ini adalah amanah sekaligus dapat menjadi sebab kenistaan dan penyesalan di hari kemudian (bila disia-siakan)".(H. R. Muslim). Sikap yang sama juga ditunjukkan Nabi saw ketika seseorang meminta jabatan kepada beliau, dimana orang itu berkata: "Ya Rasulullah, berilah kepada kami jabatan pada salah satu bagian yang diberikan Allah kepadamu. "Maka jawab Rasulullah saw: "Demi Allah Kami tidak mengangkat seseorang pada suatu jabatan kepada orang yang menginginkan atau ambisi pada jabatan itu".(H. R. Bukhari Muslim).

Kedua, kepemimpinan menuntut keadilan. Keadilan adalah lawan dari penganiayaan, penindasan dan pilih kasih. Keadilan harus dirasakan oleh semua pihak dan golongan. Diantara bentuknya adalah dengan mengambil keputusan yang adil antara dua pihak yang berselisih, mengurus dan melayani semua lapisan masyarakat tanpa memandang agama, etnis, budaya, dan latar belakang. Lihat Q. S. Shad (38): 22, "Wahai Daud, Kami telah menjadikan kamu khalifah di bumi, maka berilah putusan antara manusia dengan hak (adil) dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu".

Hal senada dikemukakan oleh Hafidhuddin (2003). Menurutnya ada dua pengertian pemimpin menurut Islam yang harus dipahami. Pertama, pemimpin berarti umara yang sering disebut juga dengan ulul amri. Lihat Q. S. An-Nisaâ 4): 5, "Hai orang-orang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri diantara kamu". Dalam ayat tersebut dikatakan bahwa ulil amri, umara atau penguasa adalah orang yang mendapat amanah untuk mengurus urusan orang lain. Dengan kata lain, pemimpin itu adalah orang yang mendapat amanah untuk mengurus urusan rakyat. Jika ada pemimpin yang tidak mau mengurus kepentingan rakyat, maka ia bukanlah pemimpin (yang sesungguhnya).

Kedua, pemimpin sering juga disebut khadimul ummah (pelayan umat). Menurut istilah itu, seorang pemimpin harus menempatkan diri pada posisi sebagai pelayan masyarakat, bukan minta dilayani. Dengan demikian, hakikat pemimpin sejati adalah seorang pemimpin yang sanggup dan bersedia menjalankan amanat Allah swt untuk mengurus dan melayani umat/masyarakat.

Kriteria pemimpin

Para pakar telah lama menelusuri Al-Quran dan Hadits dan menyimpulkan minimal ada empat kriteria yang harus dimiliki oleh seseorang sebagai syarat untuk menjadi pemimpin. Semuanya terkumpul di dalam empat sifat yang dimiliki oleh para nabi/rasul sebagai pemimpin umatnya, yaitu: (1). Shidq, yaitu kebenaran dan kesungguhan dalam bersikap, berucap dan bertindak di dalam melaksanakan tugasnya. Lawannya adalah bohong. (2). Amanah, yaitu kepercayaan yang menjadikan dia memelihara dan menjaga sebaik-baiknya apa yang diamanahkan kepadanya, baik dari orang-orang yang dipimpinnya, terlebih lagi dari Allah swt. Lawannya adalah khianat. (3) Fathonah, yaitu kecerdasan, cakap, dan handal yang melahirkan kemampuan menghadapi dan menanggulangi persoalan yang muncul. Lawannya adalah bodoh. (4). Tabligh, yaitu penyampaian secara jujur dan bertanggung jawab atas segala tindakan yang diambilnya (akuntabilitas dan transparansi). Lawannya adalah menutup-nutupi (kekurangan) dan melindungi (kesalahan).

Di dalam Al-Quran juga dijumpai beberapa ayat yang berhubungan dengan sifat-sifat pokok yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin, diantaranya terdapat dalam surat As-Sajdah (32): 24 dan Al-Anbiyaâ (21): 73. Sifat-sifat dimaksud adalah: (1). Kesabaran dan ketabahan. "Kami jadikan mereka pemimpin ketika mereka sabar/tabah". Lihat Q. S. As-Sajdah (32): 24. Kesabaran dan ketabahan dijadikan pertimbangan dalam mengangkat seorang pemimpin. Sifat ini merupakan syarat pokok yang harus ada dalam diri seorang pemimpin. Sedangkan yang lain adalah sifat-sifat yang lahir kemudian akibat adanya sifat (kesabaran) tersebut. (2). Mampu menunjukkan jalan kebahagiaan kepada umatnya sesuai dengan petunjuk Allah swt. Lihat Q. S. Al-Anbiyaâ (21): 73, "Mereka memberi petunjuk dengan perintah Kami". Pemimpin dituntut tidak hanya menunjukkan tetapi mengantar rakyat ke pintu gerbang kebahagiaan. Atau dengan kata lain tidak sekedar mengucapkan dan menganjurkan, tetapi hendaknya mampu mempraktekkan pada diri pribadi kemudian mensosialisasikannya di tengah masyarakat. Pemimpin sejati harus mempunyai kepekaan yang tinggi (sense of crisis), yaitu apabila rakyat menderita dia yang pertama sekali merasakan pedihnya dan apabila rakyat sejahtera cukup dia yang terakhir sekali menikmatinya. (3). Telah membudaya pada diri mereka kebajikan. Lihat Q. S. Al-Anbiyaâ (21): 73, "Dan Kami wahyukan kepada mereka (pemimpin) untuk mengerjakan perbuatan-perbuatan baik dan menegakkan sholat serta menunaikan zakat". Hal ini dapat tercapai (mengantarkan umat kepada kebahagiaan) apabila kebajikan telah mendarah daging dalam diri para pemimpin yang timbul dari keyakinan ilahiyah dan akidah yang mantap tertanam di dalam dada mereka.

Sifat-sifat pokok seorang pemimpin tersebut sejalan dengan pendapat yang dikemukakan oleh Al-Mubarak seperti dikutip Hafidhuddin (2002), yakni ada empat syarat untuk menjadi pemimpin: Pertama, memiliki aqidah yang benar (aqidah salimah). Kedua, memiliki ilmu pengetahuan dan wawasan yang luas (`ilmun wasi`un). Ketiga, memiliki akhlak yang mulia (akhlaqulkarimah). Keempat, memiliki kecakapan manajerial dan administratif dalam mengatur urusan-urusan duniawi.

Memilih pemimpin

Dengan mengetahui hakikat kepemimpinan di dalam Islam serta kriteria dan sifat-sifat apa saja yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin, maka kita wajib untuk memilih pemimpin sesuai dengan petunjuk Al-Quran dan Hadits.
Kaum muslimin yang benar-benar beriman kepada Allah dan beriman kepada Rasulullah saw dilarang keras untuk memilih pemimpin yang tidak memiliki kepedulian dengan urusan-urusan agama (akidahnya lemah) atau seseorang yang menjadikan agama sebagai bahan permainan/kepentingan tertentu. Sebab pertanggungjawaban atas pengangkatan seseorang pemimpin akan dikembalikan kepada siapa yang mengangkatnya (masyarakat tersebut). Dengan kata lain masyarakat harus selektif dalam memilih pemimpin dan hasil pilihan mereka adalah "cerminâ" siapa mereka. Hal ini sesuai dengan hadits Nabi saw yang berbunyi: "Sebagaimana keadaan kalian, demikian terangkat pemimpin kalian".

Sikap rakyat terhadap pemimpin

Dalam proses pengangkatan seseorang sebagai pemimpin terdapat keterlibatan pihak lain selain Allah, yaitu masyarakat. Karena yang memilih pemimpin adalah masyarakat. Konsekwensinya masyarakat harus mentaati pemimpin mereka, mencintai, menyenangi, atau sekurangnya tidak membenci. Sabda Rasulullah saw: "Barang siapa yang mengimami (memimpin) sekelompok manusia (walau) dalam sholat, sedangkan mereka tidak menyenanginya, maka sholatnya tidak melampaui kedua telinganya (tidak diterima Allah)".

Di lain pihak pemimpin dituntut untuk memahami kehendak dan memperhatikan penderitaan rakyat. Sebab dalam sejarahnya para rasul tidak diutus kecuali yang mampu memahami bahasa (kehendak) kaumnya serta mengerti (kesusahan) mereka. Lihat Q. S. Ibrahim (14): 4, "Kami tidak pernah mengutus seorang Rasul kecuali dengan bahasa kaumnya". dan Q. S. At-Taubah (9): 129, "Sesungguhnya telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, terasa berat baginya penderitaanmu lagi sangat mengharapkan kebaikan bagi kamu, sangat penyantun dan penyayang kepada kaum mukmin.

Demikianlah Al-Quran dan Hadits menekankan bagaimana seharusnya kita memilih dan menjadi pemimpin. Sebab memilih pemimpin dengan baik dan benar adalah sama pentingnya dengan menjadi pemimpin yang baik dan benar.(*)

Penulis adalah:
Staf Hukmas dan KUB
Kanwil Kementerian Agama (Kemenag)
Prov. Riau

Pekanbaru, 18 Februari 2011

01 Juni 2014

Pelatihan dan Rekruitmen Mudarris DIROSA

Lembaga Pembinaan dan Pengbangan Pendidikan Al-Qur'an LP3Q DPD Wahdah Islamiyah Makassar mengadakan kegiatan Pelatihan dan Rekruitmen Mudarris DIROSA ahad, 1 Juni 2014 di Masjid Darul Hikmah DPP Wahdah Islamiyah jalan antang raya Makassar.
Kegiatan tersebut dimaksudkan untuk memberikan pelatihan kepada mudarris atau pengajar dirosa tentang metode pengajaran dirosa. Dirosa sendiri merupakan suatu metode belajar membaca Al-Qur'an untuk orang dewasa yang diterbitkan oleh LP3Q DPP Wahdah Islamiyah.

"Kita berharap dengan adanya kegiatan pelatihan dan rekrutmen mudarris dirosa ini, ketersediaan pengajar dirosa di kota Makassar dapat mengimbangi permintaan pembentukan halaqah atau majelis dirosa yang ada" Kata Ustadz Muhammad Ilham selaku sekretaris LP3Q DPD Wahdah Islamiyah Makassar kepada redaksi al-Bugisiy.

BACA JUGA

KESURUPAN DALAM TINJAUAN AKIDAH ISLAM

  Oleh Ustadz DR. Ali Musri Semjan Putra, MA Para pembaca yang dirahmati Allâh Azza wa Jalla Semoga Allâh Azza wa Jalla senantiasa menjadika...