Enam tahun yang silam di salah satu pesantren terbesar di Indonesia,
penulis menjadi salah satu peserta dauroh yang diadakan oleh Jami’ah
Islamiyah Madinah. Kebetulan ada suatu kisah yang tidak terlupakan
hingga detik ini. Seperti biasanya, sebelum pelajaran dimulai, para
dosen (baca: masyayikh) mengabsen peserta dauroh satu persatu. Hingga
sampai ke suatu nama, dosen tersebut mengernyitkan dahinya dan
terheran-heran, nama itu adalah Ayatullah Khomeini, (kebetulan dia salah
seorang teman akrab penulis di pesantren). Dosen itu bertanya, “Kamu
sunni (termasuk golongan ahlus sunnah)?”, dengan tenangnya peserta itu
menjawab, “Iya”, “Mengapa kamu pakai nama dedengkot Syiah?”, “Karena
bapak ana ngasih nama seperti itu”, sahutnya. Setelah dialog singkat itu
sang dosen minta agar teman kami tersebut mengganti namanya.
Penulis -dengan lugunya- berkata dalam hati, “Memangnya kenapa sich
nggak boleh pakai nama tokoh Syi’ah tersebut? Masa gitu saja
dipermasalahkan! Toh dia juga salah satu pejuang besar dunia?!”
Hari berganti hari, bulan berganti bulan; setahun kemudian penulis
diberi kesempatan oleh Allah subhanahu wa ta’ala untuk menuntut ilmu di
kota Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tepatnya di Jami’ah
Islamiyah. Di situlah wawasannya mulai terbuka sedikit demi sedikit,
pengetahuannya tentang kelompok-kelompok yang menisbatkan diri mereka
kepada agama Islam sedikit demi sedikit mulai bertambah. Hingga
terbelalaklah matanya tatkala mengetahui hakikat kelompok Syi’ah. Dan
hilanglah sudah keheran-heranan dia enam tahun yang silam, mengapa sang
dosen pengajar dauroh itu begitu ‘ngotot’-nya minta agar peserta
Ayatullah Khomeini mengganti namanya.
(*) Perkataan-perkataan ulama klasik mereka kami sebutkan dengan
referensinya beserta nomor jilid dan halamannya. Bagi yang menginginkan
bukti otentik fakta-fakta tersebut bisa merujuk ke kitab Ulama
asy-Syi’ah Yaqulun, Watsaiq Mushawwarah Min Kutub asy-Syi’ah, yang
diterbitkan oleh Markaz Ihya Turots Alul Bait. Adapun
perkataan-perkataan ulama kontemporer mereka jika terdapat dalam suatu
kaset, maka kami sebutkan dengan kata-kata, “Dengarlah perkataan fulan…”
Suara asli mereka bisa didengarkan dalam kaset Waqafat Ma’a Du’at
at-Taqrib.
FAKTA PERTAMA: Syi’ah bercerita tentang keyakinan mereka mengenai
Ahlul Bait (keluarga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam).
Ahlul bait adalah: keluarga Ali, ‘Aqil, Ja’far dan Abbas. Tidak
diragukan lagi (menurut Ahlus Sunnah) bahwa istri-istri nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam termasuk ahlul bait karena Allah subhanahu wa ta’ala
berfirman:
يَا نِسَاءَ النَّبِيِّ لَسْتُنَّ كَأَحَدٍ مِنَ النِّسَاءِ إِنِ
اتَّقَيْتُنَّ فَلا تَخْضَعْنَ بِالْقَوْلِ فَيَطْمَعَ الَّذِي فِي
قَلْبِهِ مَرَضٌ وَقُلْنَ قَوْلاً مَعْرُوفاً. وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ
وَلا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَى وَأَقِمْنَ
الصَّلاةَ وَآتِينَ الزَّكَاةَ وَأَطِعْنَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ إِنَّمَا
يُرِيدُ اللَّهُ لِيُذْهِبَ عَنْكُمُ الرِّجْسَ أَهْلَ الْبَيْتِ
وَيُطَهِّرَكُمْ تَطْهِيراً
“Hai istri-istri Nabi, kamu sekalian tidaklah seperti wanita yang
lain, jika kamu bertakwa. Maka janganlah kalian tunduk dalam berbicara
sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya, dan
ucapkanlah perkataan yang baik, dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan
janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang jahiliah
yang dahulu dan dirikanlah sholat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah
dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa
dari kamu, hai ahlul bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya.”
(QS. Al Ahzab: 32-33)
Ayat ini merupakan dalil yang sangat jelas bahwa istri-istri Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam termasuk ahlul bait (keluarga) nya.
Ahlusunnah mencintai dan mengasihi ahlul bait, mencintai dan
mengasihi para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Akan tetapi
mereka (Ahlusunnah) juga meyakini bahwa tidak ada yang ma’shum melainkan
hanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Di antara keyakinan
mereka juga: wahyu telah terputus dengan wafatnya Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam, tidak ada yang mengetahui hal yang gaib kecuali hanya
Allah subhanahu wa ta’ala, dan tidak seorang pun dari para manusia yang
telah mati bangkit kembali sebelum hari kiamat. Jadi, kita Ahlusunnah
menjunjung tinggi keutamaan ahlul bait dan selalu mendoakan mereka agar
senantiasa mendapatkan rahmat Allah subhanahu wa ta’ala, tidak lupa kita
juga berlepas diri dari musuh-musuh mereka.
Di pihak lain, orang-orang Rafidhah (Rafidhah adalah salah satu
julukan kelompok Syi’ah. Julukan ini disebutkan oleh ulama kontemporer
mereka Al Majlisy dalam kitabnya Bihar al-Anwar hal 68, 96 dan 97.
Kata-kata Rafidhah berasal dari fi’il rafadha yang berarti menolak.
Adapun asal muasal mengapa mereka digelari Rafidhah, ada berbagai versi.
Antara lain:
Karena mereka menolak kekhilafahan Abu Bakar dan Umar.
Versi lain mengatakan karena mereka menolak agama Islam. (lihat Maqalat al-Islamiyin, karya Abu al-Hasan al-Asy’ary jilid I, hal 89).
Selain berlebih-lebihan dalam mengagung-agungkan imam-imam mereka dengan mengatakan bahwasanya mereka itu ma’shum dan lebih utama dari para nabi dan para rasul, mereka juga melekatkan sifat-sifat tuhan di dalam diri para imam, hingga mengeluarkan mereka dari batas-batas kemakhlukan! Tidak diragukan lagi bahwa ini merupakan sikap ghuluw (berlebih-lebihan) yang paling besar, paling jelek, paling rusak dan paling kufur.
Versi lain mengatakan karena mereka menolak agama Islam. (lihat Maqalat al-Islamiyin, karya Abu al-Hasan al-Asy’ary jilid I, hal 89).
Selain berlebih-lebihan dalam mengagung-agungkan imam-imam mereka dengan mengatakan bahwasanya mereka itu ma’shum dan lebih utama dari para nabi dan para rasul, mereka juga melekatkan sifat-sifat tuhan di dalam diri para imam, hingga mengeluarkan mereka dari batas-batas kemakhlukan! Tidak diragukan lagi bahwa ini merupakan sikap ghuluw (berlebih-lebihan) yang paling besar, paling jelek, paling rusak dan paling kufur.
Di antara sikap ekstrem mereka, klaim mereka bahwa para imam
mengetahui hal-hal yang gaib, dan mereka mengetahui segala yang ada di
langit dan di bumi, tidak terkecuali. Mereka mengetahui apa-apa yang ada
dalam hati, apa-apa yang ada dalam tulang belakang kaum pria dan
apa-apa yang ada dalam rahim kaum wanita. Mereka juga mengetahui apa
yang telah lalu dan yang akan datang hingga hari kiamat.
Al Kulainy dalam kitabnya al-Kaafi -yang mana ini merupakan kitab
yang paling shahih menurut Rafidhah-, dia telah mengkhususkan di
dalamnya bab-bab yang menguatkan sikap ekstrem tersebut. Contohnya: di
jilid I, hal 261, dia berkata, “Bab bahwasanya para imam mengetahui apa
yang telah lalu dan apa yang akan datang, serta bahwasanya tidak ada
sesuatu apapun yang tersembunyi dari pengetahuan mereka.” Dia juga telah
meriwayatkan dalam halaman yang sama dari sebagian sahabat-sahabatnya
bahwa mereka mendengar Abu Abdillah ‘alaihis salam (yang dia maksud
adalah Ja’far ash-Shadiq) berkata, “Sesungguhnya aku mengetahui apa-apa
yang ada di langit dan di bumi, aku mengetahui apa-apa yang ada di dalam
surya dan aku mengetahui apa yang telah lalu serta yang akan datang.”
Dia juga berkata dalam jilid I, hal 258, “Bab bahwasanya para imam
mengetahui kapan mereka akan mati dan mereka tidak akan mati kecuali
dengan kemauan mereka sendiri.”
Di antara bukti-bukti sikap ekstrem orang-orang Syi’ah, klaim mereka
para imam memiliki kekuasaan untuk mengatur alam semesta ini semau
mereka; mereka bisa menghidupkan orang yang telah mati, juga
menyembuhkan orang yang buta, orang yang terkena kusta, kemudian dunia
akhirat milik para imam, mereka berikan kepada siapa saja sesuai dengan
kehendak mereka.
Al-Kulainy di jilid I, hal 470 meriwayatkan dengan sanadnya dari Abu
Bashir bahwa ia bertanya kepada Abu Ja’far ‘alaihis salam, “Apakah
kalian pewaris nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam?” Dia menjawab,
“Benar!” Lantas aku bertanya lagi, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam pewaris para nabi mengetahui apa yang mereka ketahui?” “Benar!”,
jawabnya. Aku kembali bertanya, “Mampukah kalian menghidupkan orang yang
sudah mati dan menyembuhkan orang yang buta dan orang yang terkena
penyakit kusta?” “Ya, dengan izin Allah”, sahutnya.”
Husain bin Abdul Wahab dalam kitabnya ‘Uyun al-Mu’jizat hal 28
bercerita bahwasanya, Ali pernah berkata kepada sesosok mayat yang tidak
diketahui pembunuhnya, “Berdirilah -dengan izin Allah- wahai Mudrik bin
Handzalah bin Ghassan bin Buhairah bin ‘Amr bin al-Fadhl bin Hubab!
Sesungguhnya Allah dengan izin-Nya telah menghidupkanmu dengan kedua
tanganku!” Maka berkatalah Abu Ja’far Maytsam, Sesosok tubuh itu bangkit
dalam keadaan memiliki sifat-sifat yang lebih sempurna dari matahari
dan bulan, sembari berkata, “Aku dengar panggilanmu wahai yang
menghidupkan tulang, wahai hujjah Allah di kalangan umat manusia, wahai
satu-satunya yang memberikan kebaikan dan kenikmatan. Aku dengar
panggilanmu wahai Ali, wahai Yang Maha Mengetahui.” Maka berkatalah
amirul-mu’minin, “Siapakah yang telah membunuhmu?” Lantas orang tersebut
memberitahukan pembunuhnya.
Berkata al-Kasany dalam kitabnya ‘Ilm al-Yaqin fi Ma’rifati Ushul
ad-Din jilid II, hal 597, “Semua makhluk diciptakan untuk mereka (para
imam), dari mereka, karena mereka, dengan mereka dan akan kembali kepada
mereka. Karena -tanpa diragukan lagi- Allah subhanahu wa ta’ala
menciptakan dunia dan akhirat hanya untuk mereka. Dunia dan akhirat
untuk mereka dan milik mereka. Para manusia adalah budak-budak mereka!”
Dengarlah salah seorang syaikh mereka Baqir al-faly yang mengatakan
bahwasanya Nabiyullah Isa ‘alaihis salam mendapatkan kehormatan untuk
menjadi budak Ali rodhiallahu ‘anhu, “Wahai para manusia, beberapa hari
yang lalu telah dirayakan hari kelahiran Isa al-Masih, yang telah
mendapatkan kehormatan untuk menjadi budak Ali bin Abi Thalib!”
Berkata Imam mereka Ayatullah al-Khomeini di dalam kitabnya
Al-Hukumah al- Islamiyah hal 52, “Sesungguhnya para Imam memiliki
kedudukan terpuji, derajat yang tinggi dan kekuasaan terhadap alam
semesta, di mana seluruh bagian alam ini tunduk terhadap kekuasaan dan
pengawasan mereka.”
Sulaim bin Qois dalam kitabnya hal 245 dengan ‘gagahnya’ berdusta
dengan perkataannya, Bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah
berkata kepada Ali, “Wahai Ali, sesungguhnya engkau adalah ilmu
pengetahuan Allah yang paling agung sesudahku, engkau adalah tempat
bersandar yang paling besar di hari kiamat. Barang siapa bernaung di
bawah bayanganmu niscaya akan meraih kemenangan. Karena hisab
(penghitungan amal) para makhluk berada di tanganmu, tempat kembali
mereka adalah kepadamu. Mizan (timbangan amalan), shirath (jalan yang
mengantarkan para hamba ke surga), dan al-mauqif (tempat berkumpulnya
semua makhluk di hari akhir) semua itu adalah milikmu. Maka barang siapa
yang bersandar kepadamu, niscaya akan selamat dan barang siapa yang
menyelisihimu niscaya akan celaka dan binasa! Ya Allah, saksikanlah 3x!”
Na’udzubillah…
Dengarlah Basim al-Karbalaiy menghasung dan mendorong orang-orang
Rafidhah untuk pergi ke kuburan Ali radhiallahu ‘anhu dan meminta
kesembuhan darinya, berihram dan thawaf di sekitar kuburannya, “Wahai
yang berada di bawah kubah putih di kota Najaf! Wahai Ali! Barang siapa
yang berziarah ke kuburanmu dan meminta kesembuhan darimu niscaya dia
akan sembuh!”
Di dalam kitab Wasail ad-Darojat karangan ash-Shaffar (hal 84), Abu
Abdillah berkata: Konon Amirul Mu’minin pernah berkata, “Aku adalah ilmu
Allah, aku adalah hati Allah yang sadar, aku adalah mulut Allah yang
berbicara, aku adalah mata Allah yang melihat, aku adalah pinggang
Allah, aku adalah tangan Allah.”
Na’uzubillah dari ghuluw ini!
Dengarlah Muhsin al-Khuwailidy dalam khotbah kufurnya di mana dia
melekatkan kepada Ali sifat-sifat rububiyah Allah, “Dan di antara
khutbah-khutbahnya shallallahu ‘alaihi wa sallam: Aku mempunyai semua
kunci hal-hal yang gaib, tidak ada yang mengetahuinya sesudah Rasulullah
kecuali aku. Aku-lah penguasa hisab, aku pemilik sirath dan mauqif, aku
pembagi (distributor) surga dan neraka dengan perintah Robb-ku. Akulah
yang menumbuhkan dedaunan dan mematangkan buah-buahan. Akulah yang
memancarkan mata air dan mengalirkan sungai-sungai. Akulah yang
menyimpan ilmu, akulah yang meniupkan tiupan pertama yang mengguncangkan
alam, akulah sang petir, akulah shaihah. Aku adalah Al Quran yang tidak
ada keraguan di dalamnya. Akulah asma al-husna yang para hamba
diperintahkan untuk berdoa dengannya. Akulah yang memiliki sangkakala
dan yang membangkitkan manusia dari dalam kubur. Akulah penguasa hari
kebangkitan. Akulah yang menyelamatkan Nuh, yang menyembuhkan Ayub.
Akulah yang menegakkan langit dengan perintah Tuhanku. Akulah si
pemegang keputusan yang tidak dapat diubah, hisab para makhluk berada di
tanganku. Para makhluk menyerahkan urusannya kepadaku. Akulah yang
mengokohkan gunung-gunung yang menjulang tinggi, yang memancarkan mata
air, dan yang menciptakan alam semesta. Akulah yang membangkitkan para
mayat, yang menurunkan kuburan. Akulah yang memberi cahaya matahari,
bulan dan bintang. Akulah yang membangkitkan hari kiamat, yang
mengetahui hal yang telah lalu dan yang akan datang. Akulah yang
membinasakan para raja lalim terdahulu dan yang melenyapkan
negeri-negeri. Akulah yang menciptakan gempa, yang membuat gerhana
matahari dan bulan. Aku pula yang menghancurkan fir’aun-fir’aun dengan
pedangku ini. Akulah yang ditugasi Allah untuk melindungi orang-orang
lemah dan Allah perintahkan mereka taat kepadaku.”
Dalam kitab Kasyf al-Yaqin Fi Fadhail Amir al-Mu’minin karya Hasan
bin Yusuf bin al- Muthahhir al-Hilly (hal 8) disebutkan, Akhthab
Khawarizm meriwayatkan dari Abdulloh bin Mas’ud bahwasanya Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Tatkala Allah ciptakan Adam dan
Dia tiupkan ruh-Nya ke dalamnya, Adam bersin lantas mengucapkan,
“Alhamdulillah!” Maka Allah mewahyukan padanya, “Engkau telah memuji-Ku
wahai hamba-Ku, demi kekuatan dan keagungan-Ku kalau bukan karena dua
hamba yang akan Kutempatkan mereka di dunia, niscaya Aku tidak akan
menciptakanmu wahai Adam!” Serta merta Adam bertanya, “Mereka berdua
dari keturunanku?”, “Betul wahai Adam. Angkatlah kepalamu dan lihatlah!”
Maka Adam mengangkat kepalanya, dan ternyata telah tertulis di atas
‘Arsy, “Tidak ada yang berhak disembah selain Allah, Muhammad nabi kasih
sayang dan Ali penegak hujjah. Barang siapa yang mengetahui hak Ali
maka dia akan suci dan bahagia, dan barang siapa yang taat kepadanya
meskipun dia berbuat maksiat kepada-Ku akan Kumasukkan ke dalam surga.
Aku bersumpah demi kepekerkasaan-Ku; barang siapa yang tidak taat kepada
Ali meskipun dia taat kepada-Ku, niscaya akan Kumasukkan ke dalam
neraka!”
Lihatlah wahai para hamba Allah, bagaimana dia mengedepankan ketaatan kepada Ali di atas ketaatan kepada Allah!!!
Berkata Ni’matullah al-Jazairy dalam kitabnya al-Anwar an-Nu’maniyah
(jilid I, hal 33): Pengarang buku Masyariq al-Anwar telah meriwayatkan
dengan sanadnya kepada al-Mufadhal bin ‘Amr: Aku pernah bertanya kepada
Abu Abdillah ‘alaihis salaam tentang perihal sang imam; bagaimana ia
bisa tahu apa yang ada di penjuru bumi, padahal ia berada di rumah yang tertutup? Lantas ia menjawab, “Wahai Mufadhal, sesungguhnya Allah telah menciptakan di dalam diri mereka 5 ruh:
Ruh kehidupan, yang dengannya dia bisa memukul dan naik.
Ruh kekuatan, yang dengannya dia bisa bangkit.
Ruh syahwat, yang dengannya dia bisa makan dan minum.
Ruh keimanan, yang dengannya dia memerintahkan dan berbuat adil.
Ruh kudus, yang dengannya dia mengemban kenabian. Jika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat, berpindahlah ruh kudus ke tubuh sang imam, maka dia tidak akan pernah lalai dan lengah. Dengan ruh itulah dia bisa melihat apapun yang ada di penjuru dunia. Tidak ada sesuatu pun di bumi dan di langit yang tersembunyi dari sang imam. Dia bisa mengetahui semua yang ada di langit semesta, sekecil dan selirih apapun dia. Barang siapa yang tidak memiliki sifat-sifat ini, maka dia bukanlah seorang imam!”
Na’udzubillah dari ghuluw ini!!
Ruh kekuatan, yang dengannya dia bisa bangkit.
Ruh syahwat, yang dengannya dia bisa makan dan minum.
Ruh keimanan, yang dengannya dia memerintahkan dan berbuat adil.
Ruh kudus, yang dengannya dia mengemban kenabian. Jika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat, berpindahlah ruh kudus ke tubuh sang imam, maka dia tidak akan pernah lalai dan lengah. Dengan ruh itulah dia bisa melihat apapun yang ada di penjuru dunia. Tidak ada sesuatu pun di bumi dan di langit yang tersembunyi dari sang imam. Dia bisa mengetahui semua yang ada di langit semesta, sekecil dan selirih apapun dia. Barang siapa yang tidak memiliki sifat-sifat ini, maka dia bukanlah seorang imam!”
Na’udzubillah dari ghuluw ini!!
Berkata Ni’matullah al-Jazairy dalam kitabnya al-Anwar an-Nu’maniyah
(jilid I, hal 30), Ali bin Abi Thalib pernah berkata, “Demi Allah,
sesungguhnya aku bersama Ibrahim ketika dilemparkan ke dalam api dan
akulah yang menjadikan api itu dingin serta menyelamatkan. Aku juga
bersama Nuh di kapalnya lantas akulah yang menyelamatkan dia dari
ketenggelaman. Aku juga bersama Musa, lantas aku ajarkan Taurat
kepadanya. Aku jugalah yang menjadikan Isa berbicara saat dia masih
dalam buaian, kemudian kuajarkan Injil padanya. Akulah yang bersama
Yusuf di dalam sumur, lantas kuselamatkan dia dari tipu daya
saudara-saudaranya. Dan aku bersama Sulaiman di atas permadani, kemudian
aku hembuskan angin baginya.”
Lantas apa yang tersisa untuk Allah?! Na’udzubillah dari ghuluw ini!!
Ziarah Makam Husain Lebih Utama Dari Haji Ke Baitullah
Dalam kitab Wasail asy-Syiah karangan al-Hurr al-’Amily (jilid I, hal
371) dan di dalam kitab al-Mazar karangan al-Mufid (hal 58) disebutkan:
Dari Yunus bin Dzobyan, berkata Abu Abdillah, “Barang siapa yang ziarah
ke makam Husain pada malam pertengahan bulan Sya’ban, malam Idul Fitri
dan malam hari Arafah dalam satu tahun, niscaya Allah akan tuliskan
baginya pahala 1000 ibadah haji yang mabrur, 1000 ibadah umrah yang
diterima dan akan dikabulkan baginya 1000 doa yang berkenaan dengan
kebutuhan-kebutuhan dia di dunia dan akhirat.”
Bahkan menurut orang-orang Rafidhah, para penziarah makam Husain itu
lebih utama daripada orang-orang yang berada di padang Arafah. Dalam
kitab Wasail asy-Syiah karangan al-Hurr al-’Amily (jilid X,hal 361) dan
kitab Tahdzib al-Ahkam karya Abu Ja’far ath-Thusy (jilid VI, hal 42)
disebutkan: Dari Ali bin Asbath, dari sebagian sahabat-sahabat kami,
dari Abu Abdillah ‘alaihi salam bahwa dia ditanya, “Benarkah Allah
mendahulukan ‘menengok’ para peziarah makam Ali bin Husain ‘alaihi salam
sebelum ‘menengok’ orang-orang yang berada di padang Arafah?”, “Betul”
jawabnya. Lantas dia kembali ditanya, “Bagaimana itu bisa terjadi?” Dia
menjawab, “Karena di antara orang-orang yang berada di padang Arafah
terdapat anak-anak
hasil perzinaan, adapun para penziarah makam Husain seluruhnya suci
tidak ada satupun anak hasil perzinaan.” (Bagaimana mungkin mereka
menganggap semua orang Syi’ah suci dan bukan hasil perzinaan, padahal
zina (baca: nikah mut’ah) sendiri mereka anggap merupakan salah satu
ritual ibadah yang paling utama?!! (-pen).
Na’udzubillah!
Dalam kitab Tahdzib al-Ahkam karya Abu Ja’far ath-Thusy (jilid V, hal
372) disebutkan: Dari Zaid asy-Syahham, dari Abu Abdillah ‘alaihi salam
berkata, “Barang siapa yang ziarah makam Abu Abdillah (Husain) ‘alaihis
salam pada hari ‘Asyura sedang dia mengetahui hak-haknya, seakan-akan
dia telah menziarahi Allah di ‘Arsy-Nya.”
Na’udzubillah dari ghuluw dan kesesatan ini!
–bersambung insya Allah–
Penulis: Ustadz Abu Abdirrahman al-Atsary Abdullah Zaen, Lc. (Mahasiswa S2, Universitas Islam Madinah)
Artikel www.muslim.or.id
Artikel www.muslim.or.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar